Friends with Benedikta chapter 3 by Aya Widjaja | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Prinsa dan @ombaktelaga akhirnya sepakat untuk kopi darat alias bertemu. Namun, kenapa @ombaktelaga yang Prinsa panggil dengan “Om” itu memberinya alamat sebuah rumah sakit?
***
Rumah sakit?
Seperti petir tengah malam. Bukannya senang, aku jadi kepikiran. Berbagai dugaan buruk menyerangku. Jangan-jangan dia sakit parah, makanya susah dihubungi. Jangan-jangan, hidupnya nggak bakal lama lagi, makanya dia nggak berminat cari tahu siapa aku? Pertemanan nggak dibawa mati, kan?
Kalau tidak ingat ini sudah malam, aku pasti langsung ke sana saat itu juga. Sayangnya, aku harus menunggunya sampai besok.
Waktu masih saja berjalan lambat keesokan harinya. Taksi daring yang aku tumpangi merambat pelan seiring kemacetan jalan. Aku nyaris meloncat waktu mobil akhirnya berhenti. Udah kayak adegan drama deh, saking buru-burunya aku. Untungnya, papan petunjuk arah sangat membantu, jadi aku nggak perlu pakai adegan nyasar atau tanya ke perawat.
Aku berdiri tepat di depan pintu sesuai petunjuk Om, mempersiapkan diri. Dalam sekali tarikan napas, aku mengetuk pintu dan mendorongnya. Ketegangan terjadi. Jantungku menderu. Napasku tertahan. Perutku tegang oleh antisipasi seburuk apa situasi teman dunia mayaku itu?
Aku mengangkat kepala, mengerjapkan mata dan bibirku terbuka tanpa kata-kata.
“Cari siapa?”
Tidak ada selang infus, alat bantu pernapasan, alat deteksi jantung, atau selang kabel apalah seperti dalam bayanganku semalaman. Bahkan nggak ada yang namanya pasien berseragam rumah sakit yang lagi tiduran dengan tampang pucat lemas. Yang ada malah sesosok cowok yang lagi duduk bersila di atas ranjang pasien. Kepalanya tenggelam dalam hoodie yang dia kenakan, kaus merah mencuat dari ritsleting yang setengah dikancingkan, sementara tangannya sedang asyik main gim di iPad. Suara sound effect-nya kenceng banget suara sorak-sorak di lapangan. Gim bola, sepertinya.
“Halo? Cari siapa?” Dia mengulang sambil melirik sekilas doang.
Itu tidak mungkin Om, kan? Dia soccers haters. Mana mungkin main gim bola.
Aku mulai gugup. Mataku melirik ke pintu, mencari petunjuk. Sama kok, jadi aku dikerjain nih? Di situ aku merasa bodoh, kesal, marah, pengin nangis sekaligus konyol.
Tak ada pasien di kamar rumah sakit | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“G-gue ….” Kalimatku tidak berlanjut karena notifikasi Twitter menginterupsi.
Sudah sampai?
Lo ngerjain gue ya?
Ngerjain gimana?
Nggak ada pasien di kamar yang lo bilang! Kok lo jahat banget ngerjain gue.
“F-W-Be-nedikta.”
Entah gimana aku tiba-tiba merinding saat nama itu disebut. Aku menengadah dan mendapati cowok ber-hoodie itu sedang memandang ke arahku.
“Lo lebih suka jawab pertanyaan gue lewat DM Twitter daripada jawab langsung?” tanyanya sambil membalikkan iPad.
Pelan-pelan, dia menarik hoodie hingga menyisakan topi yang masih memayungi wajahnya. Aku kembali menegang. Dia memiringkan kepala, tapi aku tidak juga bereaksi. Begitu pertemuan disepakati, tidak terlintas sedikit pun di benakku akan menemui sosok cowok seperti apa. Bayanganku cuma rumah sakit dan sakit parah—kayaknya aku harus mengurangi asupan nonton drama.
