Labirin 8 chapter 4 by Eva Sri Rahayu | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Wiratma, yang berprofesi sebagai arsitek dan interior designer, menemukan fakta bahwa mereka terjebak dalam labirin yang berbentuk seperti angka 8. Untuk menemukan pintu keluar, mereka harus memecahkan kode-kode di relief dinding ruangan. Berhasilkah mereka?
***
Tak terlihat gerakan sekecil apa pun yang menandakan adanya kehidupan. Apakah dia mati? Kartika baru pertama kali melihat seseorang membatu dengan wajah teduh dan mata menyorotkan kedamaian, hal itu justru membuatnya semakin bergidik. Bagaimana dalam bilangan detik, perempuan yang tadi mengamuk itu kehilangan dayanya? Dia tak sanggup bergerak untuk memastikan. Namun, membiarkan seseorang terbujur kaku tanpa mencoba memberikan pertolongan sungguh melukai nuraninya.
Kartika mengembuskan napas lega ketika Suacheng mendekati Meta. Memeriksa denyut nadi perempuan itu, kemudian menelitinya secara mendetail.
“Dia meninggal,” ucap Suacheng sungguh-sungguh. “Tidak ada darah. Dia mengalami luka dalam,” jelasnya. Suacheng berusaha menutup mata Meta, tapi mata itu terus terbuka, seolah sedang mengintai mereka.
Sejenak Kartika merasa mata Meta tengah menelanjangi pikiran dan perasaannya. Membaca rahasia-rahasia terdalamnya. Dia merasakan gelombang rasa bersalah karena sempat meremehkan perempuan yang telah menjadi mayat itu. Tenggorokannya terasa semakin kering.
Bunyi perut kelaparan terdengar jelas. “Nyuwun ngapunten,” ujar Mbah Rakai.
Tidak ada yang menyahut. Hanya Kartika yang mendesis sinis. Sejak awal melihat pria itu dia sudah apatis. Orang-orang sudah terlalu banyak dibodohi oleh hal-hal klenik dan mistis. Dalam nalarnya, seharusnya masyarakat berhenti bersikap primitif. Segala yang berhubungan dengan sejarah hanyalah objek ilmu pengetahuan. Semuanya harus berlandaskan logika. Untuk itulah dia melakukan penelitian. Dia ingin menghapus kebodohan di negerinya.
Terdengar lagi bunyi perut seseorang. Kali ini tidak ada yang berkata-kata.
Kartika spontan menatap jam tangannya yang masih berfungsi dengan baik. Pukul lima dini hari. Gempa pertama terjadi sekitar pukul empat sore. Dia tidak akan salah mengingat karena beberapa menit sebelum kejadian itu dia sempat melihat jam. Itu berarti sudah lewat 13 jam lalu. Pantas saja tubuhnya menagih air.
Suacheng mengeluarkan dua botol plastik berisi air dan tiga bungkus roti murah dari dalam ranselnya. Semua mata langsung tertuju pada benda-benda itu, seakan menemukan harta karun.
Harta karun dari ransel Suacheng | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Satu botol langsung diambil Tungga yang meminumnya dengan rakus. “Kalau masih ada sesuatu yang bisa dimakan, keluarkan semua! Jangan kamu sembunyikan!” perintahnya. Ketika Suacheng bergeming, Tungga merebut ranselnya dan mengobrak-abrik isinya. Saat tidak menemukan satu pun perbekalan lain, dia mendorong ransel dengan kasar. Dia lalu menyadari tengah ditatap tajam oleh Kartika. “Apa? Aku hanya memastikan. Kita harus berbagi untuk sama-sama bertahan hidup.”
Kartika mendengkus mendengar ocehan pria yang di matanya baru saja melakukan hal menjijikkan. Pria dekil yang mengenakan ransel besar itu jauh lebih berguna daripada si sok kuasa, pikirnya.
Suacheng membelah tiap roti menjadi empat bagian. Lalu memberikan tiap orang satu potongan. Dia minum setenguk sebelum menyerahkan botol minuman kedua pada Wiratma.
“Kita harus menghemat perbekalan. Hanya ini yang kita punya. Kita tidak tahu kapan bisa keluar dari tempat ini. Tiap orang minum satu teguk untuk beberapa jam,” tukas Wiratma tegas, “… tanpa kecuali,” lanjutnya, sambil menatap Tungga. Setelah minum, dia mengestafetkan botol itu pada Manik yang duduk di sampingnya.
Saat menerima botol minuman, Kartika langsung membasahi tenggorokannya tanpa pikir panjang. Dalam keadaan normal, dia tak akan mau berbagi tempat minum. Terlalu riskan, siapa pun bisa menjadi biang penyakit. Dia mengunyah secuil roti yang rasanya sudah apek, sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali perutnya diisi. Seperti sudah berhari-hari.
Cahaya dari ponsel Anggara meredup, kemudian mati. Ruang menjadi lebih gelap, seolah keputusasaan menjelma bayang-bayang yang siap menelan. Gempa, kelaparan, dan mata mayat yang mengawasi.
“Ini sebenarnya oleh-oleh buat anak-anak saya,” kata Suacheng dengan mata menatap menembus bebatuan.
