Gudang Warisan Bapak Final/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
Tamu datang silih berganti. Para saudara, kerabat jauh, tetangga, semua memberikan belasungkawa atas meninggalnya bapak. Entah hanya perasaanku saja, tapi ada beberapa yang tampak tak ikhlas mengucapkannya. Sebagian orang itu adalah tetangga dekat. Bisa kuasumsikan, merekalah yang sempat diganggu bapak selama sakit. Kalau memang begitu, maka aku maklum.
Kak Sabit sempat menyinggung masalah utang dan piutang bapak. Bila ada yang belum terbayar, silakan ditagih, bila ada yang belum membayar, mohon kesadarannya. Begitu kira-kira inti perkataan Kak Sabit pada para pelayat, dan seperti dugaanku, yang datang menagih jauh lebih banyak dari yang membayar. Sayangnya kami tidak punya catatan yang jelas tentang siapa saja orang yang pernah meminjam uang pada bapak. Walau berat, tapi kami mencoba ikhlas. Sebagian orang lebih suka membawa utangnya ke dalam kubur dan membayarnya di akhirat.
Aku pergi menyuguhkan kopi untuk bapak-bapak yang sedang mengobrol di luar. Saat hendak kembali ke dalam, seseorang menghampiriku.
“Zara.”
Orang itu adalah Pak Sukril. Beliau yang membantu membawa jenazah bapak ke pemakaman dan juga mengumumkan kabar meninggalnya bapak di masjid.
“Zara kapan balik ke kota?” tanya Pak Sukril.
“Nanti malam, Pak.”
“Lo, nggak besok aja? Atau nunggu tujuh harinya bapakmu saja?”
Aku menggeleng. Mungkin saat ini Pak Sukril berpikir buruk tentangku. Mungkin aku dianggap anak yang kurang ajar karena pergi di saat keluarganya sedang tertimpa musibah. Namun, aku tidak peduli. Setelah kejadian tadi malam, aku tak ada niat lagi bermalam di rumah ini.
“Ada rencana kembali ke sini habis lulus nanti?”
“Nggak ada, Pak. Saya mau kerja di sana, kebetulan sudah ada tempat yang cocok.”
“Alhamdulillah,” ucap Pak Sukril.
Ia melihat sekeliling teras rumah, seolah memastikan percakapan kami tidak didengar orang lain.
Ternyata…/ Illustration by Hipwee
“Zara yang tabah, ya,” sambung Pak Sukril. “Kamu tahu, kan, saya kenal dekat dengan almarhum bapakmu. Kami sering nongkrong bareng sebelum beliau sakit. Almarhum orang yang baik. Jadi, apapun yang kamu dengar tentang beliau, terutama keburukannya, tolong jangan terlalu dipikirkan.”
Nasihat Pak Sukril ini seolah menjadi lampu hijau. Aku merasa bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk bertanya. Aku tidak peduli apakah Pak Sukril adalah orang yang tepat, tapi karena ini adalah hari terakhirku, aku merasa harus tahu semuanya.
“Apa benar bapak saya adalah korban santet, Pak? Kalau iya, dosa apa yang bapak saya lakukan sampai ada orang yang membencinya?”
Pak Sukril mengangkat kopiah hitamnya, lalu menggaruk-garuk kepala yang ditumbuhi rambut kusam yang mulai jarang.
“Gitu, ya, jadi Sabit belum kasih tahu semuanya sama kamu?”
“Maksudnya?”
Pak Sukril mendengkus. Ia kelihatan bingung, menyesal, dan bersalah.
“Saya nggak bisa kasih tahu banyak, Ra, karena memang nggak banyak yang saya tahu, tapi kalau boleh, saya mau kasih nasihat ke kamu.”
