Momen menerima undangan pernikahan dari teman atau kenalan ternyata bisa jadi momen yang paling absurd lho. Gimana gak? Di satu sisi kamu pasti ikut gembira kalau salah satu teman atau kenalanmu akhirnya menanggalkan status lajang. Tapi di sisi lain, kamu juga bisa sedih kalau ternyata si mantan yang akhirnya nikah duluan dan kamu belum juga punya pasangan. Selain itu, banyaknya undangan nikahan yang mampir ke rumah pasti bakal bikin kamu elus-elus dompet.
Pasalnya resepsi pernikahan di Indonesia identik dengan pesta yang besar, mewah, dan biaya yang besar – atas alasan berbagi kebahagiaan. Akhirnya, dalam kultur kita muncul tradisi memberikan sumbangan (uang yang dimasukkan dalam amplop) kepada si empunya hajat. Sementara di era sekarang, amplop seringkali digantikan dengan kado yang ternyata belinya juga pakai uang.
Nah, ketika undangan yang datang bersamaan dan tradisi “nyumbang” itu mulai terasa memberatkan, mungkin di kepala kita akan muncul penyataan;
“Katanya sekadar berbagi bahagia, jadi boleh ya kalau kita datang gak bawa apa-apa tapi kasih doa aja…” (kemudian ditendang kedua pengantin sampai kutub utara)
ADVERTISEMENTS
Menikah adalah momen bahagia yang harapannya seumur hidup sekali. Wajar sih kalau pengennya digelar dengan meriah dan mewah.
Gak kok, bukan mewah tapi sekadar meriah. Sekadar berbagi kebahagiaan, jadi pengen bisa mengundang banyak (baca: ribuan) orang – bisa menyediakan tempat yang bagus, makanan enak, dan hiburan buat para tamu undangan. Sekali lagi, menikah adalah momen bahagia yang harapannya seumur hidup sekali. Jadi, nggak apa-apa dong kalau dihelat sedemikian rupa agar meriah dan tak terlupakan.
Sayangnya, acara yang demikian hanya bisa diwujudkan oleh mereka yang mampu alias punya modal. Namun atas nama gengsi, nggak jarang lho ada orang-orang yang nggak mampu tapi nekad pengen bikin nikahan yang WOW. Jalan pintasnya cuma satu, yaitu pinjam kesana-sini buat modal resepsi. Dan selama acara berlangsung, kalimat yang dirapal adalah:
“Semoga balik modal. Amin.”
ADVERTISEMENTS
Tradisi “nyumbang” sendiri sebenarnya punya makna yang baik dibaliknya. Inilah bentuk solidaritas dan kepedulian pada sesama.
Salah satu yang paling lekat dengan hajatan adalah tradisi memberikan sumbangan. Meski belum tentu diterapkan di seluruh Indonesia, tapi rata-rata masyarakat kita (misalnya Jawa) menganut tradisi ini. Sumbangan berupa uang atau zaman dahulu bisa berupa sembako atau hewan ternak, tentu saja semata-mata untuk membantu si empunya hajat. Menghelat resepsi pernikahan ‘kan butuh biaya besar dan tenaga, jadi orang lain harus sukarela untuk membantu.
Selain itu, sumbangan dalam bentuk apapun juga bisa jadi pemberian buat kedua mempelai yang akan memulai hidup baru. Ya, ibarat ikut andil kasih modal lah. Pengantin baru pastilah akan sedikit kerepotan mengatur keuangan – apalagi jika mengingat soal cicilan rumah, kendaraan, biaya kebutuhan sehari-hari, sampai menyambut si jabang bayi nanti.
ADVERTISEMENTS
Jika sumbangan berupa uang bisa meringankan, kado bakal jadi kenang-kenangan yang berkesan.
Di era modern, khususnya di kalangan anak muda, pemberian berupa kado mungkin lebih populer. Meski boleh dibilang sedikit agak ribet, tapi kado jauh akan lebih berkesan daripada sekadar amplop berisi uang. Misalnya, kita bisa memberikan kado berupa buku panduan hidup berumah tangga atau buku panduan membuat malam pertama yang berkesan dan sensasional. Selain itu, bisa juga memberikan kado-kado yang sifatnya jauh lebih personal. Seperti foto-foto kebersamaan pengantin denganmu atau video testimoni berisi harapan untuk kebahagiaan sang pengantin.
