Begitu tahu siapa Lakes sebenarnya, amarah langsung menyergap Prinsa. Ia merasa dikerjai dan dibohongi. Terlebih, ia juga malu mengingat kebodohannya selama ini. Demi apa pun, bagaimana bisa dia menjelek-jelekkan sepak bola di depan mantan pemain sepak bola nasional?
***
Aku menekan dadaku yang tiba-tiba sesak. Mataku jadi panas dan berkabut saat menatap Taksa yang masih menatapku dengan pandangan bertanya.
“Gue….”
Taksa menepuk kening dan ketika telapaknya turun, aku malah melihat dia tersenyum. Sungguh-sungguh tersenyum. Dia menggelengkan kepalanya. “Gue nggak tahu lo sengaja bikin surprise atau gimana, pokoknya gue senang banget!”
Kepalaku rasanya berputar-putar. Aku berpikir Taksa terluka atau bahkan murka, tapi dia malah gembira. Aku berusaha mendengar Taksa, tapi ingatan tentang Lakes bergejolak di kepala.
Taksa memegang bahuku. “Terserah orang bilang apa soal Kanigara, gue tetap fans dia.” Taksa mulai emosional dan mengguncang bahuku—bagiku, semua kenyataan yang diungkap Taksa lebih mengguncang jiwa. “Terima kasih sudah bawa dia ke sini, Prinsa!”
Bibirku ternganga. Tidak ada kata yang bisa kumuntahkan, bahkan saat Taksa menggamitku kembali ke dalam kafe.
Pertandingan masih berlangsung, tapi fokus semua orang tak sepenuhnya di sana. Kursi yang aku tempati tadi kini lebih sesak dengan kursi yang ditarik mendekat. Lakes masih duduk di tempat yang sama sambil meladeni obrolan yang ditujukan padanya. Sesekali kamera di arahkan padanya, minta foto bersama. Ahay-ahay di layar putih raksasa kehilangan daya pikatnya. Hanya beberapa meja yang tetap setia fokus pada pertandingan, sesekali bicara dengan bibir mencibir ke arah Lakes. Taksa bergabung ke dalam lingkaran utama, tempat Lakes berada.
Apa yang terjadi malam ini benar-benar membuatku marah sekaligus jengah. Pilu tapi juga malu. Aku masih mencoba mengingkari apa yang terjadi. Lakes mengelabuhiku dan dengan bodohnya, aku sama sekali tidak tahu. Bukankah mendadak semua ini jadi lucu tapi juga sanggup menggores hatiku?
Bayangkan, aku jelas-jelas sharing ketololanku soal bola dengan pesepak bola. Apa coba yang dipikirkan Lakes selama ini padaku?
Tanpa disadari Lakes atau pun Taksa, aku menarik tasku dari atas meja dan diam-diam berlalu dari sana. Tanpa seorang pun sadar, aku meninggalkan tempat itu. Tanpa aku sendiri sadar, mataku sudah basah.