Pak Sukril mencondongkan tubuhnya ke depan, mencorongkan tangannya ke dekat telingaku. Sambil berbisik, ia memberikan nasihat yang bukannya menjawab pertanyaanku, malah membuatku semakin bingung. Setelah itu, Pak Sukril buru-buru pamit. Ia menghindari bicara lebih banyak. Entah karena ia merasa bahwa ini bukan urusannya atau seseorang melarang Pak Sukril untuk buka mulut.
Hilang sudah kesempatanku untuk tahu lebih banyak tentang bapak, terutama tentang sosok mengerikan itu. Ya, dia masih menghantui pikiranku sampai sekarang. Dia alasan terbesar aku tak mau tinggal semalam lagi di sini.
***
Menjelang magrib, jumlah pelayat semakin berkurang. Setelah dirasa tak akan ada lagi yang datang, kami menutup pintu rumah. Dua kakak perempuanku sudah pulang, tinggal aku, Kak Sabit, dan Kak Rohim sedang merapikan beras dan gula.
“Besok, sebagian kita bawa ke rumahmu, Him. Beras segini lebih dari cukup buat tahlilan sampai hari ketujuh,” tutur Kak Sabit.
“Sisanya gimana?” tanya Kak Sabit.
“Ya buat Zara di sini.”
Aku mendelik. Kutolak kebaikan hati Kak Sabit dengan tegas.
“Jual aja! Aku nggak butuh beras sama gula, aku nggak mau tinggal di sini. Kan nanti malam aku sudah balik ke Surabaya,” kataku.
Kak Sabit mengangguk.
“Ya udah, besok pagi aku bawa ke warung Mak Yayan. Uangnya nanti aku transfer. Lumayan buat bayar kontrakanmu di sana.”
Kak Rohim melihat jam di ponselnya, lalu memberi isyarat pada Kak Sabit untuk pulang.
“Oh, udah hampir isya, ya? Ra, kami pulang dulu, ya. Besok pagi kami ke sini lagi,” kata Kak Sabit.
“Kamu berangkat jam sembilan, kan? Setengah sembilan aku ke sini, nanti aku antar ke gapura,” sambung Kak Rohim.
Kak Sabit dan Kak Rohim pamit. Mereka tahu aku akan pulang malam ini, tapi tak sedikit pun ada rasa perpisahan. Bukannya aku mengharap, hanya saja dengan betapa ngototnya mereka memintaku datang, mereka cenderung masa bodoh saat aku pulang. Mungkin karena urusan mereka sudah selesai. Warisan sudah dibagikan dan aku tak lagi dibutuhkan.
Begitu kedua kakakku pergi, kututup pintu rumah lalu masuk ke kamar. Aku harus berkemas. Jangan sampai ada barang penting yang ketinggalan karena aku tak ingin lagi kembali ke sini. Baru kusadari, aku membawa terlalu banyak pakaian, padahal selama di sini hanya dua kali ganti baju. Hal ini sudah jadi kebiasaan. Aku pernah membawa hampir separuh isi lemari untuk pergi menginap di rumah teman yang sebenarnya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu lama. Hanya dua hari. Temanku sampai meledek, katanya aku mirip orang yang diusir dari rumah.
Saat sedang mengambil dompet di atas meja, ada sesuatu yang terseret jatuh. Sebuah kunci. Aku memungutnya, lalu saat itu juga pekerjaanku terhenti. Aku duduk di lantai sambil kuamati kunci pemberian Kak Sabit. Muncul rasa penasaran yang sebelumnya tak pernah terpikirkan.
“Kamarku yang dulu, sekarang kayak apa, ya?”
Tak buang waktu, aku tinggalkan koper dan peralatan mandi yang belum selesai dikemas, lalu pergi ke tempat yang dimaksud; ke kamar lamaku.
Malam ini semua lampu aku nyalakan, termasuk lampu dapur dan kamar mandi. Setelah kejadian semalam, kegelapan memberi kesan yang berbeda dan aku tak mau menghabiskan sisa dua jamku di sini dalam ketakutan.