Dia menarik topi yang dipakainya agak ke atas supaya aku bisa melihat wajahnya lebih jelas, mungkin. Matanya dalam. Alisnya rapi untuk ukuran cowok. Wajahnya tirus dengan kulit agak kecokelatan. Sama sekali tidak kelihatan pucat atau sakit selayaknya orang datang ke rumah sakit. Overall, dia kelihatan manis. Sangat. Kalau dilihat dari rautnya, usia kami tidak terpaut jauh. Mungkin dua-tiga tahun.
“Lo?” Aku tidak bisa berkata-kata dan cuma membalik ponsel ke arahnya.
Dia mengangguk. “Didn’t you know me?”
Aku menengadahkan kepala hingga membentur pintu yang mengayun di belakangku. Bahuku merosot. Kekhawatiranku semalam suntuk berakhir konyol begini. “Gimana gue bisa tahu kalau lo nggak pernah pasang foto?”
“Really, didn’t know?” Dia menatapku lekat-lekat seperti sedang menilai setiap detail ekspresiku.
“Ya iyalah. Kalau bukan karena lo bilang di rumah sakit, nggak bakal sudi gue nemuin cowok yang wujudnya saja gue nggak tahu.” Bohong, padahal sebenarnya aku penasaran. “Lagianlo nggak kayak orang sakit, ngapain ngajak ketemu di kamar rumah sakit?”
“Terus lo maunya diajak ketemu di mana? Kamar hotel?” Dia menurunkan kakinya dari ranjang.
Aku berjengit. Dia tertawa. Baru kali ini aku dengar tawanya secara langsung. Jenis tawa yang renyah. Caranya bicara juga gagal membuatku tersinggung, mungkin karena sebelumnya terbiasa saling nyinyir.
“Sembarangan kalau nuduh!”
“Gue tanya, bukan nuduh, F-W-Be-nedikta.”
“Ketemu ya, di kafe kek, mal kek, ngapain di rumah sakit, Om?”
“Kok nggak enak ya, didengernya kalau gue dipanggil Om secara langsung gini. Kecuali lo masih SD, bolehlah panggil gue Om.”
“Menurut lo, gue enak dengernya lo panggil-panggil pakai penekanan di bagian FWB-nya gitu?”
Dia berdiri di sisi ranjang sekarang. Tangannya memangku dagu, tampak berpikir. “Tapi, Om sama FWB kayaknya cocok.”
“Najis!”
Dia tertawa lagi. “Benedikta deh.”
“Prinsa,” ralatku. “Panggil Prinsa aja.”
“Hm?” Dia mengangkat alis. Termangu sebentar. “Terus Benedikta?”
“Nama depan.”
Dia mengangguk-angguk memperlihatkan garis rahangnya yang kokoh. Tangannya menarik ransel dari nakas. “Nama depan ya.”
“Lo?”
“Gue?” Dia berjalan mendekat padaku yang masih selangkah di depan pintu.
“Iya, elo. Nama lo siapa? Nggak mau kasih tahu juga nggak apa-apa. Asal nggak keberatan gue panggil Om saja.”
Dia tidak bereaksi. Selangkah dari depanku, dia berhenti menjulang tinggi di depanku. Tangannya menarik lepas topi hingga rambutnya yang sedikit panjang terburai lepas. Dia menelengkan kepala—lagi, sambil menatapku sedemikian rupa.
“Kenapa sih, lo dari tadi pose begitu sambil memelototi gue?” Aku melipat tangan, heran. “Dikiranya gue bakal melongo sambil ngiler lihatin lo? Dih, manis. Eh, najis!”
Tanganku menepuk mulut yang kelepasan, tapi terlambat, dia telanjur mendengarnya dan sekarang tersedak tawa.
“Gue cuma memastikan sesuatu.” Dia mengulurkan tangan. “Panggil aja Lakes.”
“Lakes? Lakes? Telaga?” Aku tertawa. “Dialih bahasakan biar lebih keren gitu? Telaga nama yang bagus kok.”
“Nama gue Lakeswara. Lo bisa panggil Lakes.”
Aku mengangguk-angguk. “Sure. Nama yang unik. Bagus malah.”
“Dua kali pujian dalam sepuluh menit terakhir.” Lakes memasang topi dan mengenakan hoodienya kembali. “Gue balas pakai traktiran saja. Mau nggak?”
