Manik Maya, seorang penulis novel picisan berkesempatan untuk menulis sesuatu yang berbeda dan berbau kearifan lokal. Namun, saat tengah meriset Candi Borobudur, sebuah bencana tak terduga terjadi dan menariknya ke perut bumi
***
Batuan di bawah kakinya berdenyut. Mereka hidup dan bergerak! Sebelum Maya menyadari apa yang tengah terjadi, batu-batuan itu telah bergemeretak, bumi rengkah. Dia kehilangan pijakan. Dia ingin menjerit seperti suara-suara pekikan bercampur gemuruh yang menyumbat telinganya. Tangannya bergeming, padahal dia ingin menggapai-gapai sesuatu agar tak ikut amblas seperti orang-orang asing di dekatnya. Namun, kengerian itu menelannya, mengirimnya kepada kegelapan.
*
Ketika menatap pahatan ‘Kala’ di gapura Borobudur, Manik Maya dicekam sekelebat pikiran ganjil, bahwa di balik gerbang itu ada kawasan purba. Area yang tak pernah tercatat dalam sejarah. Bukan delapan mandala dan dasar Candi Borobudur yang dibangun pada abad kedelapan, Kala akan membawanya jauh sebelum itu. Pikiran itu membuat tubuhnya beku sesaat.
Sesungguhnya, reaksi semacam itu semestinya tak lagi membuatnya awas. Berada di tempat asing selalu membuatnya ketakutan. Dia terlalu terbiasa dengan tempurung apartemennya. Dunia yang tak lebih luas dari tiga puluh meter persegi. Hampir tak pernah keluar selain ke minimarket untuk belanja bulanan. Maya selalu bermimpi menginjakkan kaki ke berbagai pelosok, tapi tak punya cukup keberanian untuk melangkah jauh. Pada akhirnya, hanya benaknya yang berkelana lewat buku-buku. Namun, kesempatan itu benar-benar datang, yaitu sebagai pemeran pengganti untuk sahabatnya yang semestinya berangkat dalam program resindensi ini. Keberuntungan dan kebetulan, pikirnya, tak boleh dilewatkan. Maka meski gentar, dia merelakan diri untuk terenggut dari dunia kecilnya.
“Periksa setiap detailnya, jangan sampai ada yang terlewat!”
Suara lantang seseorang asing membuyarkan imajinasi Maya. Secara refleks, dia menoleh pada sumber suara. Seorang pria pendek dengan wajah tak bersahabat—yang mengingatkannya pada arca Dwarapala—tampak sibuk membolak-balik kertas setelah memberi instruksi ini itu. Pria lainnya mengangguk cepat, kemudian berjalan dengan tergesa melewatinya. Ransel si pria—yang tampak kebesaran di tubuh kurusnya—menyenggolnya, membuat pria itu lekas-lekas meminta maaf, kemudian bergegas memasuki area candi. Tatapan Maya kembali terarah pada pria pertama. Dia tak bisa menahan penasaran pada gambar di kertas itu. Guratan-guratannya menampakan denah candi.
“Apa candi ini mau dipugar lagi?” batinnya.
Pria ketiga yang memakai topi koboi mendatangi si pendek. Ekspresi keras si pendek berubah ramah. Mungkin si koboi itu bosnya, simpul Maya. Merasa diawasi, si koboi menatapnya curiga. Maya berpaling, membuang rasa penasarannya. Berurusan dengan orang asing tak ada dalam rencananya.
Maya kembali memfokuskan diri pada tujuan kedatangannya. Setelah mengumpulkan keberanian, dia memutuskan masuk. Imajinasi konyol tak seharusnya membuatnya bergeming. Datang ke bangunan ini untuk melakukan riset merupakan impiannya sejak lama. Mungkin, lebih baik pikiran liar itu dia biarkan hingga menyusun plot cerita matang di benaknya. Membayangkan karya pertama yang mengusung gagasan kearifan lokal, setelah belasan tahun menulis roman erotis, membuatnya kembali bersemangat. Dia melangkah perlahan menaiki undakan. Saat kakinya menyentuh lantai pertama, Maya mengembuskan napas lega. Kala tak menyeretnya ke tempat lain. Tentu saja!
