Siang itu seorang kakek keturunan Tionghoa tengah berjualan seperti biasa di salah satu jalanan kota Surabaya. Kulit pangsit dagangannya yang sudah disiapkan berada dalam dekapan tangan keriputnya. Di bawah hantaman terik mentari, kakek itu berdiri dengan tegar. Punggungnya memang sudah melengkung karena umur, namun semangatnya tetap berkobar.
Rupanya pemandangan ini menarik simpati salah satu pengguna jalan pada siang hari itu. Ia mengambil gambar kakek itu dan juga kartu nama yang tersemat dalam bungkus dagangannya. Foto Pak Wang pun diunggahnya ke sosial media Facebook tak lama kemudian. Seorang pria tua yang terus berusaha tanpa gengsi dan tanpa pandang usia.
ADVERTISEMENTS
Di kartu nama sederhana itu tercantum beberapa keterampilan yang tak sedikit dan cukup mencengangkan. Siapakah sosok pria tua dengan segudang bakat ini?
Foto dan informasi sederhana ini menggugah Hipwee untuk mencari tahu lebih banyak lagi tentang sang bapak tua. Hipwee pun mencoba menghubungi beliau pada akhir pekan, berharap ia tidak sesibuk hari biasanya berjualan di jalan. Rupanya Kakek Wang baru bisa menjawab telepon pada pukul 7 malam, itu artinya beliau masih membanting tulang hingga petang.
Wang Wei Ying Adi Wijaya namanya, Surabaya adalah kota tempat bernaungnya. Ia lahir pada tahun 1937 namun baru mendapatkan akta kelahirannya 3 tahun kemudian setelah lahir ke dunia. Suaranya terdengar bergetar dan omongannya sudah tidak terlalu jelas mungkin karena giginya yang telah keropos dimakan usia. Meski begitu, masih ada semangat dalam setiap ucapannya ketika kami tanyai tentang usaha dan harapannya.
Kakek Wang hidup berdua saja dengan istrinya. Sehari-hari mereka berdua bahu membahu membuat barang dagangan mereka sendiri. Meskipun hanya berjualan skala kecil dan menjajakannya di jalanan mereka berdua sangat memperhatikan mutu dan kualitas.
“Saya, selalu pakai bahan yang bagus. Daging ayam semua yang segar. Udang saya pakai yang abu-abu (kualitas bagus). Minyak selalu saya ganti setiap hari.”
Pak Wang dan istri sangat memperhatikan kepuasan pelanggan meskipun mereka tidak punya tempat berjualan tetap dan penghasilannya tidak pasti. Selain berjualan kulit pangsit, ia juga membuat siomay, kue atau roti. Ketika ditanya mengapa berjualan di jalanan, Pak Wang mengaku karena dia tidak sanggup menyewa stand atau kios untuk menjajakan dagangannya.
“Biaya sewa tempat di sini (Surabaya) mahal sekali. Saya tidak sanggup. Nggak apa-apa saja jual di jalan, di lampu merah, di kampus-kampus. Yang penting ada pemasukan.”
Sehari-harinya beliau bangun dari pukul 2 pagi untuk menyiapkan barang jualannya. Dijajakan mulai pukul 10 pagi dan beliau baru akan kembali ke rumah pada pukul 9 malam. Bagi kita yang masih muda saja waktu kerja seperti ini sudah terlihat sangat berat; bagaimana dengan Kakek Wang yang umurnya sudah senja?
“Bagi saya sudah jadi kewajiban saya sebagai kepala keluarga. (Jualan) Ini biar dapet uang, udah keharusan buat biayain hidup sama nyonya.”
Tidak ada gengsi maupun keengganan dengan alasan usia yang sudah renta, Pak Wang tidak mau menyerah pada semua itu. Sampai sekarang pun ia tetap tidak ingin mengalah pada keadaan, tak pernah terpikir baginya untuk meminta belas kasihan orang lain. Bahkan dari kedua anaknya yang sudah tinggal jauh –satu di Malaysia dan satu di Sampit–, dirinya pun tidak pernah menuntut apa-apa
“Saya bekas guru, daripada ngemis mending pasang muka tebal jualan di jalanan. Yang penting uang halal.”
ADVERTISEMENTS
Tidak hanya membuat berbagai penganan, Wang Wei Ying Adi Wijaya juga memiliki keahlian di bidang mengajar. Ia mahir bahasa Inggris, Mandarin dan juga mampu mengajar beberapa mata pelajaran lain.
Sebelum menjadi penjual makanan di jalan, Wang pernah bekerja sebagai guru di sekolah Tionghoa pada tahun 60-an. Latar belakang pendidikannya yang terakhir adalah bangku Sekolah Menengah Atas jurusan pendidikan. Menurut pengakuannya via telepon, selama beberapa tahun beliau mengajar di sekolah tersebut sebagai guru bahasa Inggris dan Mandarin. Selain itu Kakek Wang juga mahir aljabar dan hitung-hitungan sempoa.
