Gudang Warisan Bapak/ Illustration by Hipwee via hipwee.com
Sesampainya di ruang tamu, aku langsung membuka pintu. Namun, yang berada di balik pintu bukanlah Kak Sabit, melainkan seorang bapak-bapak berkopiah, bersarung, mengenakan kemeja putih yang seragam dengan serban yang tersampir di pundak kanannya. Aku tidak kenal orang ini. Mungkin pernah kenal, tapi lupa. Dari dapur suaranya mirip Kak Sabit, lagipula dia jelas-jelas memanggil namaku.
“Zara,” kata bapak itu.
“I-iya. Maaf, siapa, ya?” tanyaku.
Masih kupegang daun pintu. Kubuka hanya separuh. Aku tak ingin menerima tamu asing malam hari, terutama dalam kondisi seperti ini. Aku menoleh ke belakang. Berharap bapak tidak menyusulku ke ruang tamu.
“Wah, sudah lupa. Ini saya, Pak Sukril, yang jualan ikan,” tutur bapak itu.
Aku ingat! Pak Sukril adalah pedagang ikan yang setiap hari keliling desa menggunakan motor. Ia langganan ibu dan hampir setiap hari mampir ke rumah. Kalau tidak salah ingat juga, Pak Sukril ini ketua RT, tapi itu dulu. Penampilannya sekarang beda dengan saat jualan ikan. Pantas kalau aku tak segera mengenalinya.
“Oh, maaf, Pak. Saya pangling.”
“Ya, Nduk, ndak apa-apa.”
Pak Sukril sedikit memiringkan kepalanya. Ia mengintip ke dalam celah pintu yang kubuka.
“Zara sendirian?” tanyanya.
“Nggak, Pak. Bapak Zara ada di dalam, lagi tidur.”
Ya, itu jawaban terbaikku. Tak mungkin aku ceritakan yang sebenarnya. Sekarang tinggal berharap bapak tidak menyusulku ke pintu. Ada yang salah dengan kondisi bapak sekarang dan aku tidak mau orang lain tahu.
“Oh, ya sudah. Sebenarnya gini, kemarin Sabit menelepon saya, katanya hari ini Zara mau datang dan mulai tinggal di sini lagi. Nah, saya ke sini mau—“
“—Siapa yang mau tinggal di sini, Pak?” selaku. “Saya cuma pulang sebentar, soalnya bapak lagi sakit. Abis itu saya balik lagi ke Surabaya, Pak.”
Muncul kerutan di dahi Pak Sukril. Mungkin apa yang aku katakan tak selaras dengan apa yang kak Sabit katakan. Reaksinya sama seperti Kak Rohim tadi pagi. Aku bisa maklum kalau Kak Sabit bilang begitu sama Kak Rohim, tapi untuk apa berbohong pada orang lain? Siapa yang mau tinggal di sini? Apa Kak Sabit tidak berpikir kalau kuliahku belum selesai? Selesai pun aku tidak mau kembali ke sini.
“Oh, gitu ya,” gumam Pak Sukril. “Kalau gitu baguslah,” tambahnya.
“Bagus?”
Pak Sukril/ Illustration by Hipwee
Tiba-tiba gelagat Pak Sukril jadi aneh. Dia tolah-toleh seolah memastikan tidak dilihat atau didengar siapa pun, lalu ia berbisik.
“Kalau urusan Nak Zara sudah selesai di sini, mending cepat balik saja ke Surabaya. Terus ingat, kalau mau keluar, jangan lupa kunci pintu, ya.”
“Ke-kenapa, Pak?” Tanyaku penasaran.
Sebenarnya itu hal yang lumrah. Semua orang yang akan meninggalkan rumah pasti menutup pintu atau bahkan menguncinya. Namun, cara Pak Sukril mengatakannya seolah itu adalah sebuah kewajiban yang jika tidak kulaksanakan akan ada akibatnya. Entah di desa ini sedang banyak maling makanya harus kunci pintu, atau ada sesuatu di rumah ini yang menurut Pak Sukril tidak boleh berkeliaran di luar?
