Labirin 8 - #2 Labirin Pertama

Setelah gempa, sekelompok orang terjebak di sebuah ruangan gelap yang dikelilingi oleh batuan. Ketika masing-masing masih menelaah di mana mereka berada, gempa susulan terjadi. Ruangan apakah itu sebenarnya, dan adakah jalan keluar dari sana?

*******

Perlu beberapa lama bagi Anggara Wisesa untuk menyadari bahwa dirinya selamat dari gempa. Kegelapan pekat membutakan matanya, hingga dia sempat mengira sedang mengambang di ruang hampa. Namun, tubuhnya yang terasa remuk menyengatkan ingatan-ingatan. Kilasan-kilasan kejadian berebut keluar.

Dia ingat datang ke Borobudur untuk syuting konten Meta Utalika, YouTuber yang merekrutnya dengan gaji rendah setelah dia banting setir dari sineas idealis menjadi content creator. Film-film pendek beragam genre, proposal pembuatan film, dan production house kecil yang dirintisnya tak menghasilkan, bahkan untuk menutupi biaya sehari-hari. Dia tak punya pilihan selain menerima tawaran Meta. Dia sudah tak tahan menjadi benalu bagi orangtuanya. Meski konsep konten bosnya itu berseberangan dengan idealisme dan nuraninya. Sebagai jalan tengah, Anggara berusaha memaksakan bobot pada konten yang diproduksinya. Dia mati-matian meyakinkan Meta untuk mengangkat budaya lokal. Walaupun pada akhirnya perempuan itu tetap memburamkan konsepnya dengan hanya mau mengambil sisi mistis, karena hal itulah yang laku di pasaran. Selama perjalanan menuju Borobudur, dia dicekam kekhawatiran, bagaimana bila karyanya justru menambah beban stigma?

Ketika Rakai Mahayana meminta jeda syuting dengan alasan akan terjadi sesuatu yang buruk, Anggara tak memercayai omongan itu. Di matanya, Rakai hanyalah kuncen palsu yang tak tahu apa-apa. Aktingnya yang buruk tak akan bisa memperdayanya. Kalau bukan karena Meta memaksa untuk memakainya sebagai narasumber, tentu dia sudah menolak mentah-mentah memasukan pria itu ke dalam frame kameranya. Perempuan itu mendapat referensi mengenai si kuncen dari teman sesama YouTuber, sehingga Meta percaya-percaya saja. Namun kemudian, tragedi itu terjadi. Tubuhnya diguncang gempa. Firasat buruk si kuncen menjadi kenyataan.

Gempa! Rupanya peristiwa itulah yang membawanya ke tempat ini. Tampaknya terjadi likuifasi yang menyebabkan penurunan muka tanah. Membuatnya ikut amblas. Dia pernah mendengar sebelumnya, bahwa area sekitar Borobudur memang memang rawan longsor. Candi itu dikelilingi gunung api: Merapi, Merbabu, Sindoro, dan Sumbing. Letaknya di jalur cincin api, sehingga jamak terjadi gempa di kawasan ini. Namun, dia tak mendapat ide sama sekali mengenai tempat apakah ini dan sudah berapa lama dia berada di sana. Dalam pikirannya, semestinya ketika lesak, dia tertimbun tanah dan batuan. Bukan berada di tempat misterius, dan dalam posisi duduk menyandar pada batuan pula.

Dalam kegelapan, saat mata Anggara tak bisa difungsikan, indra lain di tubuhnya menajam. Dia bahkan dapat mendengar detak jantungnya yang berpacu cepat. Hidungnya yang bernapas tak beraturan bisa mengendus berbagai bau yang menguar di tempat itu. Bau apak tercium paling tajam. Dia menggerakkan jemarinya perlahan. Jarinya mengenai sesuatu. Tekstur itu sangat dikenalnya: hardcase kameranya. Sebelum terkubur, dia ingat melindungi kameranya. Memegangnya erat sebagai sesuatu paling berharga.

Anggara lega kameranya aman | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com

Bunyi sesuatu meluncur menyentak Anggara. Ada yang bergerak jauh di atasnya. Apalagi kemudian sesuatu itu jatuh mengenai kepalanya dan berhenti di sana. Tubuhnya menegang. Diambilnya benda itu. Dia yakin sedang menggenggam kerikil. Kerikil dari atas?

Suara erangan kesakitan membuat Anggara kembali terlonjak. Satu suara disusul lainnya. Ternyata dia tidak sendiri. Dia bertanya-tanya, ada berapa orang di sana? Dia menajamkan telinga, berusaha menangkap bunyi sehalus apa pun. Bunyi yang diterimanya membentuk citra di kepala: Tampaknya orang-orang asing di tempat itu bergerak linglung, persis seperti yang terjadi padanya.

