Sebelum memulai tulisan ini, mohon kiranya para pembaca semua ikut mendoakan saya agar dalam beberapa waktu ke depan nggak ada yang menanyakan persoalan KTP saya atau tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah. Maklum, saya masih tinggal bersama mertua, jadi nggak lucu aja kalau tiba-tiba diciduk. Sebagai masyarakat Jogja yang mau gimana-gimana katanya cuma bisa nderek ngarso dalem, nggak dimungkiri bahwa Jogja menjadi salah satu kota yang proses penanganan pandeminya bisa dibilang paling karut-marut.
Hanya dalam waktu seminggu belakangan, hampir setiap masjid mengumumkan pemberitahuan orang meninggal. Belum lagi ditambah lalu-lalang ambulan yang sinyal sirenenya meraung kencang, tanda membawa pasien kritis. Jangankan nakes, para relawan pemulasaraan jenazah korban Covid-19 pun beberapa waktu lalu sempat menyatakan rasa nyaris putus asanya. Sebuah pemandangan yang 11-12 dengan kondisi perang.
ADVERTISEMENTS
Anjuran gotong royong lewat dana jimpitan sebagai usaha swadaya masyarakat dalam menanggulangi Covid-19 hingga absennya keraton bagi masyarakat
Nggak berselang lama sejak naiknya grafik kasus pasien Covid yang hari demi hari terus melonjak, pemerintah daerah setempat sebenarnya sudah sempat mewacanakan tindakan lockdown. Tapi alih-alih malah direalisasikan, ngarso dalem akhirnya muncul ke hadapan publik dan memberi pernyataan bahwa pihaknya nggak jadi melakukan lockdown lantaran merasa nggak mampu menanggung biaya hidup seluruh masyarakat Jogja. Pernyataan yang dikeluarkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X tersebut akhirnya menjadi salah satu titik awal keresahan masyarakat Jogja yang akhirnya mulai muncul perlahan di media sosial.
Belum lama ingatan publik tentang kejengkelan persoalan tadi hilang, kini masyarakat Jogja kembali dibikin geger dengan anjuran Sri Sultan tentang gotong royong selama pandemi. Dalam foto yang beredar dan viral di media sosial, ngarso dalem sebagai penguasa Jogja menyarankan jika pembiayaan operasional Satuan Tugas Penanganan Covid-19 di pedukuhan, rukun kampung, rukun warga, dan rukun tetangga, agar menggunakan swadaya masyarakat dengan semangat gotong royong dan jaga warga (dana jimpitan dan sumber lain yang sah).
Memang nggak ada salahnya, toh juga anjuran yang baik. Tapi sebelumnya nyuwun sewu, Sinuwun, publik menilai bahwa pernyataan ini adalah bentuk mangkirnya pemerintah untuk melindungi warganya saat pandemi berlangsung. Bahkan, sejak awal meledaknya kasus Covid-19 di Jogja pun warga sudah terbiasa bahu membahu satu sama lain, nggak perlu diberi saran untuk gotong royong. Wong kalau mengharapkan bantuan dari pemerintah setempat juga kayaknya seret bener. Ngapunten lho niki, Sinuwun.
Lagipula, dana dari jimpitan itu hasilnya juga seberapa, to? Untuk beli sayur satu keluarga aja terkadang masih nombok. Belum lagi kalau ada warga yang ngeyel kalau disuruh ikut pasang jimpitan, atau bocah-bocah ngglidik yang tiba-tiba ngambil uang jimpitan buat ngerental PS. Ini sama saja orang kere disuruh patungan sama orang yang sama-sama kerenya.
Tenang, Sinuwun, saya nggak akan membandingkan dengan danais yang jumlahnya bisa untuk memberi bantuan fasilitas para nakes itu kok. Iya, kagem nakes mawon, Sinuwun, soalnya warga udah terbiasa saling bantu sendiri, ndak apa-apa.
ADVERTISEMENTS
Dari Do It Your Self hingga Narimo Ing Pandemi
Puncak keresahan warga Jogja pun kian terasa beberapa waktu belakangan ini setelah munculnya pernyataan dari Twitter milik GKR Condrokirono. Beliau mengatakan bahwa pemerintah pusat dan daerah sudah memberikan pertolongan sebanyak mungkin seperti bansos dan juga vaksin gratis. Tapi sekali lagi nyuwun ngapunten, Ndoro Putri, bukankan itu memang sudah seharusnya menjadi kewajiban sebagai pemerintah?
Lagipula juga nggak perlu lagi ngungkit-ungkit masalah bansos, masyarakat sudah hilang kepercayaannya sejak bansos ditilep besar-besaran sama pemangku kepentingan. Kita sebagai masyarakat pun sudah puluhan tahun bayar pajak, kalau memberi bansos atau vaksin gratis pakai dana pribadi itu baru namanya bantuan.
Balik lagi, kita ini cuma warga biasa yang kalau protes dikit langsung ditanya KTP asal mana. Mungkin aja pihak kraton udah ngasih bantuan, tapi nggak mau mengumumkan karena takut dibilang umuk. Tahu sendiri, kan, jadi pemerintah itu nggak gampang. Iya to, Ndoro? Hehe.
Nggak sampai di situ, menanggapi blundernya pernyataan demi pernyataan yang ditulis oleh salah satu orang penting keraton ini, warganet pun akhirnya melampiaskannya dengan berbagai macam respons. Sepertinya, semakin ke sini DIY dianggap lebih cocok sebagai plesetan dari Do It Your Self alih-alih jadi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Mau gimana lagi, kita benar-benar disuruh bertahan hidup sendirian di tengah pandemi ini. Slogan nerimo ing pandum yang berarti menerima segala pemberian ini sepertinya juga banyak yang menganggap kalau lebih cocok digeser menjadi nerimo ing pandemi. Mau gimanapun langkah pemerintah, pokoknya kita disuruh terima-terima aja udah.
Sekali lagi nyuwun ngapunten, Sinuwun dan Ndoro Putri, saya cuma turut serta menyuarakan kegelisahan masyarakat belakangan ini. Semoga kita semua diberi kesehatan juga keselamatan. Tenang, saya masih KTP Jogja kok, bukan warga Makedonia.
Ikuti Instagram @wolesjon, biar nggak ketinggalan informasi seputar cowok dan dunia hiburan lainnya, kuy!