Friends with Benedikta chapter 5 by Aya Widjaja | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Acara nobar bareng gebetan yang ditunggu-tunggu Prinsa pun tiba. Pengetahuan sepak bola sudah di-upgrade, jari sudah lebih hati-hati saat nge-tweet, tapi kok Prinsa masih tetap sial? Apa kali ini dia akan kembali viral? Atau malah pdkt-nya gagal karena kedatangan tamu tak terduga?
***
Pertandingan Indonesia-Malaysia masih nanti malam, tapi trending topic Twitter sudah dibanjiri bahasan itu. Bukan semata karena bola, sudah rahasia umum Indonesia sering bersitegang dengan Malaysia. Jadinya, pertandingan macam ini jelas makin seru.
Aku semakin nervous buat nanti malam. Bolak-balik browsing lagi soal bola dan menghafalkan istilah yang diajarkan Lakes. Semoga tidak ada adegan offside karena sampai sekarang pemahamanku masih buram meski Lakes menjelaskan sampai sesenggukan. Supaya tidak terlalu nervous nanti malam, aku menyeret paksa Alta dan Ryandra untuk ikutan nobar. Daripada komentar doang sambil ngebodoh-bodohin aku yang gagal PDKT pas nobar tempo hari, mending mereka ikut dan melihat sendiri betapa tertekannya aku dalam situasi begini.
Alta dan Ryandra langsung melipir di pojokan begitu kami sampai di Lignin Café, tempat nobar. Padahal, aku sudah wanti-wanti supaya mereka di sampingku, membisiki komentar berbobot yang potensial melambungkan image-ku di depan Taksa. Eh, malah melipir berdua dengan alasan, “Supaya lo lebih leluasa semeja berdua doang sama Taksa.”
Iya, sih. Semeja berdua doang, cuma lihat dong, Taksa dari tadi miring ke kiri melulu ngerumpi sama temannya. Aku melirik meja sudut tempat Alta dan Ryandra berada, tapi mereka terlalu sibuk mabuk cinta. Dalam situasi begini, tanganku pasti langsung usil scrolling Twitter mengecek notifikasi.
Hujatan untuk Prinsa kembali dimulai | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Dih, siapa juga yang mau jadi anggota.
Indonesia libas Malaysia @afonsoindr Nunggu kebodohan apalagi yang bakal diungkapkan @FWBenedikta nanti malam.
Indonesia Juara Bola Asia @heruherihero @FWBenedikta biar diklaim milik Malaysia, asal juara pertandingan malam ini tetap Indonesia.
Gila Bola @bolamania88 Indonesia vs Malaysia @FWBenedikta buat Malaysia Kemenangan untuk Indonesia
Ini maksudnya pada mau jadiin gue tumbal pesugihan apa gimana?
Friends with Benedikta @FWBenedikta Maaf mengecewakan kalian semua, tapi gue privat dan belajar mati-matian biar nggak di-bullynetizen se-Indonesia lagi.
Alta @altruisa Replying to @FWBenedikta Prin, tahan-tahanin jari lo ya. Jangan sampai gue sama @Ryandra kabur karena takut ikutan dikeroyok.
Ry @Ryandra Replying to @altruisa @FWBenedikta Habisin dulu makanannya sebelum kabur. Lumayan dibayarin Prinsa, ‘kan?
Pencari Kebahagiaan @julidasik Replying to @FWBenedikta Nitip sandal dulu. Nanti balik lagi kalau udah banyak ketubiran.
Pencari @fwbeanaja Aku juga bisa ngajarin privat atau diajak curhat. DM-ku terbuka 24/7 untukmu.
Hiya! Hiya! Dari kemarin usaha melulu.
Yang Penting Halal @JualAkunPremium Replying to @FWBenedikta Kalau nggak suka bola, mending nonton drama saja. Aku jual Netflix, Viu, Spotify, WeTV, Disney, Iqiyi, Youtube, Vidio, Iflix murah meriah buat nemenin malam minggu kamu.
Bakso Bulat @baksobulat Replying to @FWBenedikta Semangat ya Kak, nontonnya. Udah makan belum? Cobain bakso urat lezat lagi diskon sebungkus isi 50 cuma cepek.
Apa pun bahasannya, jualan tetap yang pertama.
Rasanya pengin kubalas satu-satu tapi perhatianku langsung teralih karena pesan Lakes.