Beliau juga mengaku pernah ditunjuk sebagai asisten seorang ahli kimia dari Tiongkok yang mengajari cara pemanfaatan bahan-bahan kimia yang pada zaman itu belum awam di Indonesia, untuk membuat produk-produk seperti sabun, parfum dan sejenisnya.
Setelah tak lagi mengajar, beliau sempat juga menjadi pemandu wisata. Namun sejak dua tahun lalu, kakek Wang diberhentikan dan tidak diperlukan lagi jasanya karena alasan usia. Sejak saat itu ia sempat mencoba pekerjaan lain seperti tukang reparasi televisi dan akhirnya sekarang berjualan makanan sambil menawarkan keahliannya dalam mengajar beberapa mata pelajaran.
“Saya bisa ngelesi (mengajar) bagi mereka yang mau belajar bahasa Mandarin dan Inggris. Kalau mau belajar sama saya saja, bisa langsung bicara percakapan. Sesekali ke sekolah-sekolah untuk ngisi kelas pengganti…”
Apapun yang dia bisa, dia lakukan demi menyambung hidup. Tak pernah terbesit rasa malu atau malas sama sekali. Pak Wang harus terus bekerja untuk membuat dapurnya terus mengepul. Apalagi mengingat rumah yang dia tempati bersama sang istri bukanlah rumahnya sendiri, melainkan pinjaman dari seorang keponakannya yang berbaik hati. Mereka tinggal di sana sekaligus merawat rumah tersebut. Tak lama lagi rumah itu akan dijual, bukan tidak mungkin sewaktu-waktu pasangan ini harus angkat kaki.
ADVERTISEMENTS
Harapan bapak Wang tidaklah berlebihan, dia hanya berharap agar diberi umur sedikit lebih panjang untuk terus mencari rejeki bersama sang istri yang setia mendampinginya.
“Selama nyonya masih bisa bantu mau kerja, semoga Tuhan kasih panjang umur sedikit supaya saya bisa cari rejeki terus.” ujar Pak Wang disertai dengan gelak tawa pelan.
Bapak Wang yang tahun ini menginjak usia 78, juga berharap agar bisa mendapatkan modal dan teman usaha yang bisa membantu bisnis makanannya. Stand atau warung dirasa akan sangat membantunya.
“kalau ada uang sewa, mau sewa stand. Biar dagangan nggak kena matahari dan hujan lagi… Sering rusak (barang dagangan) kalau kehujanan…”
Ternyata berjualan di jalanan bukan tanpa hambatan; dagangan pria sepuh ini sering terancam rusak jika berada di bawah udara terbuka seharian. Tubuh rentanya juga sudah terkikis usia dan tidak seprima dulu, terbayang tentu resiko kesehatan yang dihadapinya jika setiap hari diterpa udara jalanan. Namun sekali lagi Wang Wei Ying Adi Wijaya tidak mengharap belas kasihan siapa-siapa. Dia berharap bisa melanjutkan usahanya secara jujur dan adil. Ada atau tidaknya orang yang kelak hendak menjadi partnernya, Pak Wang tidak akan berhenti bekerja keras demi kehidupan yang lebih baik.
ADVERTISEMENTS
Apabila kakek tua ini saja tidak pernah patah semangat dalam menghadapi badai kehidupan yang hebat, apakah kita yang masih belia mau begitu saja mengalah pada keadaan.
“Pikir-pikir daripada kumelamar kerja, lebih baik kumelamar kamu…”
Sebuah potongan bait lagu yang sering kita dengar didendangkan di jalanan. Isinya kekecewaan karena kesulitan mencari mata pencaharian di jaman sekarang, dan akhirnya generasi muda yang mendendangkan lagu ini memilih untuk “menikah saja” daripada berkarya. Bukan pemandangan asing lagi bagi kita melihat orang-orang muda yang putus asa di tengah jalan dan memilih hidup di bawah belas kasihan.
Padahal kalau kita mau menengok ke sekitar, banyak orang yang mungkin sudah tidak prima lagi fisiknya dan uzur umurnya tetapi masih berupaya keras mencari rejeki dengan kedua tangan mereka sendiri. Tidak manja, tidak malas, tidak butuh belas kasihan hanya butuh penghargaan atas usaha keras mereka menyambung hidup. Belilah dagangan mereka. Kalau kamu gak butuh dagangannya, cari alasan buat membeli seperti unuk dijadikan hadiah atau semacamnya. Karena mereka memang pejuang bukan peminta-minta di jalanan.
Pesan Pak Wang Wei Ying Adi Wijaya untuk para anak muda Indonesia adalah untuk jangan mudah menyerah, teruslah belajar dan berusaha demi hidup yang lebih baik. Tak akan ada hal baik yang datang dari keputusasaan dan tak akan ada hal yang sia-sia dari sebuah perjuangan.