ADVERTISEMENTS
Aku berjalan tak tentu arah. Taksi susah didapatkan di sana, tapi aku belum memesan tumpangan pulang. Aku harus memesan taksi atau ojek daring tapi sebelum itu semua aku harus menjauh dari tempat bedebah ini. Punggung tanganku menyusut air mata yang merembes dan menghalangi pandangan. Jariku menggulir ponsel dan sebelum aplikasi ojek daring kutemukan, notifikasi Twitter tidak berhenti muncul di layar. Friends with Benedikta @FWBenedikta Maaf mengecewakan kalian semua, tapi gue privat dan belajar mati-matian biar nggak dibully netizen se-Indonesia lagi. 5,111 Retweets 2,129 Quote Tweets 50.2K Likes Gila Bola @bolamania88 Cuitan itu disertai dengan fotoku dan Lakes yang diambil diam-diam. Netizen langsung menyambar umpan tersebut dengan berbagai reaksi. Beberapa akun melakukan hal serupa; mengambil foto kami dari angle berbeda, terlihat akrab dan saling tertawa, dilengkapi caption yang menggiring opini kayak bola yang menggelinding ke mana-mana. Nggak julid @nggakasik Garuda di Dadaku @anindvd Lolalolaaa @lolalol @KanigaraL? Aku membuka akun itu. Foto profil akun itu memperlihatkan Lakes mengenakan seragam Timnas Indonesia. Bodoh rasanya selama ini aku nggak pernah mencoba stalking Lakes lebih jauh. Tanganku spontan menekan dada. Apa ini benar-benar Lakes yang aku kenal? Sulit dipercaya. Akun itu mengunggah cuitan terakhir sekitar setahun yang lalu. Apa ini artinya @OmbakTelaga adalah second account Lakes? Untuk apa? Untuk membodohiku? Thitiphan Tuhan @titipmenfess Ibeeen @Indarbeni Sharing Canva Pro @bisnisbossku Pemuja @RaskyRadityaJKT Ry @Ryandra Alta @altruisa Rasky Adinata @raskyadinatabatalima Inata @NanaTata Anti Julid Kalau Sedikit @PembelaKebenaran Aktivitasku meratapi caci-maki Twitter terhenti karena telepon Lakes. Aku buru-buru menolak panggilan itu. Cepat-cepat aku menggulir aplikasi ojek daring, tapi lagi-lagi pangggilan Lakes mengganggu. “PRINSA!” suara Lakes meneriakiku. Ya ampun, gebetanku ‘kan Taksa. Kenapa yang ngejar Lakes coba? Aku memutar kepala. Dia setengah berlari beberapa puluh meter di belakang sana. Kepalaku kacau. Pikiranku buntu. Hatiku tidak mau bertemu. Aku terlalu marah dan malu. Buru-buru aku mempercepat langkahku. “PRINSA! Tunggu dulu!” Tanpa perlu menoleh lagi, aku kabur menyusuri trotoar. Sialnya, celah trotoar membuat heels lima sentiku terantuk-antuk. Lakes jadi bisa memperingkas jarak di antara kami. Di depan ada turunan anak tangga. Kalau mau cepat, aku harus melepas heels. Setelah terlepas, aku melangkahi anak tangga dua-dua sekaligus sambil mengabaikan teriakan Lakes di belakang. Suara Lakes menghilang. Berguna juga melepas heels dan bertelanjang kaki malam-malam begini. Aku menoleh ke belakang untuk memastikan cowok itu tidak mengejar lagi. Ternyata, Lakes masih berusaha menyusulku. Bedanya, dia tidak lagi sambil berteriak memanggil. Tidak juga menatap ke depan ke arahku. Lakes memegangi lutut kirinya dengan bibir tergigit. Dia setengah menyeret langkah menuruni tangga dan akhirnya berhenti di sana. Aku ikut berhenti, memandanginya dari jauh. Tiba-tiba aku ingat soal kata-katanya waktu di rumah, “Kalau gue macam-macam, lo tinggal teriak atau lari. Gue nggak bakal