Jadi nobar?
Jadi dong. Semangat banget dia mau nobar sampai Lignin Café belum buka udah ditongkrongin sama dia biar duduk terdepan.
Hafalan & contekan aman semua?
Percuma. Nggak ditanya juga.
Selamat berpura-pura bahagia kalau gitu
SIALAN YA LO!
“Nggak apa-apa, ‘kan, kita nongkrongnya di sini?” Taksa mendorong french fries padaku.
“Nggak apa-apa, kok.” Aku pasang senyum palsu. Nonton bola, nggak masalah. Dirundung netizen, sakitnya nggak berdarah. Yang bikin resah itu kalau lo miring ke kiri mulu, sementara gue di sebelah kanan lo.
“Mau nggak?” Cowok di meja seberang menepuk bahu Taksa.
“Apa?” Taksa miring ke kiri lagi.
Bahuku melorot. Bete sekali. Baru miring semenit udah diakuisisi lagi.
“Minggu depan futsal. Gue udah sewa KFC buat main,” cowok pengganggu itu menambahkan.
“KFC?” Taksa membeo.
Kalau diajakin aku ikut, ah. Dia main futsal, aku makan ayam goreng.
Lagi-lagi Prinsa dicuekin Taksa | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Kanigara Futsal Court yang di Tebet, elah!” Pengganggu itu menimpali.
“Oh, Oke.” Taksa berbalik padaku lagi. Dia mengalihkan tatapan ke ponselku yang layarnya masih menyala menunjukkan interface Twitter. “Jangan bikin kehebohan lagi, ya. Nggak tega lo kena bully.”
“Nggak dong, gue udah belajar dan berguru baik-baik buat hari ini.”
Tuh, biar sekalian dia tahu kalau aku effort banget biar bisa nyambung sama dia. Mendengar ucapanku itu, Taksa terkekeh sambil tepuk-tepuk kepalaku.
Ponselku memunculkan notifikasi mengganggu dari Alta dan Ryandra. Dari preview-nya sekilas, aku melihat keduanya mengirimkan pesan ‘cie-cie’ berulang disusul dengan pesan menjengkelkan.
From Alta Cie… Ciiiieeeeee…
From Ryandra Cieee Jadian traktiran ya
From Alta Berhubung sudah ada adegan puk-puk, kayaknya malam ini bakal aman. Kita cabut boleh dong. Kelaparan tapi menunya enggak selera. Take care, Prinsa muahhh muahhh
Halah! Alasan memang! Aku mau melempar tatapan kesal pada dua orang itu, tapi Taksa lagi ngajak ngobrol. Akhirnya kuurungkan niat dan kulepaskan dua teman yang berkhianat.
Pertandingan dimulai, obrolan dengan Taksa pun selesai.
Aku mencoba fokus dengan pertandingan dan berceletuk sesekali sesuai template kalimat ajaran Lakes—emang enak punya FWB dengan benefit ngerti bola. Berhasil sih, menarik perhatian Taksa, cuma kan, pengetahuanku seuprit. Aku bukan komentator yang 45×2 bisa full ngoceh-ngoceh. Jadi begitu topiknya habis, aku diam daripada salah ngomong. Kafe semakin penuh, suasana makin riuh, sedangkan aku merasa makin jenuh.
Lakes ngapain ya? Aku membuka ponsel, siapa tahu dia balas pesanku.
“Sori, boleh gabung?” Suara itu ditujukan pada Taksa.
Padahal, Alta dan Ryandra tadi saja mojok biar nggak ganggu kami berdua. Sosok tadi bergeser ke sebelahku, mencoba ngomong sesuatu tapi terkubur ingar-bingar penggemar bola yang menggila. Dia menunjuk-nunjuk tas yang aku letakkan di kursi kosong tersisa. Aku sengaja nggak menoleh padanya supaya dia tahu aku keberatan dengan kedatangannya, tapi atas nama kemanusiaan, aku tetap mengambil tasku dari situ. Kekesalanku nggak ditangkap oleh orang itu karena dia tetap duduk di sana.
Lakes, lagi nga-game ya?
Nggak. Kenapa?
Chat gue nggak dibales.
Tadi di jalan.
Suntuk gue. Udah dicuekin gebetan,
enak-enak duduk berduaan,
ada yang ikutan.
Nggak apa-apa sih,asal yang
ikutan lebih menawan dari gebetan.
