Labirin 8 chapter 9 by Eva Sri Rahayu | iilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Benarkah mata air itu merupakan pintu terakhir Labirin? Apakah mereka bisa kembali ke dunia nyata atau malah mata air itu membawa mereka tersesat lebih jauh?
***
“Gila! Bagaimana kalau ada buaya atau binatang buas di dalam situ?” protes Tungga.
“Kita enggak punya pilihan!” tukas Anggara tegas.
Tungga merebut obor dari tangan Anggara. Dia berjalan ke bagian lain beringin. “Omong kosong! Mungkin di sekitar sini ada—” Langkah Tungga terhenti ketika menemui jalan buntu.
Cahaya obor menyingkap sesuatu lain yang membuat Maya merinding. Di belakang pohon beringin besar terdapat bebatuan berpahatkan Kala. “Kala,” bisik Maya pada dirinya sendiri. Dia teringat Kala sebelum gempa terjadi. Dia berimajinasi Kala lah yang mengirimkannya ke ruang rahasia. Rupanya, Kala jugalah yang memberi tanda jalan keluarnya. Maya yakin pahatan itu merupakan petunjuk. “Anggara benar, kita harus terjun ke dalam air,” katanya spontan.
“Aku… aku… udah nggak kuat. Tinggalkan… tinggalkan saja,” pinta Suacheng yang berbicara dengan sisa-sisa tenaganya. Napas pria kurus itu telah putus-putus. Dia mulai kehilangan kesadaran.
Bunyi kerosak dedaunan mengejutkan mereka. Empat pasang mata bercahaya muncul dari balik akar-akar tunggang.
Tungga melemparkan obor pada Anggara, kemudian buru-buru masuk ke dalam air.
“Cepat terjun!” teriak Anggara pada Maya. “Aku akan menahan mereka selama mungkin.”
Maya menggeleng, air menggenang di sudut-sudut matanya. Dia tidak mau meninggalkan Anggara untuk kedua kalinya. Tetapi, pria itu malah mendorongnya hingga dia terjatuh ke dalam air.
Dingin. Gelap. Dalam. Tubuhnya menggigil.
Maya memaksakan tubuhnya untuk berenang. Matanya kemudian menangkap kelap-kelip cahaya. Kunang-kunangkah? Mungkin plankton, batinnya. Dia bergerak mengikuti arah kelap-kelip. Matanya mulai bisa beradaptasi dalam air. Bebatuan yang mengapit air perlahan menampakkan diri. Dia melihat gelembung-gelembung udara di sekitar batu-batu. Pikirnya, dia harus meraih gelembung-gelembung itu agar bisa bertahan.
Tiba-tiba, tanpa sengaja dia bertabrakan dengan Tungga. Si koboi tampak tersiksa oleh bobot tubuhnya, seolah dia membawa beban sangat berat. Sebelah tangan Tungga sibuk mencari sesuatu dari balik bajunya, sedang tangan kanannya telah kebas hingga tidak berfungsi. Ketika akhirnya menemukan apa yang dicarinya, sudah terlambat. Perlahan pria itu tenggelam. Kaki pria itu tersangkut tumbuhan air, dia tak bisa meloloskan diri.
Tungga tenggelam I Ilustrasi oleh Hipwee
Maya mencoba meraih Tungga, tetapi hanya ujung jarinya yang berhasil mengenai tangan pria itu. Saat itulah Maya melihat apa yang disembunyikan si koboi, emas kecil berbentuk Yang Telah Tercerahkan. Maya menyadari, rupanya itulah yang dicari para makhluk. Keserakahan telah membawa si koboi terbenam makin dalam.
Manusia seringkali berpikir bahwa mereka makhluk tertinggi, merendahkan entitas lainnya, sehingga membutakan batin, merasa bisa memiliki segalanya. Ketamakan justru mengerdilkan kemanusiaannya.
Labirin itu lebih dari satu tempat tersembunyi. Jalan-jalan buntu, kode-kode dalam relief, pahatan bersepuh emas, kota mati beserta harta di dalamnya, dan para penjaga suci hanyalah ornamen untuk menguliti diri mereka. Membuka lapisan paling rahasia. Menyingkirkan segala bentuk topeng. Seandainya masih memiliki waktu, aku ingin terlahir kembali menjadi seseorang yang berbeda. Menjalani hidup yang berbeda.
Maya mulai kehabisan napas. Dia terlambat meraih gelembung udara. Sudah berakhir, batinnya. Dia tak punya waktu untuk menyelesaikan tulisan apa pun lagi. Tak punya kesempatan menuliskan hal yang kali ini sangat ingin diperjuangkannya. Kata-kata berenang-renang di sekitarnya, seolah memintanya bertahan. Namun, tubuhnya terlalu lemas. Pandangannya makin meredup. Dalam keburaman penglihatannya, dia menangkap sosok yang menyeretnya. Anggara.