bisa ngejar.” Untuk sesaat, rasa marah dan jengah itu berganti penasaran. Lakes sepertinya tidak tahu kalau aku sudah berhenti melangkah. Dia sibuk mengatur posisi, lalu secara tidak terduga, dia duduk di undakan tangga. Aku juga ingat, cara berjalan Lakes memang sedikit terpincang. Apa dia cedera atau semacamnya? Apa dia baik-baik saja? Ini aku harus gimana? Lanjut kabur? Lanjut marah? Atau ngecek dulu dari jauh seberapa parah keadaannya? Aku menggaruk rambut yang mulai basah kebanyakan drama lari-larian. Dadaku mengembang saat aku menarik napas. Atas nama ketabahannya dalam mengajariku bola, aku akan mengecek kondisinya dari jauh saja. Jadi aku berbalik sambil mengkalkulasi jarak sebelum memanggilnya, “Kes?” Dia diam. Sibuk meluruskan kakinya. Apa suaraku kurang kencang? “Lakes! Lo nggak apa-apa?” Baru Lakes menengadah. Tangannya yang memegangi kaki kini membuat gerakan menghalauku. “Gue kejar lo besok-besok lagi saja. Sana pulang duluan.” Sori? Gimana maksudnya ngejar besok-besok lagi itu? Tangannya menggusah lalu dia berpaling lagi. “Off you go, Prinsa.” “Gue tanya lo kenapa?” Lakes mengangkat kepala, tapi tidak menatap ke arahku. “Lo maunya gimana? Tadi gue samperin, lo lari. Sekarang gue berhenti, lo malah balik ke sini. Suka banget dikejar-kejar?” Sinisnya Lakes keluar, tapi justru itu yang membuat aku khawatir. Pertanyaan-pertanyaan baru tumbuh di kepalaku. “Prinsa, jangan ke sini!” Teriakan itu membuatku nyaris terjengkang saking kagetnya. Dari jarak lebih dekat, di bawah sinar lampu jalanan, aku bisa melihat Lakes mengatupkan rahang. Keringat menetes di pelipisnya. “Are you okay?” tanyaku hati-hati. “I’m not. Makanya, besok lagi kejar-kejarannya. Sekarang balik sana.” “Gue nggak suka main kejar-kejaran, Kes!” “Gue juga nggak suka orang lihat gue begini.” Dia memandang tajam padaku. “Please, leave me alone.” Permintaan itu rasanya lebih menyakitkan daripada kenyataan bahwa Lakes berbohong. Air mataku mau tumpah lagi, jadi aku berbalik dari Lakes. Satu dua langkah, rasanya berat. Aku menoleh lagi dan Lakes sedang mencoba berdiri. Nggak pakai mikir lagi, aku menyambar lengannya dari belakang lalu membantu menyeimbahkan tubuhnya. “Prinsa!” geramnya. “Benefit temanan sama gue, ditolongin meski lagi kesal!” “Gue nggak minta tolong, gue minta lo balik. Gue nggak suka dikasihani—” “Gue juga nggak suka dibohongi, Kanigara!” Aku menjatuhkan Lakes di bangku trotoar terdekat. Lakes mengaduh. Aku nggak benar-benar sengaja jatuhin sih, saking nggak kuat soalnya dia berat. Aku jadi merasa bersalah. Kayak gini bisa dituntut mencederai atlet nggak sih? “Sakit, Kes?” tanyaku hati-hati sekali. Lakes menggosok pinggangnya yang terantuk tepian bangku taman, lalu menatapku yang masih berdiri. “Nggak sengaja gue. Habisnya lo berat.” Lakes tetap diam. Aku nggak tahu arti tatapannya apa. “Sakit banget ya?” Aku merogoh ponsel. “Gue panggilin ambulans deh.” Tiba-tiba Lakes menahan tanganku yang bergerak mencari nomor ambulans. “Lebih sakit waktu lihat lo kabur dari gue.” Mataku langsung memelotot. “Mulai hari ini, kalau gue manggil lo Kes itu bukan kependekan dari Lakes, tapi Kesal!” Lakes cuma menggeleng sedikit sambil menatap