“Ini mau ke mana?” tanyaku bingung waktu Lakes pakai masker segala. “Gaya lo udah kayak lagi nyamar aja.”
“Pakai masker melindungi dari berbagai virus.” Tahu-tahu Lakes memasangkan satu masker padaku. Posisi kami jadi sangat dekat. Dia bahkan menunduk ketika memasangkan tali masker ke sisi telingaku. Ditepuknya bahuku dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya mendorong pintu. “Yuk?”
“Sebentar, sebentar!” Aku menahan lengannya. “Ini tadi lo di sini ngapain? Terus tahu-tahu cabut gitu aja.”
“Main game, kelamaan nunggu lo.” Lakes ngeloyor pergi begitu saja.
“Cie, care.” Lakes berbalik, menurunkan masker, lalu menundukkan postur tubuhnya yang tinggi supaya wajahnya tepat di depanku. “Apa gue kelihatan kayak orang sakit?”
Jarak yang begitu dekat membuatku merinding. Aku menggeleng kaku.
“Terus?” Suaraku nyaris hilang, tenggelam dalam tatapannya—aduh, bahasa gue. Gimana sih, rasanya kalau lo baru ketemu orang pertama kalinya dan gugup setengah mati karena nggak sesuai ekspektasi. Aku berpikir bakal ketemu cowok yang terbujur lemah tak berdaya, malah ketemu cowok energik yang langsung ngajakin cabut begitu ketemu. Belum lagi aura penuh percaya dirinya. Dia sama sekali tidak merasa canggung atau gimana dulu ketemu orang baru, tapi langsung bisa membawa diri dengan begitu yakin.
“Ada janji ketemu fisioterapis pagi-pagi. Males kena macet, tapi bosan nginep di hotel.” Lakes menegakkan badan sambil melipat tangan. “Sudah? Too much information dan gue laper.”
oOo
Pertemuan pertamaku dengan Lakes mencatat satu hal penting; Lakes makannya banyak. Jangan traktir dia di tempat mahal kalau nggak mau kantong mahasiswaku jebol.
“Jangan jaim di depan gue. Makan yang banyak.” Lakes mengambil menyendok sashimi salad piring kedua yang dia pesan, lalu meletakkannya ke piringku.
Selain salad, tadi dia juga makan chuka idako dan beberapa porsi sushi yang dalihnya kita makan bersama tapi lebih dari setengahnya pindah ke perutnya semua. Di antara semua menu, dia paling lahap dengan salad.
“Lo manusia apa kambing? Doyan banget sayur mentah,” komentarku.
Dia menelengkan kepala, terlihat memikirkan jawaban tapi lantas mengambil sumpitku dan menyodorkan sepotong sushi padaku. “Nanti komentarnya. Keburu gue habisin semua.”
Aku menerima suapannya lalu merebut sumpit. “Cacingan lo? Makan lo banyak, gemuk kagak.”
Cacingan? Aku cuma sarkas. Well, sampai di restoran dia buka hoodie-nya dan mau nggak mau aku harus mengakui tubuhnya atletis banget.
“Gue anggap itu pujian.” Lakes mengangkat sumpit, “Ini semacam balas dendam karena pola makan nggak harus diatur lagi, jadi semua makanan masuk ke perut.”
Aku berhenti mengunyah. “Serius, lo sakit apa? Tadi di rumah sakit, sekarang pola makan diatur.” Alisku berkerut-kerut.
“Biar gue tebak.” Lakes menurunkan sumpit, melipat tangan di meja lalu menegakkan badannya. “Pas dengar gue di RS, lo kepikiran gue sakit parah makanya nggak pakai mikir lagi, lo langsung setuju ketemu gue?”
Tanganku menyambar gelas ocha dingin dan meneguknya cepat-cepat. Lakes tertawa keras. Jenis tawa renyah yang mudah sekali pecah. Senang sekali dia lihat aku salah tingkah.