Sampailah aku di depan kamar. Ada debar yang aneh saat aku membuka kunci pintu ini, seperti perasaan tak ingin masuk yang bergelut dengan rasa penasaran. Bunyi klik terdengar. Tuas pintu kuputar. Baru sedikit celah yang terbuka, kamar itu langsung menguarkan aroma yang menyengat. Wangi bunga bercampur wangi apak dan sedikit bebauan asing yang tak pernah hidungku kenal. Kamar ini gelap. Tanganku meraba-raba dinding di sebelah pintu, karena aku yakin di sanalah sakelar lampunya berada. Namun, berkali-kali kutekan, tak ada cahaya yang muncul. Kukira arus listrinya diputus, tapi saat kuperhatikan lagi, kamar ini sudah tidak ada lampunya.
Kubuka lebar pintu kamar agar cahaya lampu di luar bisa masuk untuk menerangi sebagian sisi kamar dan terbelalaklah aku dengan apa yang aku dapati.
“A-apa-apaan ini?”
Ini benar-benar berbeda dengan kamarku yang dulu. Tak ada kasur, tak ada meja, dan tak ada lemari. Jendela tempatku biasa mengintip teman-teman bermain gundu di halaman belakang sekarang sudah ditutup plang kayu. Namun, bukan perubahan itu yang membuatku terpaku, tapi benda-benda tak lazim yang kini terpajang di dinding dan di sudut kamar.
Lantai kamar ini penuh dengan bulu ayam hitam bercampur kelopak bunga yang sudah kering. Dindingnya ditempeli kertas-kertas yang sudah menguning. Di kertas itu terdapat tulisan-tulisan dengan aksara yang tak kupahami. Ada meja kayu kecil di sudut kamar, di lantai, di atas sebuah tikar lusuh. Meja itu biasa aku gunakan untuk mengaji, tapi kini di atas meja itu tertata tiga piring dengan telur ayam busuk yang sudah pecah dan belepotan sampai ke tikar. Di piring selanjutnya ada macam-macam bunga. Mungkin bunga yang sama dengan yang saat ini berserakan di lantai, lalu yang membuat darahku berdesir adalah, tiga boneka kain berwarna putih yang tergeletak di atas meja. Salah satu dari boneka itu ditancap sebuah paku di bagian dadanya.
Boneka santet/ Illustartion by Hipwee
Cukup sudah. Penemuan ini mengingatkanku akan pesan dari Pak Sukril tadi siang. Sebuah nasihat yang kupikir tidak nyambung, kini jadi masuk akal.
Tidak ada kata terlambat untuk bertobat, tapi sekali manusia bersekutu dengan iblis, jiwanya tidak akan pernah tenang. Kalaupun orangnya sudah meninggal, iblis akan mencari tuan yang baru. Tuan yang sudah dijanjikan sebelumnya. Mungkin ini terdengar tidak adil, tapi ilmu hitam adalah sebuah warisan yang seringkali tak bisa ditolak.
Sekarang semuanya jelas. Bapak bukanlah korban dari santet, tapi bapaklah tukang santetnya. Sakit yang dideritanya selama ini bukan kiriman dari luar, melainkan sebuah bumerang. Benar kata Pak Sukril, persekutuan dengan iblis tidak akan pernah berakhir baik.
“Ja-jangan-jangan, Kakak-kakakku sudah tahu tentang ini, makanya mereka memberikan rumah ini padaku?” gumamku, berang.
Aku tidak mau ada urusan lagi dengan kamar ini, rumah ini, dan bahkan aku tidak mau lagi berurusan dengan keluarga ini. Persetan dengan warisan. Ambil saja semuanya. Malam ini rasa ibaku pada bapak luntur sudah. Dengan segenap hati aku memantaskan kematiannya. Aku sangat membencinya. Bukan karena fakta bahwa bapak adalah penganut ilmu hitam, tapi karena saat kuperhatikan boneka kain yang ditusuk paku tadi, ada nama almarhumah ibuku di sana. Di boneka yang satunya juga ada namaku.
