Labirin 8 chapter 10 by Eva Sri Rahayu | iilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Makhluk-makhluk yang murka datang mendekat, padahal Maya dan rombongannya belum menemukan jalan keluar. Lalu, bagaimanakah caranya mereka menyelamatkan diri? Ataukah mereka tidak akan selamat kali ini?
Dwarapala! Bentuk kepala makhluk-makhluk itu mengingatkan Maya pada arca Dwarapala sang penjaga bangunan suci. Ada gurat-gurat muka yang membuat mereka tampak seperti manusia. Meski memiliki kekhasan sendiri, dari wajahnya, Maya tak dapat mengira-ngira mereka perempuan atau laki-laki atau keduanya atau bahkan bukan keduanya. Keempat makhluk itu memancarkan kharisma keganasan sekaligus kedamaian. Sungguh di luar nalar Maya. Hal yang membuatnya tak persis sama dengan Dwarapala adalah tubuh mereka menyerupai binatang, entah singa atau harimau.
Seumur hidupnya, Maya tidak pernah mengira makhluk-makhluk di pahatan candi atau arca itu benar-benar ada. Selama ini dia meyakini, itu hanyalah hasil imajinasi semata. Bukan sesuatu yang dibuat berdasarkan referensi nyata. Namun, kini mereka mewujud di hadapannya dan menyatakan eksistensinya. Kemungkinan mereka datang dari masa yang sangat purba. Maya pernah membaca artikel-artikel mengenai binatang purba yang tak punah karena hidup di ekosistem laut dalam atau tertimbun es. Tetapi, ini terkubur bersama sebuah permukiman kuno? Seandainya tak melihat lewat mata sendiri, dia akan menganggap si penutur terjebak dalam dunia halusinasi.
Dwarapala mendadak muncul di labirin I ilustrasi oleh Hipwee
“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Tungga sambil berjalan mundur mendekati Maya dan lainnya. Gerakan Tungga membuat para makhluk mengaum.
Maya bergidik mendengar suara auman itu. Dia beku, seolah kakinya ditanami paku-paku. Seluruh darahnya seakan tersirap hingga tubuhnya tak mampu bergerak. Dalam keadaan normal saja, dia yakin tak bisa lolos dari kejaran para makhluk itu. Kaki-kaki bercakar membuat mereka berlari seperti melayang. Persis seperti yang baru saja disaksikannya. Maya yakin, hanya dalam sekejap mata, kedua taring mereka yang menonjol mampu mengoyaknya. Namun, para makhluk tidak juga menyerang. Mereka mengepung sambil mengendus-endus. Apakah mereka sedang mempelajari kekuatan lawan? Rasanya tidak mungkin. Sekali tatap saja, jelas timnya kalah kuat. Lalu apa yang mereka cari? Atau… apa yang mereka tunggu?
“Mereka pasti datang karena mencium bau darah,” ucap Tungga pelan-pelan.
Darah? Maya spontan melirik Suacheng lewat ujung matanya. Di antara mereka, hanya pria yang berdiri sempoyongan itu yang mengeluarkan banyak darah. Benarkah bau amis darah pria di sebelahnya yang telah mengundang kedatangan para makhluk? Berdasarkan mitos-mitos yang diketahuinya, Dwarapala pada awalnya memang memakan manusia. Tetapi setelah mendapat pencerahan, Dwarapala kemudian justru menjadi sosok sakral yang menjaga area suci dari makhluk-makhluk jahat. Tetapi… dia dan lainnya tidak bermaksud jahat, mereka hanyalah kumpulan orang yang terjebak. Jadi… apakah benar yang dikatakan Tungga? Bahwa para makhluk tertarik pada darah? Namun, hal itu bertabrakan dengan intuisinya. Maya merasa, kalau anggota rombongannya bukanlah santapan buruan yang mereka inginkan. Mata Maya menyisir anggota timnya, mempelajari apa saja yang mungkin mengundang kemarahan para makhluk itu.
Para makhluk itu berjalan pelan mendekati mereka. Mata mereka yang bersinar dalam kegelapan mengunci target.