Ya elah, si Lakes, pake ngomongin menawan. Aku melirik sekilas doang.
Menawan apaan. Nggak jelas.
Pakai hoodie sama masker. Sok secret kayak lo.
Kalau dilepas hoodie sama maskernya?
Wait. Aku mengangkat wajah pelan-pelan. Perutku menegang. Sosok ber-hoodie itu menatapku lekat-lekat lewat matanya yang dalam. Kedua alisnya yang rapi untuk ukuran cowok menukik seperti melempar isyarat tanya. Aku masih tercengang menatap sosok itu, ketika dia menarik hoodie-nya turun, menyibak rambutnya yang agak gondrong, lalu menyingkap maskernya.
“LAKES!” pekikku girang. Aku mengguncang-guncang lengannya dengan heboh. “Sialan lo. Gue kira siapa. Kenapa nggak bilang-bilang mau ke sini? Kok bisa ke sini? Lo tahu gue di sini? Ini rame lho, katanya lo anxiety.”
“Mana dulu yang mau dijawab nih?”
“Semuanya!” senyumku melebar. Aku menggeser kursi mendekat ke arah Lakes supaya bisa mendengarnya lebih jelas daripada teriakan orang-orang.
“Sebelum dijawab kayaknya lepasin dulu tangan lo. Tangan gue bisa cedera lama-lama.”
Aku baru sadar masih terus mengguncangkan kedua lengan Lakes. “Sori, habisnya gue happy banget.”
“Gue nggak ada niatan ke sini.” Lakes menebas jaketnya, menundukkan tubuhnya yang jangkung supaya bisa berbisik di sebelahku. “Cuma karena tadi ada cewek yang ngedumel lagi pura-pura bahagia sambil nobar di Lignin Café, gue jadi nggak tega,” dia terkekeh jail sekali. “Anxiety gue kalah sama keinginan buat melihat live lo mempermalukan diri di depan gebetan.”
“Lakes sialan!” Aku pura-pura mengomel tapi akhirnya kami tertawa juga. “Oh ya, kenalin dulu.”
Tanganku menepuk Taksa, tapi cowok itu sepertinya terlalu fokus pada bola. Taksa menoleh tapi matanya masih curi-curi ke layar karena adegan sedang menegangkan—skalau dilihat dari riuh orang-orang dan betapa komentatornya menjerit-jerit di sana. Aku mengenalkan mereka secara singkat. Entah Taksa mendengar atau tidak, pokoknya aku sudah berusaha memberitahu supaya tidak salah paham.
Aku berbalik pada Lakes yang sedang menggerakkan matanya, memindai sekeliling. Senyumnya yang tadi lebar, kini terukir tipis ala kadarnya. Rasa percaya diri yang meluap yang ditunjukkannya saat pertemuan pertama kami, entah ke mana. Aku mengamatinya baik-baik, takut dia mulai nggak nyaman. “Are you okay?”
Lakes menarik napas, menaikkan alis, lalu mengangguk-angguk. “Easy. Easy.” Dia berusaha menularkan senyum supaya aku tenang. Tangannya memutar bahuku supaya menghadap ke layar. “Lagi seru tuh,” bisiknya.
Benar dong. Salah satu pemain Indonesia menggiring bola ke depan gawang Malaysia, mereka terlibat perebutan sengit, dan suara komentator memanaskan suasana, “Ah, bola berhasil dicocol Malaysia dengan sangat mudah. Bola digiring ke gawang Indonesia! BERBAHAYA!!!”
“BAJIGUR!”
Suasana menonton yang kini hening membuatku bisa mendengar kata itu diucapkan kiper Indonesia.
“Hampir saja, Naren! Hampir saja. Untung Naren bisa menangkap bola di saat terakhir. Bola tidak kebablasan, tapi mulutnya keceplosan,” kata komentator.
Aku geleng-geleng kepala sambil menatap layar yang memutar ulang adegan. “Bisa-bisanya ya, dia kepikiran minum bajigur padahal gawangnya nyaris kecocolan—eh, kebobolan.”
Tangan Lakes terlepas dari bahuku, pindah ke bibirku. Satu tangannya yang lain menggosok wajah sambil menyembunyikan senyum dari bibirnya yang digigit kuat.
“Apa lo senyum-senyum?”