Tidak kurang dari satu jam aku telah siap meninggalkan rumah. Aku tak mau menunggu Kak Rohim datang menjemput, lebih baik naik becak saja. Tak ada perpisahan untuk musuh. Tak ada maaf untuk keluarga yang selama ini sudah menzalimi aku dan ibuku. Satu-satunya kenangan tentang mereka yang kubawa pergi sekarang adalah dendam. Dendam yang amat dalam.
***
Surabaya, 2014
Setelah terpaksa izin selama tiga hari karena ingin mengusir lelah dan menyembuhkan trauma, akhirnya aku kembali ke rutinitas semula. Kuliah, skripsi, dan revisi. Walau benci mengakuinya, liburanku di rumah bapak telah menyegarkan pikiran dari ruwetnya tugas mahasiswi tingkat akhir. Bimbingan hari ini berjalan lancar, dan tinggal selangkah lagi tanda tangan sakral sang pembimbing akan segera menghiasi lembar pengesahan ini.
Pukul delapan malam aku sampai di kontrakan. Teman-temanku yang lain belum pulang, jadi aku tak perlu mengantre untuk mandi. Lekas ku ganti pakaian, mengambil handuk, lalu pergi ke kamar mandi.
“Siapa?” tanyaku pada seseorang yang sedang duduk di lantai, di luar pintu kamar.
Handuk di tanganku jatuh ke lantai. Tanganku terlalu lemas untuk menggenggamnya erat. Pertanyaan barusan tidak perlu dijawab karena sosok itu terlalu familier bagiku. Hanya saja, kenapa dia ada di sini?
Sosok merah/ Illustration by Hipwee
Perlahan aku mundur. Tanganku menggapai-gapai ke belakang mencari pintu. Begitu kuraih, langsung aku masuk kamar dan membanting pintu. Kukunci rapat-rapat sebelum akhirnya melompat ke kasur dan sembunyi di balik selimut.
“Kenapa dia ada di sini? Kenapa dia mengikutiku? Kena….”
Aku terbelalak. Teringat akan sesuatu. Teringat akan sebuah kata yang memunculkan asumsi liar di kepalaku yang sedang panas.
“Jangan-jangan, yang dimaksud dengan warisan itu bukanlah rumah dan isi di kamar itu, melainkan ….”
Aku merasakannya. Sosok itu ada di kamarku. Dekat denganku. Berdiri di samping ranjang. Ada hawa panas yang semakin dekat hingga menembus selimut. Tubuhku bergetar hebat. Aku ingin lari. Aku ingin teriak. Dalam ketakutan yang memuncak, sosok itu membisikkan sesuatu padaku.
ZARA, AKU LAPAR!
***
EPILOG
Bersekutu/ Illustration by Hipwee
Surabaya, 2021
Zara, kamu bisa pulang ke sini, nggak? Kak Sabit meninggal, Ra. Kak Nurma dan Kak Imah juga sakit keras.
Begitu isi pesan singkat dari Kak Rohim. Usai membacanya, aku mengunci layar ponsel, lalu melemparkannya ke kasur bersamaan dengan aku melemparkan tubuhku sendiri. Nikmat rasanya berbaring setelah seharian bekerja keras. Persetan dengan seseorang yang sedang meninggal atau yang sedang sakit keras di ujung sana.
Kuraih boneka di balik bantal, kupeluk, kucium, lalu kutatap sambil tersenyum.
“Sekarang giliran kamu,” ucapku pada boneka kain berwarna merah yang di perutnya kutuliskan nama Abdurrohim. Sepertinya, teman baruku yang sedang duduk di pojok kamar juga antusias. Dia menyeringai. Menampilkan barisan gigi kuning yang penuh noda merah karena habis makan.