Di era informatika seperti sekarang ini, semakin hari semakin banyak pengguna media sosial yang saling terhubung di dunia maya. Hal itu membuktikan bahwa orang sudah nggak segan lagi menunjukkan aktivitas keseharian untuk dikonsumsi oleh publik. Hal yang biasanya hanya dilakukan oleh para selebritas tersebut kini hampir semua orang melakukannya.
Nah, salah satu media sosial yang paling sering digunakan saat ini adalah Instagram. Platform yang awalnya digunakan sebagai media bertukar foto ini mulai berubah fungsi sebagai media ajang “eksistensi diri”. Namun muncul kekhawatiran dari arus baru kebudayaaan ini. Salah satunya adalah fenomena “gila” followers. Kenapa sih orang-orang selalu pengen punya banyak followers, meski dirinya bukan siapa-siapa?
Semakin ke sini orang banyak yang gila followers demi eksistensi; meningkatkan kepercayaan brand untuk endorsement. Tren yang diadopsi dari kalangan selebritas
Dari ingar-bingar instagram saat ini, apabila kita cermati, kita dapat melihat bahwa ada satu fenomena “kompetisi” ihwal jumlah followers. Kompetisi di sini bukan dalam konotasi resmi dilombakan, namun secara tersirat kita dapat melihat bahwa jumlah followers seakan mejadi perlombaan antarsesama pengguna, yang berindikasi bahwa semakin banyak followers, akan semakin “hitz”.
Nggak jelas sejak kapan fenomena ini bermula. Nggak jelas pula penyebab fenomena ini ada. Namun asumsinya, tujuan mereka mengejar jumlah followers yang banyak, boleh jadi, karena kepentingan bisnis. Sebagaimana yang biasa terjadi di kalangan selebritas; jumlah followers dijadikan garansi olehnya agar pemilik brand memanfaatkan jasanya sebagai ikon iklan produk. Sederhananya masyarakat meniru selebritis yang memanfaatkan jumlah followersnya untuk membuka jasa endorsement, meski mereka hanya orang biasa.
Berbagai cara pun mereka lakukan. Dari beli followers aktif-pasif, hingga memajang foto-foto seksi dengan menunjukkan lekuk tubuh
Mungkin nggak salah, ketika orang-orang berlomba-lomba untuk mendapatkan banyak followers di media sosialnya. Tapi yang menjadi keresahan adalah ketika mereka menggunakan cara yang instan. Seperti memanfaatkan jasa jual followers yang begitu marak dijumpai, hingga momosting foto-foto seksi yang cenderung porno; menunjukkan belahan dan bentuk tubuh di akun pribadinya. Tujuannya sudah pasti, pengen meraup followers, yang sudah pasti juga cowoklah yang akan mengikuti akun tersebut.
Dan kesalahan berikutnya adalah, nggaka cuma cowok-cowok dewasa saja yang menjadi followers-nya, melainkan anak-anak di bawah umur. Sebuah fenomena ‘gila followers‘ yang meresahkan, bukan? Sayangnya, kita nggak bisa menyalahkan warganet yang belum cukup umur itu. Inilah yang harus menjadi tanggung jawab kita, para generasi muda, dan juga para orang tua.
Selain membuat akun berkonten porno, membuat akun palsu tokoh pun menjadi cara yang sering digunakan untuk meraup banyak follower
Selain dengan ‘menjual diri’ dengan penampilan yang terkesan seronok itu, beberapa cara lain sering kita temui di Instagram. Sebagai contoh: membuat akun berkonten pornografi sering dijadikan jalan pintas untuk meraup followers (biasanya akun bisnis). Mula-mula akun yang bersangkutan menampilkan konten-konten dewasa, setelah jumlah followers mereka tinggi, akun itu kemudian beralih menjadi akun bisnis untuk meraup pundi-pundi finansial.
Kemarin, pubik dikejutkan dengan pernyataan dari akun Instagram Pusat Penerangan TNI. Akun resmi milik pemerintah tersebut mengingatkan pengguna media sosial untuk mewaspadai akun Instagram palsu yang mengatasnamakan Panglima TNI Gatot Nurmantyo. Akun tersebut bernama @gatot_nurmantyo, yang memiliki 174 ribu followers dengan 129 postingan. Entah kurang kerjaan atau apa yang ada dalam benak si pembuat akun palsu ini. Namun rasanya kita bisa berasumsi bahwa akun ini dibuat dengan tujuan serupa, yakni untuk meraup followers demi kepentingan pribadi. Bagaimana pun tindakan ini nggak bisa dibenarkan karena dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada hal-hal yang merugikan pihak yang bersangkutan.
Media sosial memang diperuntukkan bagi siapa saja tanpa pengecualian. Kita sebenarnya sah-sah saja menggunakannya untuk kepentingan bisnis, nggak ada yang salah. Namun kita perlu bijak dalam memilih cara-cara yang kita pakai untuk membangun kepentingan bisnis kita tersebut. Jangan sampai niat baik memulai bisnis kita justru memberikan dampak yang buruk bagi pengguna lainnya seperti yang sudah dipaparkan di atas. Mari bijak menggunakan media sosial!