Obrolan berputar dengan cepat. Barusan aku bercerita soal aktivitasku sebagai mahasiswa yang sedang rajin-rajinnya ngapelin dosen pembimbing, jadi sebagai gantinya aku bertanya balik padanya. “Kalau lo?”
“Nge-game, ngabis-ngabisin tabungan, ghosting anak orang, biar ngerasa kehilangan terus diajak ketemuan.”
Aku sadar dia sedang menyindirku. “Ngajak ketemunya desperate banget sampai bilang di RS biar langsung diiyain, kan?”
Dia mengernyit sambil mengerucutkan bibir.
“Halah, sok mikir!” Keingintahuanku beralih. “Lo kerja di penerbangan?”
“Excuse me?” tanyanya bingung.
Aku menunjuk kaus yang dia pakai dengan sumpit. “Emirates Fly Better.” Aku berani bertanya begitu bukan karena kaus doang sih, tapi juga karena postur tubuhnya yang tinggi dan proporsional.
Prinsa dan Lakes makan siang bareng | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Lakes melirik dadanya. Mulutnya yang asyik mencecap dari tadi terhenti. Matanya menyipit lalu mengerjap. “Seriusan lo….” Sumpitnya bergerak-gerak naik turun nggak bisa bicara. “Ini jersey Arsenal, Prinsa.”
“Arsenal?” Aku memang nggak tahu soal aturan bola, tapi kalau Arsenal, AC Milan, Chelsea Olivia, Persija, Juventus, Persebaya, dan sejenisnya ya, pernah dengar. “Kelompok bola, kan?”
“Klub, bukan kelompok. Lo kira belajar, pakai kelompok.”
“Katanya soccers haters?” Keningku berkerut.
“Nggak demen kalau Indonesia yang tanding.”
“Kenapa gitu?”
“Apa ya?” Dia kelihatan mikir serius. Padahal suka nggak suka kadang muncul begitu saja tanpa alasan, kayak aku tiba-tiba suka Taksa atau kenapa aku nggak tertarik sama sekali soal bola sementara banyak orang menggilainya. “Karena komentatornya suka aneh.”
Aku menjentikkan jari lalu bersorak. “Iya banget! Masa ada yang mencocol, jedar-jeder, jebrat-jebret, ahay-ahay!”
“Lucu sih, tapi bikin distraksi.”
Aku mengangguk-angguk. “Terus saking pengin show off pengetahuannya, nggak cuma prestasi yang dibahas, nama ibu kandung juga disebut.” Aku berdeham menirukan salah satu komentar, “Terima kasih Ibu Suharti sudah melahirkan Rasky Raditya yang permainannya menawan sekali hari ini. Nama ibu kandung kan, rahasia. Bisa dipake bobol rekening itu.”
Lakes mengangguk-angguk. “Omong-omong nama ibunya Rasky bukan Suharti. Ibu Suharti itu yang punya resto ayam goreng.”
“Terus ya, Kes,” aku melanjutkan, “kalau gue kan, belajar soal natural resource curse yang bahas soal wilayah dengan kekayaan sumber daya alam ternyata pertumbuhan ekonominya nggak selalu positif. Nah, setelah gue nguping obrolan soal bola dari gebetan, bola di Indonesia juga mirip. Pemain kita tuh banyak yang bagus, kata gebetan gue. Tapi selalu banggain pemain yang matrikulasi dari luar negeri.”
Lakes mengernyit. “Matrikulasi?”
“Itu lho yang bule-bule jadi pemain Indonesia.
“Naturalisasi?” Lakes tertawa renyah.
Dari situ, kami jadi menggunjingkan soal bola. Aku juga sering nimbrung Taksa dan teman-temannya waktu ngomongin bola, tapi kali ini nyambungnya beda. Mungkin karena kalau sama Lakes aku nggak takut salah bicara dan bebas nyeletuk apa saja. Hal-hal yang nggak aku tahu atau salah bicara, dia menanggapinya biasa saja. Nggak memojokkan bahkan membantuku untuk paham.
Kesan pertamaku bertemu, dia teman ngobrol yang asyik! Ahay!
oOo
“Lo lagi sibuk?”