Pemandangan relief-relief di hadapannya kembali membuat nyali Maya ciut. Wajah-wajah di pahatan itu tampak terlalu hidup di matanya. Mereka seakan bernapas. Seolah kejadian di dinding relief Jatakamala itu tengah terjadi, sekarang. Lihat wajah dalam relief itu, Maya! Mereka tampak damai, mereka bercerita tentang kelahiran, bukan kemusnahan! Begitulah apa yang dia baca dari buku tentang Borobudur.
Maya mengatur napas, mencoba menyingkirkan ketakutannya.
“Sentuh! Coba saja sentuh! Itu hanya bongkahan batu vulkanik!” perintahnya pada diri sendiri.
Otak Maya mendorong tangannya bergerak menuju sebentuk wajah. Jarinya gemetar. Namun, sebelum kulitnya merasakan tekstur relief tersebut, tangan lain mendarat terlebih dulu. Maya menatap pada wanita di sebelahnya dengan tangan masih mengambang di udara.
Wanita itu memiliki mata yang menyorotkan keberanian dan kecerdasan sehingga membentuk bias cantik pada muka bulat telurnya. Tangannya kemudian bergerak lincah di atas gawainya. Kepalanya tampak sangat sibuk, sehingga tak memedulikan Maya.
“Jadi, Mbah, ada banyak cerita konspirasi yang melibatkan Candi Borobudur ini. Ada yang bilang dibangun oleh jin, ada teori tentang reliefnya yang menggambarkan kedatangan UFO dan alien, beda dengan catatan sejarah yang menyebutkan dibangun oleh Dinasti Syai… Syai… Duh, dinasti apaan sih? Susah banget ngingetnya! Lo bikin skrip belibet banget!” tukas seorang wanita lain sambil menunjuk-nunjuk kamerawan-nya.
Tanpa berkomentar, si kamerawan memberikan selembar skrip yang diambil dari saku pada wanita itu. Dari mimik wajahnya, Maya menangkap kekesalan pria itu.
Saat muka si kamerawan terlihat jelas, Maya terkesiap. Kecerlangan dan sorot tulus di mata si kamerawan menyihirnya. Wajahnya tampak kekanakan, tapi Maya yakin, dia menyimpan kekuatan besar. Seolah mampu menciptakan atau bahkan menghancurkan peradaban.
“Dinasti Syailendra. Gitu aja enggak hafal. Dasar YouTuber abal-abal,” ujar wanita di sebelah Maya dengan nada sinis, kemudian melengos.
“Sorry, Mbah. Kita ulang lagi,” kata si YouTuber sambil memberi kode pada kamerawan dan pria berbaju lurik di sebelahnya.
Setelah mendengar pertanyaan yang diulangi si YouTuber, pria berblangkon itu berpikir lama, seakan sedang menerka-nerka jawaban. “Ya… ee… ee… candi ini ‘kan pernah terkubur karena gempa … jadi, ya … ya … wajar ‘kan kalau jadi banyak bermunculan teori konspirasi,” jawab pria yang tampak seperti kuncen itu akhirnya, dengan ekspresi dan kegagapan yang tak bisa disembunyikan. Si YouTuber yang tampak tidak puas, hendak bertanya lagi, tapi saat mulutnya baru membuka, si kuncen terbatuk-batuk dengan cara sedemikian dramatis. “Ee… Mbah mendapat wangsit. Kita harus berhenti dulu.” Pria yang menyebut diri ‘Mbah’ itu memainkan jari seperti sedang menghitung sesuatu.
“Kenapa, Mbah Rakai?” tanya si YouTuber.
“Akan terjadi sesuatu,” jawab Mbah Rakai.
Muka si YouTuber berubah pias. “Apa itu, Mbah?”
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!