Jejak yang Tertinggal chapter 2 by Kinanti WP | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Sonya ingin bertemu Gladys, tetapi sahabatnya itu justru menjebaknya di ruangan terkunci bersama Angga, masa lalu yang ingin Sonya lupakan. Bagaimana Sonya bisa menghadapi Angga sekarang?
***
Belum sempat Gladys berbalik untuk pergi, sebuah tangan mendorongnya masuk ke ruangan. Tubuhnya yang tak siap terhuyung beberapa langkah ke dalam. Lalu, sedetik kemudian terdengar pintu yang berdebam tertutup, disusul bunyi kunci.
“Gladys!” Sonya menjerit sambil berusaha membuka kembali pintu. “Gladys, buka!”
“Nya, kamu harus ngobrol sama Angga,” teriak Gladys dari balik pintu.
“Dys, buka!”
“Kamu ngobrol dulu sama Angga. Nanti setelah kalian ngobrol aku akan buka kuncinya dan ngeluarin kamu dari situ.”
“Gladys, tolong buka.”
“Kamu tenang aja, Nya. Langit aman sama aku.”
Hati Sonya mencelus. Dia terus saja memukul pintu dan menggerak-gerakan gagang dengan harapan Gladys berubah pikiran.
Sonya berusaha membuka pintu | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Angga yang sedari tadi duduk diam di sofa hanya bisa memperhatikan Sonya. Mantan tunangannya yang menghilang dua tahun yang lalu, kini berada satu ruangan dengannya. Ternyata Gladys tidak berbohong saat menelepon dan menceritakan pertemuan tak sengajanya dengan Sonya. Perempuan yang pernah dia cintai setengah mati itu benar-benar ada di sini. Di kota Batam. Di tempat yang tak pernah dikiranya. Lebih dari itu, Sonya juga telah menikah dan memiliki seorang anak.
Angga tak pernah mengira akan seperti ini akhirnya. Menemukan Sonya adalah hal yang paling diinginkannya sejak dua tahun lalu. Sonya yang pergi sehari setelah Angga memintanya menjadi istri meninggalkan begitu banyak pertanyaan dalam benak pria itu. Kesalahan apa yang sudah dibuatnya hingga Sonya pergi tanpa pamit? Ke mana dia pergi selama ini hingga Angga tak bisa menemukan jejaknya? Dan siapa pria yang berhasil membuat mantan kekasihnya itu jatuh cinta dan setuju untuk menikah dengannya?
Angga sudah mengutuk dan memaki dirinya berkali-kali karena tidak menyadari tanda-tanda Sonya akan meninggalkannya. Dia mengira Sonya bahagia dengan hubungan mereka. Sehari mereka begitu bahagia, dan hari berikutnya Sonya pergi begitu saja. Tanpa pertanda, tanpa pesan, dan tak meninggalkan jejak. Hari-hari berikutnya membuat Angga hampir gila. Angga mencari ke mana-mana, meminta bantuan semua orang, termasuk Gladys yang merupakan sahabat Sonya. Tak satu orang pun mengetahui kepergian Sonya. Bahkan Sonya meninggalkan kamar indekosnya begitu saja, meninggalkan begitu banyak benda pribadi di tempat itu seolah dia akan kembali beberapa hari setelahnya.
Dua tahun lalu, Angga mencari-cari Sonya | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Gladys!” jerit Sonya keras sambil menendang pintu.
Sonya terengah. Napasnya putus-putus terbawa emosinya yang meledak atas apa yang dilakukan Gladys.
“Akhirnya aku menemukanmu.”
Suara itu membuat Sonya berjengit. Dia hampir lupa bahwa dirinya tidak sendirian di ruangan itu. Perempuan itu membalikkan tubuh dan menatap pria yang masih duduk di sofa. Pria itu masih sama seperti saat terakhir Sonya melihatnya. Rambutnya yang lurus disisir ke salah satu sisi dengan rapi. Ke kiri, selalu disisir ke kiri. Bahu bidangnya terbalut kemeja lengan panjang yang kedua lengannya dilipat rapi hingga ke siku. Hampir tak ada yang berbeda dari diri Angga. Hanya tatapan dingin itu yang belum pernah Sonya lihat sebelumnya.
“Gimana kabar kamu?”
Sonya menghela napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Sepertinya dia memang tidak punya pilihan lain selain menghadapi Angga.
“Aku baik,” jawab Sonya.
Keduanya saling menatap. Mulut keduanya terkunci untuk detik-detik yang terasa lama dan menyiksa.
“Gitu aja? Kamu nggak mau nanyain gimana kabar aku?” tanya Angga.
“A-aku nggak–“
“Aku nggak baik,” ujar Angga menyela. “Selama dua tahun ini aku nggak baik-baik aja. Aku udah nyari kamu ke mana-mana. Ke tempat keluargamu. Ke rumah semua paman dan bibimu. Mendatangi semua temanmu. Tapi aku nggak bisa menemukan kamu di mana pun.”
