Tagar #poempm begitu ramai diperbincangkan setelah Putri Marino mengunggahnya di Instagram dengan keterangan #bukupoempm. Khalayak menilai, kumpulan tulisan atau puisi Putri Marino itu (telah) dibukukan. Dalam kolom komentar unggahan tersebut, mayoritas warganet nggak sabar pengen membeli dan membaca buku tersebut.
Beda ladang, beda belalang; beda medsos, beda komentar. Ya, warganet Twitter agaknya memiliki pandangan lain terkait buku puisi Putri Marino yang baru terbit itu. Ada beberapa utas Twitter viral yang membicarakan buku puisi itu dengan dua sudut pandang. Jelas, komentar negatif menjadi pemicu lahirnya perdebatan atas #poempm ini. Duh, sebenarnya, siapa sih yang harus bertanggung jawab atas perdebatan buku puisi Putri Marino ini?
ADVERTISEMENTS
1. Nggak yang utama sih, tapi penerbit buku puisi Putri Marino punya tanggung jawab yang nggak sepele
Pihak pertama yang harus bertanggung jawab adalah penerbit. Nggak, ia nggak salah kok. Itu hak penerbit mana pun untuk menerbitkan produk. Apalagi menerbitkan buku-buku dari para penulis ternama, secara nggak langsung hal itu juga akan mengatrol nama penerbit tersebut. Nggak heran, ada penerbit yang berkenan menerbitkan puisi Putri Marino. O, ya, jangan lupakan juga, inilah yang disebut privilese sebagai seorang artis. 🙂
Nah, sebagai pihak yang menerbitkan dan mengedarkan buku puisi Putri Marino, penerbit ini memiliki tanggung jawab yang nggak kalah besar dari nama Putri Marino. Ia harus menjelaskan pada masyarakat bahwa buku puisi ini merupakan puisi kontemporer, misalnya, bentuk puisi terbarukan, atau bagaimana caranya penerbit bisa menjelaskan pada masyarakat bahwa buku Putri Marino ini merupakan bentuk lain dari sebuah karya seni.
ADVERTISEMENTS
2. Editor adalah orang yang bertanggung jawab atas tulisan penulisnya. Kesalahan penulis adalah kesalahan editor
Masih dalam pihak penerbit, rasanya editor buku puisi Putri Marino ini juga laik bertanggung jawab. Pasalnya, puisi dari istri Chicco Jerikho ini menggunakan begitu banyak tanda baca elipsis. Bagaimana cara membaca sebuah larik puisi dengan tanda baca elipsis? Apakah larik puisi tersebut memiliki makna rumpang jika membaca larik selanjutnya? Apakah puisi tersebut akan berbeda makna jika kita menghilangkan tanda bacanya? Atau apakah ini yang dinamakan puisi kiwari alias kontemporer?
Sebagaimana mestinya, berdasarkan kaidah kepenulisan, tanda baca elipsis (…) digunakan sebagai penunjuk adanya bagian kalimat yang dihilangkan. Kalau penggunaan elipsis di akhir kalimat, harus menambah jumlah titik menjadi empat buah. Apakah hal semacam ini nggak luput dari peran editor dalam menyunting? Atau, baiklah, kalau kamu menyebut puisi itu bebas—nggak terikat—termasuk dari kaidah kepenulisan bahasa Indonesia. Heuheu.
ADVERTISEMENTS
3. Sebagaimana hobi masyarakat (menyalahkan), sepertinya memasukkan pihak pemerintah sebagai penanggung jawab rasanya oke juga
Saya enggan sepakat dengan masyarakat yang suka menyalahkan pemerintah dalam segala hal. Ya, meski memang ada banyak hal yang harus menyalahkan mereka sih. Tapi kali ini, rasanya pemerintah hanya perlu bertanggung jawab atas keributan puisi Putri Marino. Eits, ini bukan menyalahkan lo, ya.
Pada dasarnya, puisi memang bebas. Siapa pun bisa dan boleh menulis puisi, toh, nggak haram kok. Untuk diterbitkan dan dikonsumsi masyarakat? Harusnya nggak semudah itu, Lang, Lang! Orang buku nonfiksi saja ada yang disita dan dibakar kok. Berarti, dengan kata lain, pemerintah harusnya memiliki semacam lembaga atau instansi yang berwenang memberikan standar pada sebuah bentuk karya seni; apakah buku itu masuk dalam kategori sastra, sains, atau apa pun.
Kalau beberapa waktu lalu sempat ada isu akan dibuatkannya UU Permusikan, apakah UU Perpuisian juga perlu dicanangkan? 🙂
ADVERTISEMENTS
4. Siapa lagi yang harus bertanggung jawab selain warganet? Berkat warganet, perdebatan buku puisi Putri Marino ini menjadi viral
Memang wajar, ketika ada sebuah karya baru dan mendapatkan berbagai respons dari masyarakat. Kritik dan pujian adalah wujud apresiasi tertinggi. Justru kalau nggak ada tanggapan sama sekali, kita sepakat melabeli karya tersebut sia-sia. Di sinilah peran masyarakat atau warganet yang (berkemungkinan) mengonsumsi buku puisi Putri Marino. Syahdan, warganet sudah selayaknya bertanggung jawab atas perdebatan ini. Mereka yang berkompeten dalam susastra atau puisi, lumrahnya memberikan pencerahan atas argumen subjektif warganet ini. Kalau bukan mereka, siapa lagi?
ADVERTISEMENTS
5. Media sosial adalah pihak yang seharusnya sangat bertanggung jawab. Sebermula adalah media sosial, baru perdebatan dari twit ke twit~
Bukan sebuah kenisbian lagi, media sosial adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas perdebatan warganet soal buku puisi Putri Marino. Ya, kalau nggak ada media sosial, kakak dari Sitha Marino ini nggak bakal bikin puisi ‘semesta’ di Instagram, kan? Kalau nggak ada Instagram, puisi ini nggak akan dibukukan, kan? Kalau nggak ada Instagram yang jadi wadah Putri Marino menulis puisinya, nggak akan ada buku puisi #poempm yang diperdebatkan warganet di Twitter, kan? Dan seterusnya, hingga, kalau nggak ada Instagram, kamu tentu nggak akan membaca artikel ini dong.
Sekali lagi, saya nggak menyalahkan pihak yang termaktub dalam artikel ini, ya. Toh, mereka memang nggak salah kok. Lagipula, sewajarnya, kalau sebuah karya sudah dilemparkan ke masyarakat, biarkanlah masyarakat yang menilai~
Jadi, siapa yang paling bertanggung jawab?