“Duh, gimana, ya. Saya ndak enak mau bilang. Intinya, jaga bapak Zara baik-baik. Jangan sampai keluar rumah dulu sampai sembuh, ya,” tutur Pak Sukril.
Aku masih punya banyak pertanyaan. Aku sudah siap membuka pintu lebar-lebar dan menyambut Pak Sukril layaknya tamu, asalkan Pak Sukril mau menceritakan semuanya. Namun, ia seperti terburu-buru. Setelah bilang begitu, Pak Sukril langsung pamit pergi.
Aku mengunci pintu rumah dan kembali ke dapur. Langkahku ragu, tapi nurani berkata bahwa aku tak seharusnya begitu. Sesampainya di dapur, kulihat bapak sudah tidak ada. Kulihat remah-remah roti berserakan di lantai bersama botol kosong air mineral. Bapak memakan habis semuanya. Syukurlah.
Sekarang aku ingin memastikan sesuatu yang saat ini sedang mengganggu pikiranku. Siapa sosok yang tadi kulihat berdiri di kamar bapak?
Kuberanikan diri mendekati pintu kamar bapak. Pintu itu masih sama seperti ketika masih jadi gudang dulu. Kulihat ada celah yang terbuka. Bapak tidak menutupnya rapat. Begitu sampai di pintu, aku mengintip ke dalam. Mulanya hanya sebelah mata, lalu pelan-pelan kubuka semuanya.
“Ti-tidak ada siapa-siapa selain bapak,” gumamku.
Bapak sedang tidur. Kondisi kamarnya membuatku tak henti berdecak. Ini bukan kamar. Ini masih gudang yang diberi ranjang, tanpa kasur, tanpa bantal. Bapak tidur beralas kardus.
Ingin kubangunkan bapak dan memintanya tidur di kamarku. Aku bisa tidur di ruang tamu. Namun, mungkin sebaiknya tidak sekarang. Aku tidak ingin menganggu istirahatnya bapak.
Aku kembali ke kamar dengan sebuah pertanyaan yang terus berputar di kepala.
“Ke mana perginya sosok tinggi dan besar tadi?”
***
Tengah malam aku merasa kepanasan. Ingin rasanya membuka jendela atau kalau memang tidak boleh, ventilasinya saja cukup. Aku ingat dulu selalu tidur mengenakan selimut karena faktor lingkungan rumah yang membuat malam hari sangat dingin. Namun, sekarang aku justru ingin jauh dari selimut. Tidak tahu lagi ke mana kain tebal berwarna biru itu kubuang. Tidak peduli. Kalau perlu, aku ingin tidur mengenakan pakaian pendek saja.
“Zara.”
Aku terkesiap. Itu suara bapak. Aku berpaling ke arah suara itu berasal, ke pintu kamar yang entah sejak kapan terbuka. Bapak tidak ada di sana. Pintu kamar hanya menampakkan ruang tamu yang gelap. Begitu aku melihat ke bawah, lagi-lagi aku tersentak. Bapak sedang tengkurap di lantai, mendongak, menengadahkan tangannya padaku sambil merintih.
“Zara, bapak lapar.”
Lapar/ Illustration by Hipwee
Apa yang normal dilakukan oleh anak perempuan ketika bapaknya yang sedang sakit parah, lalu mengeluh lapar tengah malam? Ya, tentu saja anak perempuan harus pergi ke dapur, menyiapkan makan, bahkan menyuapi bapaknya. Anehnya aku tidak sempat berpikir ke sana. Sungguh aku benci karena merasa ngeri dengan kondisi bapak saat ini. Aku kasihan, marah, dan sedikit jijik. Tidak, ini sama sekali bukan tentang masa lalu. Bukan tentang dendam karena dulu Bapak kerap kali menelantarkan ibu ketika sakit. Ini murni rasa takut.
“Ya, Allah, Bapak.”