mataku. “Nggak apa-apa. Itu artinya gue masih punya kesempatan memperbaiki semuanya. Minta maaf buat semua kesalahpahaman yang terjadi.” Bola mataku lalu berputar ke sana ke sini. Salah pakai saringan lagi mulut ini. “Gue nggak ada niat bohong, Prinsa.” Kebohongan ya? Kata itu mengingatkanku pada alasan kabur-kaburan tadi. “Lo pakai nama belakang, gue juga. Lo tanya sehari-hari gue ngapain, gue bilang main game karena emang nggak ada yang bisa gue lakukan selama cedera. Gue juga cerita soal toko dan sewa lahan makanya bisa tetap ongkang-ongkang sambil diam-diam meratapi nasib kaki gue. Gue di RS bukan karena desperate biar lo temui, tapi karena harus fisioterapi. Mana yang membuat lo berpikir gue berbohong?” “Kenapa lo nggak bilang dari awal kalau lo pemain bola?!” Aku nyaris berteriak. Sejak tadi, emosiku bergejolak karena satu poin ini. Bayangkan, apa yang dipikirkan pemain bola sepertinya saat harus mengajari seorang cewek tolol yang offside atau pergantian gawang saja nggak ngerti? Tanpa sadar aku meraup wajah; marah tapi juga malunya setengah mampus! “Pasti kebodohan gue, lo tertawakan habis-habisan! Lo jadiin lelucon di depan teman-teman lo.” “Sejak cedera dan nggak bisa main bola, gue sibuk sembunyi dari semua orang, bukan bercanda dan nongkrong sama orang, Prinsa.” Nggak tahu gimana caranya mendengar Lakes ngomong, rasanya tenang. “Gue nggak bilang gue pemain bola, karena setahunan ini gue nggak main, Prinsa. Harus gue bilang mantan pemain bola, sedangkan gue sendiri masih denial dan sering berharap balik ke lapangan lagi? Lo ingat waktu pertemuan pertama kita, gue bolak-balik tanya apa lo mengenali gue?” Lambat-lambat aku mengangguk. Adegan Lakes nunduk sambil miringin kepala yang kupikir pamer tampang manisnya? “Nggak ada orang terkenal yang perlu mengenalkan dirinya, Prinsa.” Telingaku senang banget mendengar Lakes menyebut namaku pakai nada menurun dalam penekanan intonasi belakangnya. “Awalnya, gue niat ngasih lo kejutan waktu kita ketemu pertama kalinya. Gue pikir lo bakal terkejut begitu tahu siapa pemilik akun yang sering lo panggil Om itu.” Lakes mendesah. “Ternyata, gue malah yang lebih terkejut karena lo nggak mengenali gue.” Mataku memejam. Telunjukku menggarung kerutan di kening. Aku jadi membayangkan bagaimana melongonya Kanigara Lakeswara yang orang-orang pada mengenalinya sedangkan aku ber-om-om tanpa tahu siapa dia sama sekali. “Selama ini, hidup gue cuma soal bola. Dari kecil, gue pengin jadi pemain bola. Uang saku gue habis buat beli bola, jersey, main bola. Pelajaran favorit gue juga cuma olahraga, bisa kuliah juga berkat prestasi gue di sepak bola. Gue bisa mengharumkan nama Indonesia juga berkat bola dan gue merasa sangat terkenal setelahnya. Tapi lo….” Lakes meringis. Aku ikut meringis. Miris banget. Lakes merasa dirinya terkenal, sedangkan aku nggak kenal. “Dalam hidup ini, yang terpenting bagi gue cuma bola sampai gue menutup mata dari hal lainnya. Makanya, waktu nggak bisa lagi main bola, dunia gue hancur. Gue jadi benci banget Timnas karena berpikir harusnya gue jadi salah satu dari mereka. Lalu, gue bertemu lo dan segala anggapan itu runtuh seketika.” Lakes terkekeh. “Semua yang gue anggap