Anggara tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu sejak dia siuman, karena kini matanya mulai kembali berfungsi. Kandungan fosfor dalam dinding bebatuan dan semua hal di sana mulai menampakkan diri. Ada sekitar tujuh ‘makhluk’ bergerak di sekitarnya. Pandangannya yang masih samar membuatnya belum dapat mengindentifikasi segala sesuatunya dengan jelas. Tubuhnya menjadi waspada. Dia berasumsi, bisa saja ada binatang buas di antara makhluk itu. Namun, ditepisnya pikiran itu. Bila ada makhluk kelaparan di sana, tidak mungkin membiarkan santapannya begitu lama. Meskipun kemungkinan keberadaan makhluk itu ada, mengendap-endap dalam kegelapan, dan tinggal menunggu waktu sampai menyadari keberadaan mereka. Dia memutuskan untuk melakukan sesuatu. Pikirnya, setelah selamat dari gempa, tidak sepatutnya dia menyerah begitu saja pada keadaan.

Dia berusaha keras berdiri dengan menopangkan tubuh pada dinding. Gerakan itu menimbulkan derakan lagi, mengakibatkan tanah berjatuhan. Setelah keadaannya stabil, Anggara mengambil ponsel dari dalam hardcase kamera. Dia menyalakan fitur lampu. Hal itu membuat seseorang memekik. Spontan dia mengarahkan lampu pada sumber suara. Tampak sepasang mata. Mata itu, mata perempuan asing penuh permintaan tolong yang menyorot padanya, tepat sebelum dia terjerembap.

“Asu!!! Bikin kaget saja! Tak kira hantu,” maki seorang pria refleks—dari suaranya Anggara yakin adalah Rakai. Suaranya menimbulkan gema.

Seseorang menyalakan senter di ponselnya. “Sial!” maki pria bersetelan koboi setelah melihat baterai ponselnya hampir habis.

Seorang pria menyalakan senter kamera | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com

“Di mana ini? Kenapa aku ada di sini?” tanya Meta bingung.

Satu cahaya dari ponsel menyala lagi, membuat seraut wajah keras tampak jelas. Orang itu dengan sigap menyorotkan lampu ke berbagai arah, lalu berhenti di sebuah pintu. Pria itu berjalan hati-hati ke sana, masuk ke ruangan di balik pintu, kemudian kembali sambil berbicara, “Sepertinya kita berada di ruang rahasia Candi Borobudur.”

Anggara terkesiap. Sejak lama, dia selalu penasaran, apakah hidden base satu-satunya ruang tersembunyi di Borobudur, atau ada ruang lain? Dia tak pernah mengira akan mendapat jawaban lewat kejadian yang tak disangka-sangka.

Pria berwajah keras itu menyorotkan lampunya ke bagian atas. Tampak bebatuan besar bertumpuk janggal menahan tanah dan benda-benda sehingga membentuk ruang rapuh yang menaungi mereka. “Kita harus masuk ke dalam. Batuan itu bisa ambrol sewaktu-waktu saat terjadi gempa susulan,” ujarnya masih dengan wajah menengadah.

Detik berikutnya, gempa susulan benar-benar terjadi. Guncangan itu menjadi semacam komando tegas yang membuat mereka harus berjuang masuk ke ruang rahasia. Si pria keras yang mencapai pintu lebih dulu, menyorotkan lampu ponsel sebagai penerangan sekaligus arah jalan untuk yang lain.

Anggara mati-matian mempertahankan keseimbangan dalam setiap langkahnya. Kerikil dan tanah berjatuhan mengenai kepala, tangan, dan bahunya. Bunyi gemeretak menjejali telinganya, mengirimkan teror. Hal itu membuatnya gugup. Satu kerikil hampir membuatnya terjatuh. Setelah akhirnya sampai ke pintu, dia menengok ke belakang. Matanya bertabrakan dengan si perempuan yang meminta tolong itu. Perempuan itu berjongkok dengan tubuh gemetaran.

“Cepat!” teriak pria berwajah keras pada si perempuan. Tapi perempuan itu malah mencucurkanair mata dengan tubuh tak bergerak sedikit pun.

Gempa susulan terjadi | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com

Sekejap Anggara gamang. Apakah dia kali ini bisa berbuat sesuatu untuk menolong si perempuan dengan risiko kematian, atau membiarkannya saja? Lagipula nyawa perempuan itu bukan tanggung jawabnya.

Namun, tubuhnya lebih dulu mengambil keputusan. Spontan dia berjalan ke arah si perempuan, meraih tangannya, kemudian menyeretnya. Tubuh si perempuan yang beku terasa sangat berat, ditambah guncangan melimbungkan langkah mereka. Gemuruh dan bunyi bongkahan batuan jatuh mengintimidasi mentalnya. Keduanya dihujani tanah. Hanya butuh satu kesalahan untuk mengirim mereka pada akhir segalanya. Pintu terasa begitu jauh, padahal jaraknya hanya tinggal dua langkah. Anggara mendongak, menemukan bongkahan batuan besar siap menggelinding dan menimpa mereka. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Dengan mengerahkan segenap tenaga, dia menyentak si perempuan ke pintu. Dia kemudian meloncat, meninggalkan bunyi debam mengerikan di belakangnya. Bebatuan itu telah ambruk sepenuhnya, menutup pintu, satu-satunya jalan keluar.

Bersambung

Baca chapter selanjutnya: Labirin 8 – #3 Labirin Kedua