Aku beranikan diri untuk turun dan menghampiri bapak. Kupapah ia ke kursi di ruang tamu lalu membantunya tidur. Bau badan bapak sangat menyengat. Belum lagi celananya basah. Pesing dan sedikit bau kotoran kering.
Aku bersumpah, kalau besok Kak Sabit datang, aku akan memarahinya habis-habisan karena telah menelantarkan bapak.
“Bapak, di dapur nggak ada makanan. Gasnya juga abis. Besok subuh Zara belanja, nanti Zara masakin buat Bapak.”
Bapak tidak menjawab. Rebahan di kursi panjang sambil terus meracau. Tak jelas apa yang ia katakan, tapi ada kata lapar yang terselip berkali-kali di sana. Sampai sekarang aku masih berpikir, sebenarnya bapak sakit apa? Lalu selama ini, siapa yang memberi bapak makan? Siapa yang merawat bapak?
“Bapak tidur saja, ya. Zara temenin,” hiburku.
Akhirnya aku mengambil bantal dan selimut, lalu tidur di lantai ruang tamu menemani bapak.
***
Lelah membuatku tak pilih-pilih tempat tidur. Lelap sekali sampai hampir terlewat salat subuh. Saat aku bangun, bapak sudah tidak ada di kursi. Aku tidak tahu sejak kapan ia pindah. Kamar bapak terkunci dari dalam sewaktu kuperiksa sehabis salat subuh. Aku biarkan saja. Bapak pasti masih mengantuk. Tugasku sekarang adalah belanja ke warung dan menyiapkan makan.
Sekitar pukul 8 pagi, saat semua masakan sudah tersaji di meja, aku mendengar suara pintu diketuk. Lekas aku pergi ke ruang tamu. Berharap kali ini yang datang adalah orang yang aku harap. Ternyata benar, Kak Sabit datang sendirian. Ia menjinjing dua kantong plastik besar.
“Hai, Ra,” sapanya.
Aku tidak berniat menyambutnya dengan hangat seperti seorang adik yang rindu kakaknya—kakak tirinya. Cukup kujawab singkat lalu kubuka pintu lebar. Dia bukan tamu, tak perlu ramah tamah. Terlebih setelah semua kebohongan Kak Sabit padaku, aku merasa harusnya lebih kasar dari sekadar cuek dan dingin.
Kak Sabit/ Illustration by Hipwee
“Siapa yang pindahin kursi ini?” tanyanya saat duduk di kursi panjang, di ruang tamu.
“Aku,” ketusku.
“Wah, baru semalam kamu di sini, rumah ini sudah banyak berubah. Lebih rapi dan bersih,” katanya, tersenyum. “Ini aku bawakan sayur, beras, sama daging, cukup buat masak tiga hari.”
“Kak,” aku memotong, sekaligus memberi isyarat bahwa aku tak butuh basa-basi.
“Ya?”
“Jujur sama aku, bapak kenapa?”
Kak Sabit pun mulai memasang wajah serius. Cara duduknya juga tak lagi santai, seolah ia hendak menjelaskan sesuatu yang berat.
“Kamu sudah ketemu bapak, kan?”
“Gimana nggak ketemu, kami satu rumah,” ketusku.
“Sudah tiga tahun lebih bapak sakit, Ra. Awalnya demam, terus mengeluh sakit dada dan sesak.”
“Terus Kakak biarin gitu aja?”
“Kami sudah bawa bapak berobat. Berkali-kali. Medis atau spiritual, semuanya sudah kami coba, tapi bukannya membaik, kondisi bapak malah makin buruk.”
“Apa kata dokter?”
“Itu dia,” Kak sabit menggaruk-garuk kepalanya. “Dokter bilang bapak nggak ada penyakit.”
“Apaan?” sergahku.
“Aku serius. Sudah empat rumah sakit yang kami datangi dan hasil diagnosisnya sama, bapak nggak ada penyakitnya. Akhirnya cuma dikasih vitamin sama obat demam dan pengurang nyeri, itu juga sudah tiga tahun yang lalu.”