penting, ternyata sama sekali nggak berarti. Segala yang menghantui, gue sesali dan gue ratapi setengah mati, ternyata nggak semenakutkan itu. Netizen yang mengerikan dan merepotkan, ternyata bagi lo nggak sepenting itu. Popularitas yang gue pikir bikin semua orang tahu siapa gue, ternyata pemain bola nggak seterkenal itu.” Aku nggak tahu harus tersipu atau merasa tersanjung—atas kedangkalan pengetahuanku. Enaknya gimana? “Karena itu, gue merasa nggak perlu memperkenalkan diri sebagai pesepakbola. Nggak penting juga bagi lo, yang terpenting kita sama-sama nyaman. Mengenal lo bikin gue berhenti menye-menye meratapi nasib.” “Kalau lo suka, kenapa berhenti?” tanyaku. “Kalau lagi tanding sering tuh, pemain cedera terus disemprot-semprot pakai apaan tahu, semenit udah bisa main lagi.” Lakes tertawa. Apa tadi pertanyaan bodoh lagi? “Nggak ada yang mau berhenti, tapi kebodohan menghentikan mimpi gue.” Lakes menarik napas, membuangnya ke jalanan. “Waktu popularitas ada di genggaman, uang yang gue punya sudah berlebihan buat sekadar beli bola, jersey, bikin toko perlengkapan olahraga dan lapangan futsal, gue mulai mencari tahu caranya bersenang-senang. Gue mabok dan….” Dia menepuk kakinya. “Cedera ACL. Gue nggak nyangka nasib gue bakal kayak Agger—” “Agar? Jeli?” Lakes menggoyangkan kepala, ketegangan susut dari wajahnya. “Daniel Agger, pemain bola yang sempat memperkuat Liverpool. Tahu Liverpool, ‘kan?” Aku mengangguk. Memang pernah dengar. Dengar doang sih. Liver hati, pool kolam. Kolam jantung. Jari-jari, bertahanlah. Jangan nge-tweet. Kecuali mau di-bully. “Bedanya Agger cedera karena pertandingan, gue cedera karena ketololan. Agger punya banyak prestasi sebelum gantung sepatu, gue baru mulai nanjak udah pensiun dini.” Gantung sepatu? Di otakku terbayang sesosok cowok mencuci sepatu terus menjemurnya. Whatsoeva, nggak berani menginterupsi Lakes yang lagi serius. Di situ aku merasa udara mendadak begitu sesak. Seseorang yang susah payah mendaki ke atas, tergelincir ke bawah hanya karena tergoda memijak pijakan yang salah. “Gue nggak berhenti menyalahkan banyak hal, tapi akhirnya sadar. Satu-satunya kesalahan ada pada gue sendiri. Masa depan atlet Indonesia mungkin memang nggak bagus-bagus amat, tapi gue sama sekali nggak menyangka bakal gantung sepatu sebelum jatah usia produktif gue lewat.” Selama ini Lakes menyimpan semuanya sendiri? “Lo masih bisa pulih, kan?” Lakes mengangkat bahu. “Gue konsumsi painkiller. Sakitnya mereda, tapi beban gue nggak. Gue pernah jadi pemain yang sangat dibanggakan dan diharapkan, tapi harapan mereka hancur di bahu gue. Orang telanjur kecewa. Itulah kenapa gue mulai bersembunyi seperti pengecut, tapi ketemu sama lo benar-benar healing yang nggak terprediksi.” “Jangan patah semangat dong, cedera lo pasti bakal sembuh dan lo bisa balik lagi.” Lakes tersenyum, perlahan lalu melebar. Tangannya terulur menepuk sisi wajahku sampai panas dingin, lalu merapikan anak-anak rambutku yang kacau karena lari-larian. “I’ll try my best. Kalau pun nggak bisa balik, seenggaknya masih ada lo yang bakal ngasih warna hidup gue. Ya, kan?” Tahu-tahu Lakes memegang kedua tanganku, lalu menarikku dalam rengkuhannya. Aku