“Nggak salah emang anxiety gue bisa kalah sama lo.” Lakes menggeleng-geleng, Tangannya diletakkan di sandaran kursiku supaya mudah baginya menarik badan ke sisi telingaku. “Buat orang Jogja kayak Naren, bajigur itu umpatan, Prinsa. Bukan minuman.”
“Sok tahu lo, kalau kipernya orang Jogja,” bisikku balik.
Sedetik kemudian, aku baru sadar ada gebetan dan sikap saling bisik kami bisa mencurigakan. Aku menoleh pada Taksa dan jantungku langsung berlompatan. Dia terpaku menatapi kami!
Ekspresiku jadi kaku. Pipiku rasanya terbakar. Aku menoleh pada Lakes supaya dia bisa menjaga jarak, tapi yang kudapati justru lebih banyak mata yang memandang ke arah kami. Tidak hanya itu, aku juga baru sadar kafe tidak lagi ingar bingar para pengunjung. Suasana jadi hening dan canggung. Komentator yang ber-ahay-ahay menjadi satu-satunya pengisi keheningan.
“Ke-kenapa jadi pada diam?” tanyaku pada Taksa. Tiba-tiba aku merasa tertangkap basah selingkuh, padahal jadian saja belum. Duh, Lakes kenapa terlalu nempel deh, tadi. “A-apa ada yang salah sama komentar barusan? Sori. Sumpah. Gue nggak bermaksud menghina kiper kesayangan kalian kok. Gue cuma—”
“Boleh ngobrol sebentar?” Taksa langsung menggamit lenganku tanpa menunggu jawaban. Dia membawaku keluar kafe, sampai suara ahay-ahay sayup-sayup di belakang.
Sumpah, aku tegang.
“Prinsa,” Taksa menggenggam kedua tanganku, menatapku lekat-lekat, “Lo punya hubungan apa sama dia?”
Mati aku! To the point banget sih, Taksa. Seketika mukaku menggelinding entah ke mana. Mendadak aku merasa malu. Taksa jelas-jelas mengutarakan usahanya mendekatiku, tapi aku malah terang-terangan akrab dengan cowok lain.
Taksa bertanya tentang tamu Prinsa | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Sori.” Aku menggigit bibir. “Kami cuma berteman, Taksa. Kalau lo nggak nyaman, kita bisa cari tempat lain atau gue bisa minta dia balik. Anaknya nggak baperan—”
Taksa mengangkat tangan. Dia menggeleng. Aku berhenti bicara sambil menggigit bibir lagi. Gara-gara Lakes—no, no, no. Bukan salah Lakes sendiri, aku juga heboh sejak cowok itu muncul tadi. Kami berdua sama-sama salah. Gimana sekarang?
“Prinsa, seriously, apalo nggak tahu dia itu siapa?”
“Dia kenalan gue dari Twitter. Belum lama banget, tapi dia nggak aneh-aneh, Taksa. Sumpah. Kita pernah ketemu sebelumnya dan dia baik. Nggak macam-macam. Kalau sikap kami tadi kelewatan, gue minta maaf.”
Taksa menarik napas panjang dan mengulangnya. Telunjuknya menyentuh pelipis. “Kanigara, Prinsa, Kanigara!”
Aku memiringkan kepala, menyipitkan mata juga. Komunikasi kami kayak sama-sama ngotot ke arah yang berbeda.
“Gue sering menyebut nama itu.”
Kanigara? Aku mencoba merapal nama itu berulang sambil menggali ingatan.
Samar-samar, rasanya aku pernah dengar nama itu. Samar sekali, aku mengumpulkan serpihan memori waktu nobar, browsing soal bola, saat nonton pertandingan ulang, “bola dicocol Rasky Raditya, dioper pada Kanigara dan… GOL!”
Samar… aku mengingat seorang pemain dengan tulisan Kanigara L di punggungnya. Samar aku melihat seraut wajah yang tersorot kamera, sekilas dan cuma sebentar. Tidak begitu terlihat jelas, tapi fitur wajah itu… Tanpa sadar, tanganku sudah menyentuh dada yang berdegup kencang. “Kanigara L?”
Bagi Aya Widjaja, menulis novel lebih menyenangkan daripada menulis profilnya sendiri. Aya telah menulis enam novel (Starstruck Syndrome, Failure Tale, Editor’s Block, Monster Minister, Hellove & Alegori Valerie). Karyanya yang lain bisa dikepoin di IG @ayawidjaja