ADVERTISEMENTS
Saking lekatnya dengan tradisi ini, kita bakal berpikir kalau datang ke nikahan tanpa bawa sumbangan atau kado itu…hina!
“Tuhaaannnn…aku hina. Aku kotor…”
Hehe. Sebenarnya bukan merasa hina atau kotor sih, tapi malu aja. Bayangin gimana perasaan kamu saat menginjakkan kaki di teras gedung pernikahan dimana ada dua meja yang harus kamu lewati. Iya, meja tempat para tamu menulis nama di daftar hadir sambil memasukkan amplop ke dalam gentong sumbangan atau meletakkan kado. Bayangin gimana rasanya kalau kamu gak bawa apa-apa alias cuma bengong, sedangkan teman-temanmu semua bawa sesuatu di tangannya.
Belum lagi kalau temanmu yang menikah (dan keluarganya) itu perhatian banget. Perhatian gimana maksudnya? Iya perhatian kok! Karena di akhir acara dan setelah sampai di rumah biasanya pengantin dan keluarga yang menghelat acara akan sama-sama membuka amplop-amplop sumbangan satu per satu. Mencatat nama-nama yang tertulis dalam amplop beserta nominal uang yang disumbangkan. Meskipun ada sih yang nulis “NN” (No Name) atau “Hamba Allah” di amplopnya, tapi bayangin kalau ternyata gak ada nama kamu! Beuh….gitu banget dah rasanya… 🙁
ADVERTISEMENTS
Sementara, bawa sumbangan atau kado bakal bikin kita lebih PEDE menuju gedung resepsi. Gak malu deh sama gentong dan mbak-mbak penunggu tamu di sana.
Nah, bakal lain cerita kalau kamu sudah siap dengan sesuatu (amplop atau kado) di tangan saat datang ke acara nikahan teman. Saat melewati mbak-mbak yang berjaga di pintu masuk dan gentong-gentong tempat menaruh amplop yang sengaja dipajang di sana,
“You walk like a boss!”
ADVERTISEMENTS
Sayangnya, kehidupan modern telah menggeser makna baik dalam tradisi ini. Alih-alih bicara solidaritas, orang-orang justru menghitung untung-rugi.
Biaya gedung -> 30 juta
Katering -> 20 juta
Dekorasi -> 10 juta
Hiburan -> 10 juta
Lain-lain -> 5 juta
*Total 75 juta, sudah dibayar setengahnya dan setengahnya lagi akan dibayar setelah resepsi selesai alias nunggu jumlah sumbangan yang masuk.
Yup! Meskipun gak bisa dipukul rata, ini adalah fakta yang terjadi di sekitar kita. Manusia menjadi semakin pragmatis lantaran tuntutan hidup dan zaman. Ada yang dengan tulus menghelat sebuah resepsi semata-mata demi mengabarkan berita gembira dan berbagi kebahagian. Tapi, ada juga yang punya niat lain dibaliknya. Berharap bisa menghelat acara yang meriah dan mewah, dan kalau bisa sih balik modal plus ada lebihannya.
Kita terdidik untuk gak bisa cuek dengan anggapan orang. Akhirnya walaupun harus “empot-empotan”, tetap aja diusahain banget bisa nyumbang atau setidaknya bawa bingkisan ke kawinan.
Walaupun harus memangkas sepersekian dari gaji bulanan dan kerelaan untuk gak nongkrong-nongkrong unyu atau berburu sale, kebutuhan sosial yang satu ini tetaplah harus dipenuhi. Apalagi ketika undangan nikahan teman datang bersamaan misalnya dua bulan sebelum leberan atau di akhir tahun misalnya, kamu pun harus waspada dan putar otak. Jangan sampai kewajiban menjalankan tradisi sekaligus usaha menjaga gengsi ini memporak-porandakan keuanganmu. Yang pasti, kamu akan berusaha akan tetap bisa menghargai undangan dari temanmu sekaligus menjalankan apa yang memang sudah jadi tatanan sosial.
Tapi kalau boleh jujur, undangan yang ditunggu-tunggu adalah yang di bagian belakangnya tertulis,
“Dengan tanpa mengurangi rasa hormat, mohon maaf kami tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun.”