jadi mengerjap gagap. “Y-ya!” Aku mendorongnya mundur. Canggung. Kaget. Jantungku amankah kamu di sana? Aku nggak bisa memegang dada karena tangan Lakes masih memegangnya. “K-kind of benefit temenan sama gue.” “Prinsa.” Lakes menatap mata gue. Kenapa harus sambil menatap mata dalam jarak dekat begini sih? “Hm?” Bunyi jalanan kalah sama bunyi dentuman jantungku. “Terima kasih sudah mau jadi FWB gue.” “Sama-sama dong, lo juga udah ngasih gue benefit teman ngobrol yang asyik, tabah dan sabar ngajarin soal bola—padahal mungkin saja lo nahan sakit kepala dan terhina karena dunia yang lo puja, sama sekali nggak dipahami sama gue.” “Gue terhibur, Prinsa. Sungguh. Lo membuka mata gue.” Lakes mengulurkan tangan ke wajahku, tapi aku buru-buru mundur—mengamankan jantung. Lakes mengangguk-angguk, tapi wajahnya terlihat datar seolah ada yang mengganggunya. Mendadak, aku jadi waspada. “Katanya, aturan dalam FWB tuh, nggak boleh bawa-bawa perasaan. Ya nggak?” Alisku terangkat. “Eh?” “Prinsa.” Aku suka cara Lakes menyebut namaku sebelumnya, bukan sekarang. Ada nada kesedihan pada caranya menyebut namaku sekarang. “Perasaan gue berubah dan gue rasa, FWB-an kita harus berhenti di sini.” Jantung, kamu menggelinding ke mana? Kenapa dunia rasanya berhenti bergerak dan jantung nggak lagi berdetak? “Kes, lo….” Aku tidak bisa melanjutkan kalimat karena tahu-tahu aku menangis. Kenapa sesesak ini mengakhiri sebuah pertemanan? “Hei, hei. Kok nangis?” “Lo yang jahat ke gue, tapi kenapa lo yang minta berhenti jadi teman gue?” Aku tersedu dan Lakes menarikku ke dalam bahunya. Kok rasanya makin menyesakkan tapi aku nggak mampu melawan? “Gue mau kita berhenti jadi teman, karena gue mau jadiin lo gebetan.” Aku yang sedang menarik napas karena senggukan, jadi diam kebingungan. Lakes tidak melawan waktu aku menarik diri. Mataku yang berkabut karena air mata menatap Lakes tanpa sempat diusap. “Lo mau nggak jadi gebetan gue?” Refleks tanganku menepuk bahunya keras-keras. “Sialan lo! Gue kira lo nggak mau kenal gue lagi.” Aku tergugu lagi. “Lakes sialan!” makianku tidak tertahankan. Bodo amat sama filter atau apa pun juga. Lakes malah tertawa dan aku memukulnya lebih keras. “Lama-lama gue nggak bisa main bola karena cedera tangan, bukan kaki.” “Bola ditendang, bukan dipakai tangan. Kalau kena tangan handball.” “Cie, gebetan gue sudah mulai paham soal bola,” Lakes malah cengar-cengir sialan. “Ogah gue jadi gebetan lo,” balasku bersungut-sungut. “Gebetan gue udah ada.” “Baru gebetan, ‘kan? Belum pacaran. Lagian gue jago rebutan bola, masa ngerebut hati lo nggak bisa?” “Dih!” Lakes terkikik geli sendiri. Sementara aku tersinggung disamakan dengan bola. “Cowok yang beneran sayang sama lo, nggak bakalan memaksa lo menikmati sesuatu yang nggak lo suka. Lo boleh berusaha menyenangkan dia, tapi dia juga harus tahu usaha lo, bukan nyuekin lo dan asyik sama teman-temannya. Gebetan lo nggak memenuhi dua kriteria itu.” “Terus lo, merasa memenuhi gitu?” Tanganku berlipat. Lakes memajukan wajah, menatap mataku dalam-dalam, hingga aku belingsatan. “Lo sendiri yang paling tahu jawabannya.” Aku membuang pandangan ke segala arah. Dekat-dekat Lakes bikin jantungku