Pada awalnya Kartika kesal mendengar ucapan Manik Maya yang baginya terdengar seperti basa-basi. Namun, jawaban Suacheng diam-diam membuatnya terenyuh. Anak. Dia juga punya seorang putra yang ditinggalkannya beberapa bulan ini untuk penelitian. Mendadak hatinya nyeri oleh kerinduan. Sebelum kejadian ini, dia merasa anak hanyalah penjara yang menghalangi setiap langkahnya. Impian-impiannya tertahan oleh bocah yang memanggilnya ‘Ibu’. Dia selalu berandai-andai tak melahirkan dinding penjara itu. Kartika mengutuk pengadilan masyarakat yang menjatuhi hukuman kerangkeng bagi perempuan. Bahwa tempat terbaik adalah rumah, bahwa menjadi ibu adalah sebaik-baiknya peran, tanpa mengindahkan perempuan merupakan manusia yang memiliki mimpi. Namun saat ini, dia ingin memeluk bocah itu, membisikan kata sayang di telinganya.
Kartika teringat pada sang putra | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Suacheng, ada kertas dan pulpen?” tanya Wiratma. Suaranya yang menggelegar mengagetkan mereka.
Tanpa menjawab, Suacheng mengeluarkan benda-benda yang diminta Wiratma.
“Lihat ini!” komando Wiratma.
Kartika bersama lainnya mengelilingi Wiratma, berusaha melihat jelas sesuatu yang Digambar pria itu. Kartika mengenali bentuk coretan itu. Bentuknya seperti DNA, mirip angka delapan.
“Aku arsitek dan desain interior,” ujar Wiratma, bermaksud menumbuhkan kepercayaan semua orang. “Setelah berkeliling tadi sambil mempelajari konstruksi bangunannya, aku menyimpulkan bentuk tempat ini seperti dalam gambar,” katanya sambil menatap mereka satu per satu. “Hanya ada satu pintu untuk keluar masuk. Pintu itu berpindah tempat, artinya kemungkinan besar posisi pintu saat ini tidak tertutup bebatuan. Pasti ada satu titik di antara batuan itu yang merupakan kuncinya. Untuk mengetahui letaknya—”
“Kita harus memecahkan kodefikasi di relief-relief,” potong Kartika.
“Mengesankan!” ucap Wiratma pada Kartika. “Kamu benar.”
“Aku sedang meneliti Candi Borobudur, mungkin bahan-bahan penelitian yang kuingat bisa membantu,” kata Kartika.
“Kalau begitu, kita bisa bekerja sama,” tukas Wiratma.
Kartika merasakan aliran darahnya dipenuhi dopamin. Pengetahuan yang dipelajarinya selama ini akan membuktikan kegunaannya. Dia sudah mengenal baik relief-relief candi ini. Dia yakin, tak butuh waktu lama untuk memecahkan kodefikasinya.
“Aku bisa ikut membantu. Sebagai tukang pahat, aku sering berurusan dengan gambar relief,” tawar Suacheng.
Wiratma menatap Suacheng dengan pandangan meremehkan. “Ya ya … aku tahu kamu sedang belajar memahat. Tapi kami saja sudah cukup. Kamu jaga perbekalan saja,” ujarnya.
“Aku menemukan satu pelita lagi,” lapor Anggara.
“Bagus!” puji Wiratma. “Nah, kalau kamu mau, kamu bisa membantu dengan memegangi pelita untuk penerangan kami,” ucapnya pada Suacheng.
“Untuk mengelilingi relief, kita harus memulai dari purwa—timur. Tapi, di sini, kita tidak tahu arah,” jelas Kartika. Ujung matanya menangkap Anggara tengah merekam mereka lewat lensa kameranya. Bagus juga, pikirnya, ketika mereka keluar dari sana, dia punya dokumentasi yang membuktikan bahwa dialah yang pertama memecahkan kodefikasi di ruang tersembunyi ini. Pasti dirinya akan dikukuhkan sebagai arkelog jenius.
Kartika dan Wiratma berusaha memecahkan kode pada relief | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Bagaimana kalau kita mulai saja dari letak pintu masuk sebelum bergeser,” kata Wiratma. Pria itu berjalan menuju satu posisi. “Sepertinya dari sini.”
Kartika mengikuti Wiratma diekori Suacheng yang memberinya pencahayaan. Dia meneliti bentuk-bentuk relief. Matanya bergerak menelusuri tiap lekuk pahatan. Mati-matian mencocokan pahatan itu dengan apa yang ada di ingatannya. Wajahnya kemudian berubah pucat seakan sedang melihat sesuatu yang mengerikan. Dia berjalan kanan, lalu ke kiri dengan langkah-langkah gelisah.
“Relief-relief ini … relief-relief ini asing. Aku belum pernah melihatnya,” katanya dengan suara gemetar.
Eva Sri Rahayu aktif menulis sejak tahun 2006. Karya-karyanya lebih banyak mengangkat tema kehidupan remaja dengan tujuan memberi edukasi kepada generasi muda lewat literasi. Kini tengah terlibat produksi serial animasi mengenai kearifan lokal sebagai penulis skenario.