“Suacheng keparat!” rutuk Tungga. Dia dan Rakai yang sama-sama mengumpulkan barang-barang emas beringsut mendekati yang lain. Hingga kelima orang itu berdiri hampir berimpitan, saling memunggungi.
Lewat ekor mata, Maya melihat Anggara menurunkan kameranya ke tanah, lalu memasang kuda-kuda. Sedangkan tangan Tungga sibuk menyembunyikan barang-barang bersepuh emas ke balik bajunya.
Cawan emas jatuh dari genggaman tangan Rakai yang gemetar. “Duh, Gusti… nyuwun ampun,” pekiknya ketakutan. Celana pria itu basah oleh air kencing.
Salah satu makhluk menggeram buas. Makhluk itu hampir maju menyerang, tapi api dari obor yang dipegang Maya menahannya. Sebenarnya, dia hanya refleks menyorongkan obor tanpa mengira hal itu dapat membuat sang makhluk mundur. Anehnya, sekelebatan, Maya menangkap tatapan makhluk itu pada cawan emas.
“Api. Makhluk itu takut pada pada api,” ujar Anggara.
Maya memberikan obor pada Anggara. “Kalau begitu kita bergerak maju dengan tameng api.”
“Kamu gila! Sebelum menemukan jalan keluar, kita sudah mati dihabisi! Kita bakar saja mereka!” usul Tungga.
Sekali lagi Maya menangkap titik fokus tatapan sang makhluk, emas yang menyembul di baju Tungga. “Mereka bukan menginginkan kita. Mereka marah karena kita mengambil emas,” katanya sungguh-sungguh. “Perhatikan tatapannya.”
“Mereka kelaparan!” tukas Tungga.
Pertengkaran itu memicu reaksi para makhluk. Dua makhluk melompat serentak ke arah Tungga. Anggara memukul salah satu makhluk dengan obor, tetapi cakarnya sempat mengenai kulitnya, hingga darah meleler dari tangannya. Sementara Tungga berusaha membakar makhluk itu dengan api obor. Namun, sang makhluk yang lebih gesit bergerak menyamping lalu mencabik daging tangan Tungga hingga obor itu jatuh ke tanah, hampir mengenai Rakai. Anggara lekas-lekas mengambil obor, lalu maju ke depan, melindungi timnya dengan dua obor di tangan.
“Kita enggak akan menang melawan mereka. Mereka terlalu kuat!” kata Anggara.
Keempat makhluk lain mengaum semakin keras. Mata mereka mengilatkan kemarahan yang lebih tajam dari sebelumnya.
“Sekarang, keadaanmu sama seperti Suacheng!” ucap Maya sinis dengan kepala menengok sedikit pada Tungga yang tengah merobek lengan bajunya untuk menutup luka di tangan kanannya. “Kalau mereka menginginkan daging, seharusnya mereka menyerang Suacheng. Tapi, mereka justru menerkammu,” ujar Maya emosi. “Mereka enggak pengin memakan kita. Berikan semua emas yang kalian bawa. Kali ini percayalah padaku,” ucapnya memohon.
“Copot semua, sekarang!” tukas Anggara dengan nada perintah yang tak bisa dibantah.
Rakai melemparkan semua emasnya. Tiga makhluk mengambil emas-emas itu dengan gigi-gigi mereka yang tajam.
Dwarapala mengambil benda bersepuh emas I Ilustrasi oleh Hipwee
Anggara melirik Tungga. “Tungga, tanggalkan emas-emas itu. Berikan pada mereka!”
Tungga mengeluarkan emas-emas dari balik bajunya, lalu melemparkannya dengan tak rela. Keempat makhluk mengamankan emas itu. Mereka berlari menjauh hingga hilang dalam kegelapan, meninggalkan suara auman yang memekakkan telinga.
“Cepat bergerak!” perintah Anggara lagi, membuat seluruh rombongan berjalan waspada mengikuti pria itu.
