Hai, kamu!
Apa kabar kamu yang pernah menolak cintaku? Sudah kupertaruhkan gengsi dan harga diriku untuk menyatakan cinta padamu. Selama tiga minggu aku berlatih untuk menyatakannya, dan semangatku langsung lenyap hanya karena kalimat penolakan yang kau ucapkan tak kurang dari tiga menit. Kata-katamu yang berusaha sopan menolakku tetap saja membuatku pilu.
“Bukan aku nggak mau tapi kamu terlalu baik buat aku, kamu sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri. Kita bertema saja ya,”
Basi!
ADVERTISEMENTS
ADVERTISEMENTS
Aku tak pernah merasa kecewa saat kau menolakku, aku kehilangan orang yang tak mencintaiku tapi kamu kehilangan orang yang benar-benar mencintaimu.
Jangan kau anggap aku rugi karena telah mengeluarkan banyak hal untuk mendapatkanmu. Tidak sama sekali. Walau aku dulu aku selalu siap sedia saat kau meminta mengantarkanmu ke mana saja, atau sering mentraktirmu dan membelikanmu hadiah, aku tidak merasa rugi atas penolakanmu. Dalam hal ini, menurutku kamu lah yang akan merugi. Aku kehilangan orang yang tak membalas cintaku, sementara kamu kehilangan orang yang benar-benar mencintaimu. Mungkin, beberapa bulan setelah kamu menolakku baru kamu merasakannya. Kalau suatu hari nanti kamu berubah pikiran, tolong kabari aku secepatnya.
ADVERTISEMENTS
Kau sempat berkata aku adalah jawaban atas kemiskinanmu. Aku cukup besar kepala saat itu.
Ada hal yang membuatku percaya diri untuk menyatakan cinta padamu. Kau pernah berkata bahwa aku adalah jawaban atas kemiskinanmu. Kalimat tersebut seperti angin segar untukku. Aku sangat besar kepala pada saat itu. Kukira itu sebuah kode di mana kamu akan menerima cintaku ketika aku menyatakannya.
Tapi, takdir berkata lain. Kalimat itu hanya sebuah pepesan kosong yang tampak menggiurkan tapi dibuka ternyata zonk! Kau menolakku mentah-mentah karena menurutmu aku terlalu baik untukmu dan hanya kau anggap sebagai kakak. Asal kau tahu, aku anak pertama dari lima bersaudara. Adikku sudah cukup banyak dan aku pusing harus mengalah dengan mereka setiap hari. Kini, kau tak ingin jadi pacarku tapi hanya ingin jadi adikku. “Jadi kakak-adik, aja?” Yang benar saja, aku gak butuh adik lagi. Sumpah, aku tak mampu menerimanya.
ADVERTISEMENTS
Tak sedikit pun aku merasa merugi walau waktu dan biaya yang kukeluarkan untuk mendekatimu tidak sedikit.
Sekali lagi, aku tak merasa sedikit pun merugi karena mendekatimu. Meskipun banyak waktu terbuang untuk menarik perhatianmu. Bayangkan saja, aku bisa tiba-tiba meninggalkan waktu bermain DOTA-ku dan segera ke rumahmu waktu kamu bilang kucingmu akan melahirkan. Dengan kecepatan penuh, aku datang. Dengan skill kebidanan yang pas-pasan aku memberikan pertolongan darurat pada hewan kesayanganmu itu.
Aku juga tak merasa rugi uang sepersen pun saat mendekatimu. Aku memang bukan jutawan. Motor saja masih kredit. Tapi, kalau sekedar mentraktir kamu cilok tiap sore aku masih sanggup. Meski kalau diitung-itung lima ribu tiap hari, lumayan juga. Tapi, aku tak akan menghitungnya. Aku tak akan memperhitungkan semua yang sudah kukeluarkan untuk mendekatimu.
Pokoknya tidak! Pantang untukku memperhitungkannya. *ambil sempoa*
ADVERTISEMENTS
Kamu lebih memilih dia yang sedari selalu unggul daripada aku. Ya apalah aku ini, cuma remah-remah rempeyek dibanding dia.
Aku tahu alasan sesungguhnya kamu menolakku. Bukan, bukan karena kamu ingin jadi adikku. Aku tahu kamu juga sudah punya kakak yang tiap hari iseng gangguin kamu. Aku yakin kamu malas punya kakak lagi. Kamu menolakku karena ada dia yang lebih menawan.
Iya aku tahu, dibandingkan dia, aku mah apa atuh, cuma remah-remah rempeyek. Seperti tidak ada apa-apanya jika disandingkan. Dia begitu menawan baik dari sisi penampilan maupun dari isi dompet. Kalau aku jadi kamu, aku pasti juga naksir sama dia. Eh, bukan begitu, maksudku walaupun dia lebih segalanya dariku. Aku tak yakin dia punya cinta yang besar padamu, seperti yang aku milikki. Kalau pun dia benar-benar mencintaimu, pokoknya tidak mungkin sebesar yang aku rasakan. Jadi, intinya tetap saja kamu rugi menolakku.
ADVERTISEMENTS
Lihatlah sampai hari ini aku masih tersenyum, kadang juga tertawa sendiri.
Kamu piki,r setelah dengan kejam menolakku, aku akan patah semangat, sedih, lemas, letih dan lesu? Awalnya aku juga mengira aku akan seperti itu. Tapi, prediksi kita salah (ciyeeee dalam hal ini kita sepaham ya?). Aku sama sekali tidak merasa sedih. Sebaliknya, aku justru merasa bahagia. Eh, tidak juga sih. Aku hanya merasa lebih sering tersenyum setelah kau menolak cintakku.
Kadang malah aku sering tertawa sendiri. Kadang aku senyum masam karena setiap ketemu teman, mereka selalu mengejekku yang ditolak olehmu. Lalu kembali tertawa-tawa sendiri saat di kamar, entah kenapa, mungkin ada tanda-tanda aku mulai gangguan jiwa. Apapun alasannya, yang kamu perlu tahu, aku tidak menangis karena kau tolak, justru sebaliknya aku tersenyum dan tertawa untuk berbagai alasan selain karena bahagia.
Aku tahu kamu tak pernah bertanya tentang keadaanku. Kamu mungkin juga tak peduli. Aku hanya ingin menulis surat ini saja, tanpa perlu kamu balas, tapi kalau mau balas aku akan dengan senang hati membacanya.
Dariku,
Yang tiga tahun PDKT,
Tiga minggu latihan nembak,
Dan dalam tiga menit kamu tolak.