Anggara dan Maya di mata air Umbul Jumprit I Ilustrasi oleh Hipwee
***
Ketika kaki Maya menginjak tempat penampungan korban bencana alam, dia tak bisa menahan air mata. Dibiarkannya Anggara memeluk tubuhnya yang gemetar. Kehangatan pria itu mengantarkannya pada realitas, bahwa dia masih hidup dan bernapas. Kejadian demi kejadian membayang di benaknya. Gempa, ruang rahasia, kematian-kematian, kota mati, para penjaga suci, sampai bagaimana akhirnya dia bisa keluar dari semua kengerian itu.
Wajah Maya mengenai udara kosong. Cahaya membuat matanya refleks memicing. Anggara berhasil menariknya ke tepian. Dia merebahkan tubuh di antara rerumputan sambil mengambil napas dalam-dalam.
“Sungai Progo,” ujar Anggara, “di sana ada mata air Umbul Jumprit. Mata air yang enggak pernah kering. Air yang dianggap suci.” Pria itu menunjuk ke satu arah.
Dalam kebingungannya, Maya bahkan tak ingat bagaimana mereka berhasil mencapai tempat penampungan. Dia hanya mempercayai Anggara, mengikuti ke mana pria itu membawanya.
“Ayo, kita harus melaporkan keadaan teman-teman lain,” ucap Anggara memutus lamunan Maya. Pria itu melepas pelukannya, lalu menggenggam tangan Maya. Mereka mendekati seorang relawan. “Pak, saya—” Ucapan Anggara terputus ketika melihat orang yang sangat dikenalnya tengah duduk termenung. Orang itu… orang yang telah mati.
Maya mengikuti arah tatapan Anggara. Matanya membulat, bibirnya spontan terbuka. Enggak mungkin! Itu … itu Meta! Perempuan itu tersadar sedang diperhatikan, sehingga menengok pada mereka. Maya tercenung melihat perubahan dalam diri perempuan itu. Sorot mata Meta tidak lagi menyiratkan kesombongan. Dia tampak terpukul sekaligus dipenuhi kedamaian. Detik berikutnya Kartika datang membawa peralatan P3K, lalu merawat luka-luka Meta dengan telaten. Dari jauh saja, Maya dapat merasakan kelembutan perempuan yang dikaguminya itu.
“Satu tenda lagi!” teriak Wiratma.
Maya dan Anggara menoleh ke luar tenda. Mereka melihat Wiratma dan Tungga sibuk memasang tenda-tenda penampungan. Si koboi melirik keduanya sekilas, lalu membuang muka. Kesungguhan mereka sebagai relawan terlihat dari gerak-geriknya. Spontan keduanya berlari keluar, dan pemandangan di depan mereka kembali membuat tercengang. Rakai tengah mengajarkan meditasi pada sekumpulan orang berwajah murung.
“Meditasi untuk melepaskan trauma,” kata Suacheng sambil memberikan dua bungkusan makanan pada Maya dan Anggara. Pria itu tersenyum penuh arti sebelum meninggalkan keduanya.
Keenam orang itu masih hidup, dan mereka baik-baik saja. Namun, kentara sekali ada yang berubah dalam diri mereka. Mereka jelas bukan pribadi yang sama sebelum terjebak di ruang rahasia, pikir Maya.
Orang-orang yang sebelumnya sudah mati ternyata masih hidup I Ilustrasi oleh Hipwee
Maya dan Anggara saling menatap. Tidak memahami situasi yang terjadi. Apakah mereka selama ini hanya berhalusinasi, atau… bermimpi? Tetapi, semua yang mereka lalui terasa sangat nyata.
“Kameranya… kameranya tertinggal di kota mati. Kita enggak bisa melihat buktinya,” ujar Anggara.
Seandainya tubuh bisa bicara, ia akan menceritakan hasil rekaman pengalaman mereka. Ingatan dalam benak bisa terkikis, tetapi memori di setiap inci tubuh tak pernah menghilang.
“Enggak apa… yang terpenting mereka masih hidup,” ucap Maya pada pria yang sibuk menggeledah dirinya, tak menyerah mencari bukti. Sesungguhnya, perkataan itu lebih ditujukan Maya pada dirinya sendirinya, berusaha menepis pikiran bahwa dia merasa gila.
Namun, yang terjadi kemudian, sesuatu yang ditemukan Anggara di saku celananya membuat keduanya tersadar bahwa mereka masih waras. Dari ekspresi yang tercetak wajahnya, jelas pria itu tak mengambilnya.
“Maya… ini…!” Anggara memperlihatkan kepingan emas kecil berbentuk Yang Telah Tercerahkan.
Eva Sri Rahayu aktif menulis sejak tahun 2006. Karya-karyanya lebih banyak mengangkat tema kehidupan remaja dengan tujuan memberi edukasi kepada generasi muda lewat literasi. Kini tengah terlibat produksi serial animasi mengenai kearifan lokal sebagai penulis skenario.