Setelah mendengar penjelasan Kak Sabit, asumsiku kini lebih mengarah pada terganggunya mental bapak. Semacam penyakit jiwa.
“Apa bapak punya masalah beberapa tahun belakangan ini?” tanyaku.
“Masalah pasti ada, tapi nggak serius dan rasanya nggak mungkin jadi pemicu sakitnya bapak. Cuma waktu kami bawa ke tabib di Banyuwangi, katanya bapak kena guna-guna.”
“Guna-guna?”
“Semacam santet gitu, Ra.”
Sekarang aku benar-benar pusing. Penyakit bapak menabrak ranah fisik, psikis, dan mistis, tiga-tiganya adalah bidang yang tidak aku pahami. Selain fisik bapak yang kurus, perilaku bapak juga sangat tidak normal. Lantas, bagian mana yang membuat Kakak-kakakku memutuskan untuk memaksaku pulang? Ini bukan sebuah masalah yang bisa aku atasi.
“Aku bingung, Kak,” keluhku.
“Ya, aku tahu mungkin selama sakit, bapak sudah banyak merepotkan kalian, tapi nggak sampai gini juga kalian memperlakukan bapak. Bapak seperti—maaf—seperti hewan yang dikurung dan tidak dirawat sama sekali. Kasihan, Kak.”
Kak Sabit menundukkan wajah. Ini pertama kalinya aku menasihati kakak tiri yang paling tua itu. Meski sempat satu rumah selama dua tahun sebelum akhirnya Kak Sabit tinggal dengan istrinya, kami jarang mengobrol. Bicara seperlunya saja.
“Aku nggak bermaksud menelantarkan bapak. Tahun pertama bapak sakit, bapak aku bawa ke rumah. Tinggal sama kami selama dua minggu dan selama itu bapak bikin banyak masalah.”
“Masalah?”
“Bapak … bapak seperti orang gila, Ra. Dia makan semua yang ada di kulkas. Daging dan sayuran mentah juga diembat. Puncaknya, bapak kepergok kakak iparmu lagi nangkap ayam tetangga, terus dia coba memakannya hidup-hidup.”
Refleks aku menutup mulut dengan telapak tangan. Mendelik. Itu hal paling mengerikan yang pernah aku dengar tentang bapak. Kalau bukan dari Kak Sabit mungkin aku tidak akan percaya.
“Aku malu sama kakak iparmu sama mertua. Karena itu bapak aku minta tinggal sama Naura, tapi baru empat hari bapak di rumah Naura, kakak perempuanmu itu sudah menyerah. Bapak benar-benar nggak terkendali, Ra. Kami nggak punya pilihan. Imah ikut suaminya ke luar kota, Rohim juga masih bujang, kerja serabutan, dia belum bisa ngurus diri sendiri, gimana mau ngurus bapak? Akhirnya ini pilihan terakhir kami.”
Perasaanku campur aduk. Banyak hal yang terjadi di keluarga ini selama empat tahun terakhir, tapi aku tidak tahu apa-apa. Memang ini keputusanku untuk menjauh karena setelah ibu meninggal, aku merasa bahwa ikatanku dengan mereka juga terputus. Hanya saja, kejadian ini membuatku merasa bersalah. Sangat-sangat bersalah.
Tak ada argumen lagi dariku. Aku bisa menerima alasan Kak Sabit. Sekarang bukan waktunya berdebat. Kami harus mencari solusi segera sebelum aku kembali ke Surabaya. Kami diam beberapa saat, kemudian aku teringat sesuatu.
“Eh, Kak. Semalam waktu bapak keluar kamar, aku ngelihat seseorang berdiri di pintu kamar bapak. Orangnya tinggi, besar. Apa kakak tahu tentang orang itu?” tanyaku.
Reaksi Kak Sabit tak seperti yang aku kira. Ia malah melihatku dengan wajah heran.
“Orang? Nggak ada orang lain di rumah ini selain bapak, Ra,” jawab Kak Sabit.