*Hipwee Premium kini hadir dengan ragam baru. Bukan cuma menyajikan cerita horor yang riil, Hipwee Premium akan menyapamu dalam bentuk cerita fiksi. Seperti edisi kali ini yang menceritakan seorang tokoh yang berprofesi sebagai ojol (ojek online). Tutup pintu kamarmu dan baca doa dulu sebelum membaca. Semoga kamu ‘selamat’ sampai ujung cerita~
Aku sedang duduk di emperan toko kosong ketika seorang kawan datang dengan muka masam. Kuurungkan niat untuk bertanya “Kenapa?” atau “Ada apa?” Alih-alih, aku hanya menyodorkan segelas kopi hitam yang baru saja kupesan di warung burjo seberang jalan.
Sebagai sesama penarik ojek online (ojol), aku paham keresahan macam apa yang membuatnya muram. Customer yang menyebalkan, tebakku. Menggeluti pekerjaan ini selama tiga tahun membuatku menelan cukup banyak kepahitan. Dulu, aku masih sering naik pitam tiap kali menghadapi customer resek yang membatalkan pesanan tiba-tiba. Beberapa kali orderan fiktif pun nyantol di aplikasiku.
Namun, sekarang aku sudah ‘ahli’, tidak amatiran seperti dulu. Aku sudah bisa mengendalikan diri ketika apes-apesnya mendapatkan customer jahil, nakal, atau menjengkelkan.
“Joko! Udah dapat orderan berapa?” tanya temanku yang baru datang tadi. Namanya Sardi.
“Baru tiga,” kataku dengan senyum tipis. Miris.
Tanpa banyak tanya, Sardi pun menunjukkan senyum yang sama. Jumlah orderan kami masih jauh dari target. Padahal, kami sudah menunggu sejak pagi. Aku bahkan datang di pangkalan ojol dari jam 06.00. Minggu ini, aku harus mendapatkan uang yang cukup banyak demi biaya kuota internet si sulung Salman. Agar anak lanang-ku itu bisa tetap sekolah online.
Akan tetapi, namanya rezeki, ya, pasti pasang-surut. Ditambah pandemi seperti gini, orderan tiap hari makin nggak menentu. Mendapatkan tiga orderan hingga pukul 17.00 saja sudah cukup bagus. Soalnya, aku dan teman-teman ojol lain terkadang cuma dapat tiga sampai tengah malam.
Ting!
Pesanan masuk. Aku yang hendak ngobrol panjang-lebar dengan Sardi bergegas melihat notifikasi ponsel. Seketika senyumku merekah. Aku dapat penumpang keempat sore itu. Tertulis nama penumpang:
Sekar Manisrenggo
Jalan Villa Bukit Sengkaling, No 21, Malang
Setelah memastikan ulang tujuan pengantaran dan penjemputan, aku segera menyalakan motor matic-ku dan menghampiri si penumpang. Sebelum itu, aku menghubungi Sekar agar ia menunggu.
“Baik, Pak. Rumah pagar merah, pohon sawo di depannya.” balas Sekar melalui aplikasi ojol-nya.
Tancap gas, aku langsung meluncur.
****
Aku mulai kesal dan sejujurnya pengin membanting ponsel di tangan. Bagaimana tidak? Kompleks perumahan ini sudah sekitar lima kali kuputari. Bolak-balik bertanya ke satpam di pintu masuk perumahan pun hasilnya nihil. Nggak ada rumah dengan pagar merah dan pohon sawo di depannya. Berkali-kali aku memastikan pada Sekar. Calon penumpangku itu selalu bilang, “Sesuai aplikasi, ya, Pak.”
Meskipun sudah mengikuti aplikasi maps, rumah Sekar tetap tak bisa ditemukan. Ujung-ujungnya, aku cuma berhenti di tanah kosong di sudut kompleks. Usaha yang terakhir, aku malah berhenti di depan jembatan dengan sungai kecil di bawahnya. Sepertinya, Sekar salah memberikan alamatnya atau mungkin aplikasi maps-ku yang bermasalah.