jumpalitan, kayang dan terjengkang-jengkang. Sejak kapan? “Sebenarnya gue pengin langsung ngajak pacaran, cuma karena kita belum kenal lama dan lo masih punya gebetan, biar waktu berbicara dan gue bakal berusaha merebutnya.” Lakes bangkit dari kursi sambil menumpukan tangan ke bangku trotoar. “Belum apa-apa dia sudah kalah langkah, kan? Lo kabur, tapi dia nggak sadar. Pasti masih sibuk nobar sambil pamer foto bareng gue di sosmednya.” Menohok! Lakes tertawa puas sekali. Tapi melegakan juga, rasa percaya diri yang biasa dia tunjukkan bangkit lagi. “Cari tempat makan yuk. Lapar.” Lakes mengulurkan tangan, aku mengalungkannya melewati bahuku. Takut dia masih butuh bantuan. Lakes tertawa senang, “Sering-sering saja begini.” “Sialan!” Aku nyaris melepas tangan, tapi Lakes buru-buru merapatkan bahuku padanya lagi. “Nanti kalau gue nggak cedera, nggak bisa gini lagi.” “Jangan cedera lagi. Gue semangatin lo di lapangan nanti.” “Nggak ah, gue nggak mau lo bete.” “Setelah gue pikir-pikir, bukan nontonnya yang bikin bete, tapi dicuekinnya. Nonton sama lo kemarin menyenangkan. Apalagi nontonin lo suatu hari nanti.” Kami berjalan menyusuri trotoar. Di berbagai tempat, orang berkerumun menonton pertandingan. Keseruan, teriakan, dan suara komentator menyemarakkan suasana. Aku tidak sabar duduk di stadion langsung dan menonton Kanigara Lakeswara berlaga. Semoga, suatu hari nanti dia bisa kembali ke sana. Semoga. TAMATKamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
Replying to @FWBenedikta
Setelah dihujat se-Indonesia raya, belajarnya nggak kaleng-kaleng!
Langsung dari pakarnya! Kanigara Lakeswara loh guys!
Replying to @FWBenedikta
Wah gilak! Ini beneran rame. Nitip absen dulu.
Replying to @FWBenedikta
@FWBenedikta mainannya udah nggak @RaskyRadityaBola tapi @KanigaraL
Mantap mantap tap tap tap
Replying to @anindvd @FWBenedikta
Cocoklah, sama-sama nggak bisa diharapkan ke depannya.
Replying to @FWBenedikta
Lama ngilang kok lo makin lol @KanigaraL
@FWBenedikta FWB-an sama @KanigaraL ? Awas diajak mabok lo. Bangun-bangun masuk RS.
Yakin fotonya @FWBenedikta sama @KanigaraL asli? Siapa tahu diedit pakai aplikasi Canva Pro. Aku jual lho, pembayaran bisa pakai Gopay, OVO, Spay, Dana, atau pulsa.
Mengingat apa yang terjadi pada pesinetron Rasky Raditya, semoga @FWBenedikta tidak memicu perseteruan dengan rekan sejawat sesama pesepak bola
Replying to @FWBenedikta
@altruisa temen lo nih, ngapain lagi? Baru juga ditinggal sebentar.
Replying to @Ryandra @FWBenedikta
Astaga, Ry. Kenapa lagi sih, Prinsa???
Masalah lo pacarin sih, Prin.
Replying to @FWBenedikta
Pantesan rep gue nggak dibls. Nggak mau Rasky KW, maunya Kanigara.
Pake jampi-jampi apa sih, @FWBenedikta sampai bisa ketemu @KanigaraL
Coba Mas @KanigaraL sebutkan apa yang membuatmu melirik @FWBenedikta yang nggak tahu apa-apa soal dunia yang kamu suka.
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
Tim Dalam Artikel Ini
Bagi Aya Widjaja, menulis novel lebih menyenangkan daripada menulis profilnya sendiri. Aya telah menulis enam novel (Starstruck Syndrome, Failure Tale, Editor’s Block, Monster Minister, Hellove & Alegori Valerie). Karyanya yang lain bisa dikepoin di IG @ayawidjaja