“Gusti, nyuwun ampun. Kula sampun serakah,” ucap Rakai penuh penyesalan. “Kula sampun mbebayakaken piyambakipun sedaya—Saya sudah membahayakan mereka. Nyuwun ampun, Gusti….” Air mata mengalir di pipi keriputnya.
“Sudahlah, Mbah,” hibur Maya sambil terus memapah Suacheng.
Maya berpikir keras, mencari jalan keluar. Dia yakin, seharusnya mereka tidak pergi ke arah acak. Benaknya dipenuhi petunjuk-petunjuk. “Makhluk-makhluk itu bisa bertahan hidup. Pasti di sini tersedia segala sumber kehidupan. Mereka butuh makan dan minum. Air! Benar, dalam mitosnya, Borobudur dibangun di daerah danau purba. Di ujung candi tadi ada air mengalir. Pasti ada pusat mata airnya di sini. Mata air itu akan mengalir ke suatu tempat. Dan mungkin, tempat itu berada di luar permukiman ini. Tetapi, bagaimana menemukan pusatnya? Berpikir Maya… berpikir…,” katanya bicara sendiri.
“Dekat mata air biasanya ada pohon beringin, hanjuang, atau rumpun bambu,” timpal Anggara.
Maya mengangguk, matanya kemudian menjelajah ke sekitar.
Suara auman terdengar lagi. Lebih bengis dari sebelumnya. Kemudian, suara-suara itu mendekat.
Maya menggeleng. Tidak mungkin! Semua emas sudah diserahkan. Kenapa mereka masih mengejar? Pertanyaan itu berputar-putar, membuatnya pusing. Dia percaya, mereka Dwarapala, sang penjaga. Para makhluk tidak mungkin menghabisi mereka selama mereka tidak merusak atau mengambil apa pun dari sana. Tetapi nyatanya suara itu kian jelas. Hati perempuan itu dirambati kekecewaan dan ketakutan sekaligus.
Ketika para makhluk menampakkan diri, tepat saat itulah Maya melihat beringin dan hanjuang. “Lari ke arah sana,” teriaknya sambil menunjuk pohon beringin tua.
Rakai tiba-tiba berhenti berjalan. ‘Pergilah kalian,” katanya. “Aku akan menghadapi mereka. Ini karmaku karena sudah kemaruk.” Kuncen tua itu mengambil obor dari tangan Maya. Dia menghela napas berat, lalu berdiri tegak.
Maya melihat sorot seorang pemberani di mata Rakai. Pria tua sungguh-sungguh ingin mengorbankan diri. Seperti pejuang yang rela menjadi ujung tombak, siap menghadapi kematian.
“Tapi, Mbah—” Belum sempat Maya menyelesaikan perkataannya, tubuhnya keburu ditarik Anggara. Pria itu bahkan menariknya sembari memapah Suacheng. Maya baru berhenti menengok ke belakang saat dilihatnya keempat makhluk mengerubuni Rakai.
“Jangan sia-siakan waktu yang diberikan si Mbah,” ujar Anggara.
Maya menyelinap lewat akar-akar besar pohon. Akar-akar itu menyembunyikan sesuatu luar biasa di baliknya: mata air. Dia terhenyak, air itu tampak seperti genangan seandainya dia tidak berdiri cukup dekat. Air jernih itu berkilau terkena cahaya obor. Jernih dan magis. Inikah sisa danau purba itu?
Maya menemukan mata air purba I Ilustrasi oleh Hipwee
“Sekarang kita harus bagaimana?” tanya Tungga panik.
Setelah menyandarkan Suacheng di salah satu akar di dekat air, Anggara berjongkok, lalu tangannya menyentuh air tersebut. Mata pria itu meneliti ke dalam air. “Dasarnya enggak kelihatan.” Dia berpikir sejenak, lalu berujar, “Kita terjun ke dalam.”
Eva Sri Rahayu aktif menulis sejak tahun 2006. Karya-karyanya lebih banyak mengangkat tema kehidupan remaja dengan tujuan memberi edukasi kepada generasi muda lewat literasi. Kini tengah terlibat produksi serial animasi mengenai kearifan lokal sebagai penulis skenario.