“Hm?” Aku mengangkat wajah dari ponsel yang kupandangi. Buru-buru aku menghapus senyum yang muncul karena pesan Lakes. Bisa-bisanya aku senyum-senyum karena Lakes padahal di depanku ada Taksa. “Sori, sori. Ada temen tadi ….” Tadi apa? Ada temen ngajak bercanda terus aku keterusan? Karena teman online-ku yang ini selalu ada buatku sementara kamu ngilang-ngilangan kemarin, makanya dia chat aku langsung bales. Nggak enak kalau dianggurin terlalu lama. Apa nggak gila ngomong gitu sama gebetan?
Saat bersama Taksa, Prinsa ngobrol online dengan Lakes | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Skripsi udah kelar?” Taksa menarik tisu lalu mengelap bibirnya yang belepotan saus pasta.
“Tinggal bab terakhir doang.”
“Aman ya, semua data-data yang dibutuhkan berarti sudah tercukupi.”
Aku membuat tanda oke dengan jari karena mulutku sibuk mengunyah.
Garuk-garuk kayak munyuk. Coba lebih elegan, Prinsa!
Awalnya sih, aku bertanya-tanya kerenggangan komunikasi kami. Cuma ‘kan, emang kami nggak ada hubungan apa-apa. Rasa suka dan ingin jadiin dia gebetan mungkin juga sepihak belaka, atau mungkin dia awalnya juga suka lalu ilfeel karena kelakuanku yang bikin dihujat netizen sejagat raya. Ganjalan-ganjalan itu memudar seiring aku punya teman baru. Lakes yang gaje dan sok secret itu seru. Dia nggak demen kalau ditanya hal pribadi, tapi ngobrolin apa saja sama dia tuh, nyambung. Masa tempo hari kami ngobrol soal menu diet terus dia malah ngajak jalan ke supermarket dan ngasih resep. Besoknya dia ngajakin joging karena diet doang nggak cukup katanya. Kami juga suka ngobrolin soal masa SMA yang ternyata sekolah kami dulu musuhan. Aku nggak suka gim, tapi dia ngajarin main gim dan kami sekarang satu tim. Aku nggak paham detailnya dia kerja apa, tapi dia selalu bisa diajak jalan kapan saja, asal tempatnya nggak ramai. Anxiety, katanya. Dia sih, cuma cerita punya outlet sama rental …
Wait, kenapa jadi ngomongin Lakes. Taksa lagi ngajakin lo ngomong, Nyet!
“Prinsa, lo sadar nggak gue lagi PDKT sama lo?”
Kali ini beneran aku tersedak. Batuk-batuk nggak tertolong. Senyum Taksa melebar.
“Selain garuk-garuk, lo juga gampang batuk-batuk?” Dia mengangguk-angguk sambil menyodorkan tisu.
“Gue pikir lo ilfeel sama gue gara-gara nobar waktu itu, jadi … lo menghindari gue.”
Taksa menangkupkan tangan ke wajah. “Ya ampun, nggaklah. Gue emang lagi sibuk, chating dan kumpul-kumpul tuh udah kayak privilege tersendiri.”
Aku cuma bisa mengangguk-angguk, perutku langsung penuh—oleh kebahagiaan, bukan makanan. Hiyaa… hiyaa… lebay!
“Malam minggu lo ada acara nggak?”
Dia nawarinnge-date? SERIUS?
“Eng,” aku pura-pura mikir padahal mau langsung iyain, “kayaknya nggak ada.” Semoga mukaku tidak memerah!
“Nobar lagi, mau nggak?”
Mukaku langsung kaku. Baru juga happy, kenapa sekarang udah mau mati lagi. Kepada siapa aku harus berserah diri minta diajari urusan perbola-bolaan sialan ini supaya malam minggu nanti aku nggak mempermalukan diri sendiri?
Bagi Aya Widjaja, menulis novel lebih menyenangkan daripada menulis profilnya sendiri. Aya telah menulis enam novel (Starstruck Syndrome, Failure Tale, Editor’s Block, Monster Minister, Hellove & Alegori Valerie). Karyanya yang lain bisa dikepoin di IG @ayawidjaja