Aku sudah hampir menyerah. Tidak apa bila aku kehilangan calon penumpang. Aku memang butuh orderan, tapi energiku sudah hampir hilang. Bahkan, satpam yang melihatku mondar-mandir pun mulai jengah, sekaligus kasihan. Ia menyarankanku membatalkan saja orderannya. Di saat aku sudah putus asa dan hendak menuruti saran si satpam, Sekar mengirimkan pesan melalui aplikasi.
Coba sekali lagi, Pak. Saya sudah menunggu di depan rumah dari tadi, Pak. Tolong….
Kalau setelah satu kali lagi nggak ketemu, Bapak boleh pergi.
Aku yang mulai yakin membatalkan orderan, tiba-tiba bimbang. Pesan dari Sekar membuatku berpikir ulang. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya kuputuskan untuk mencari alamat rumahnya sekali lagi. Sepertinya patut dicoba sebelum aku benar-benar membatalkan orderan.
Waktu sudah menjelang malam sejak satu jam yang lalu. Aku menelusuri jalan yang sama lagi. Kali ini, aku mengendarai motor dengan lebih pelan supaya bisa lebih jeli menemukan rumah yang diciri-cirikan oleh Sekar. Melewati gang pertama, kedua, ketiga…. dan gang terakhir. Aku sudah tak berharap banyak. Dugaanku sih, rumah Sekar memang tidak ada, bahkan di gang empat.
“Pak, berhenti!”
Hampir mendekati rumah di ujung gang, aku mendengar suara perempuan. Setelah mematikan motor, aku berbalik. Kulihat bayang-bayang perempuan. Ia memakai rok wiru berwarna hitam. Tas selempang kecil tersampir di pundaknya.
“Pak Joko, kan?” tanya perempuan itu.
Aku cuma mengangguk pelan.
“Ya ampun! Akhirnya datang juga. Saya sudah nunggu lama,” katanya. Tesenyum dengan bibirnya yang tampak pucat. Bila diperhatikan, Sekar punya sorot mata yang cekung. Sementara itu, rambut sebahunya dibiarkan terurai.
“Masa sih bapak nggak lihat rumah pagar merah ini. Tuh, ada pohon sawonya juga.”
Aku tak menjawab perkataan Sekar. Pasalnya, kepalaku terlalu penuh dengan pertanyaan. Seingatku, rumah ini tidak ada saat aku memutari gang empat. Tidak mungkin bila aku salah lihat. “Kok bisa aku nggak lihat rumah sebesar ini?” batinku. Apalagi, seperti kata Sekar, ia sudah menunggu di depan rumah dari tadi. Perasaan ganjil dan pikiran yang diliputi tanda tanya membuatku tak bisa merespons kata-kata Sekar. Saat ia naik ke motor pun, aku tidak bisa berkutik. Keanehan ini sangat mengangguku. Namun, di sisi lain aku juga tak bisa berbuat banyak.
“Sesuai maps aja, ya, Pak,” kata Sekar.
“Oke, mbak Sekar,” kataku usai memberikan helm.
Walaupun merasa aneh, aku tetap mengantarkan Sekar ke tempat tujuan. Sepertinya aku memang kurang ‘ngeh‘ saja dengan rumahnya. Kurang asupan kopi hitam kayaknya.
Setelah melewati pos satpam, aku membunyikan bel motor untuk menyapa bapak satpam yang ada di dalamnya. Melihatku lagi, ia melongok ke luar dari jendela di sisinya.
“Sudah, Pak. Sudah ketemu orangnya,” ucapku sambil terus melaju.
Ia hanya melongo tak menyahut.
***
Memasuki Jalan Dinoyo, aku memulai percakapan dengan Sekar. Seperti pada penumpang-penumpang lain, aku memang selalu bersikap ramah. Biasanya aku menanyakan hal-hal sederhana, seperti sudah lama tinggal di Malang, kuliah atau kerja, atau ngomongin Kota Malang yang nggak sesepi dulu. Kini, kemacetan di mana-mana.
“Pak, belok ke arah jalan Sumbersari saja,” kata Sekar.
“Kenapa mbak?” tanyaku heran. “Bukannya malah muter jauh, ya? Jadi, tambah lama.”
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!