Ada yang sakit di hati Sonya. Rasanya seperti duri yang sudah lama tersimpan kini kembali bergerak mengoyak hatinya yang tersisa. Seharusnya tidak begini. Sonya lah yang dulu memutuskan untuk pergi dari Angga. Pindah ke kota lain. Sonya pergi tanpa memberi kabar pada siapa pun, bahkan keluarganya sendiri. Memulai hidup dari nol di kota yang baru, pulau yang asing. Seharusnya Sonya tidak merasa sesakit ini saat Angga menyatakan perasaannya.
“Duduk. Ada banyak hal yang perlu kita bahas,” ujar Angga.
Pria itu menggeser duduknya, menyisakan tempat untuk Sonya di sisinya.
Dengan langkah berat Sonya pun berjalan mendekati sofa, lalu duduk di ujungnya. Jantungnya berpacu. Pikirannya terbagi pada keberadaannya saat ini dan putranya yang bersama Gladys.
“Kamu pegang handphone? Boleh aku pinjam untuk nelepon Gladys?” tanya Sonya akhirnya.
“Gladys nggak akan balik ke sini walau kamu nelepon dia. Dia sudah bilang, kan. Dia baru akan ke sini kalau kita sudah bicara.”
“Tapi aku harus tahu kondisi anakku. Dia belum akrab dengan Gladys. Aku juga nggak tahu apakah Gladys bisa membuatkan susu atau ngasih makan dia.”
“Gladys punya banyak keponakan, dia pasti bisa mengurus anak-anak.”
Sonya menelan ludah. Kegugupan menyerangnya.
“Jadi anak itu benar-benar anak kamu?” tanya Angga mengubah arah pembicaraan.
Sonya mengangguk.
“Siapa namanya?”
“Langit.”
“Usianya?”
Pertanyaan yang satu ini jauh lebih sulit dijawab. Sonya tidak ingin berbohong, tapi menjawab pertanyaan itu akan membuat Angga berspekulasi tentang ayah dari anaknya.
“Setahun lebih,” jawab Sonya.
“Setahun lebih?”
Sonya tahu Angga sedang berhitung. Kepergiannya dua tahun lalu sudah jelas menjadi dasar perhitungannya. Sonya tidak mau Angga salah paham, tapi dia belum siap menjelaskan apa pun pada pria yang pernah mengisi hari-hari dan hatinya itu.
“Aku yakin anak itu bukan anakku. Kita nggak pernah melakukan hal-hal yang terlalu jauh. Jadi sudah jelas kalau anak itu pasti anak pria lain,” ujar Angga yang terlihat semakin kecewa. “Aku nggak nyangka kalau kamu secepat itu move on dari aku. Siapa laki-laki itu? Apa dia yang jadi alasan kamu pergi ninggalin aku? Atau dia yang membawa kamu pergi dari Jakarta?”
Sonya tersentak. Dia sudah menduga tuduhan itu akan datang padanya. Namun, mendengar langsung dari mulut Angga ternyata tetap terasa mengejutkan. Pahit dan menyakitkan. Rasanya seperti ada jarum berisi obat yang dipaksakan masuk ke kerongkongannya.
“Bu-bukan. A-aku ketemu su-suamiku setelah pergi dari Jakarta,” jawab Sonya terbata-bata.
“Berarti kamu ngembaliin cincin dariku dan membatalkan pertunangan kita karena dia?”
Sonya sama sekali tidak menyangka kalau rasanya akan sepilu ini.
Sonya kalut menghadapi pertanyaan Angga | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Bertemu kembali dengan Angga memang bukan sesuatu yang tak pernah melintasi pikirannya. Sonya pernah berpikir untuk kembali ke Jakarta dan menjelaskan keadaan sebenarnya, juga alasannya pergi. Sonya pernah mencoba mengangkat telepon dan menekan nomor ponsel Angga untuk mengabari tentang keberadaannya. Bagaimanapun, Angga berhak atas perpisahan yang lebih layak. Namun, hidup yang terus bergulir, dan kehadiran Langit, membuat segala rencana itu terhapus. Sonya memilih melanjutkan hidup, dan meletakkan Angga di kotak kenangan yang hampir tak pernah lagi dia sentuh.
“Jawab pertanyaanku, Nya,” pinta Angga.
Sonya menggeleng.
“Bukan. Bukan karena dia aku pergi dari Jakarta. Bukan karena dia aku mengembalikan cincin pemberian kamu.”
Kinanti WP adalah seorang pecinta buku yang menyukai hujan, tapi selalu takut petir. The Lady Escort, novelisasi Si Doel the Movie, Tanya Tania, dan Truth or Date adalah sebagian dari karyanya yang telah terbit. Kinanti dan informasi tentang karya-karyanya bisa ditemukan di IG @kinantiwp.