Friends with Benedikta chapter 2 by Aya Widjaja | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Berawal dari tweet viral itu, Prinsa jadi kenal dan sering ngobrol dengan seseorang ber-username @ombaktelaga. Tak hanya bola, mereka ngobrol tentang banyak hal. Hingga satu waktu, orang itu menghilang. Ada apa?
***
Mataku menyipit. Kepalaku meneleng ke kiri dan ke kanan. Menunggu. Siapa tahu, pesan dari pemilik akun @ombaktelaga itu mengirimkan pesan lagi yang lebih realistis. Maksudku, semua orang sedang menghujatku, kenapa dia malah bilang terima kasih? Kan aneh. Hujat dong, aku nggak baperan, kok.
Semenit, lima menit, bahkan setelah setengah jam tidak ada pesan baru dari akun itu.
Nggak juga.
Cuma, tipe begini langka dan harus dilestarikan.
Sayang belum ada penangkarannya.
Kasih tahu gue kalau nemu penangkarannya. Mau join.
@ombaktelaga mem-follow akun Prinsa | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Eh? Apa selangka itu nyari teman yang sama-sama nggak tertarik sama bola. Belum apa-apa udah main follow saja. Aku belum mengikutinya balik, sok selektif gitu sama strangers. Tampaknya dia juga tidak peduli karena tidak protes soal itu.
Masih dinyinyirin netizen?
Dia menyapaku di Twitter beberapa hari kemudian.
Udah reda, masih dihujat juga nggak apa-apa.
Follower lo membludak,
banyak pendukung sekarang?
Pendukung apaan. Ngajak FWB-an iya. Benefit berteman sama gue adalah
bebas menghina, bukan bebas berzina
Terus semua yang ngajak mutualan ngobrolinnya bola? NO, THANKS!
Temanku bilang, mulutku harus dikasih filter. Ngaconya suka kelewatan, usilnya suka kebangetan. Katanya aku juga terlalu easy going sampai orang nggak bisa membedakan apa aku ini menganggapnya teman atau sosok spesial. Itulah yang membuat aku jomlo karatan dan se-la-lu gagal pendekatan. Begitulah wejangan yang aku terima kalau ikutan nimbrung teman yang lagi pacaran.
“Jadi, dating kemarin gagal?” Alta menepuk jidatnya.
Ryandra, pacarnya, menepuk-nepuk bahunya sambil membisikkan kata sabar. Alta pasti sudah hilang sabar. Soalnya, kalau aku terus-terusan jomlo, agenda pacarannya pasti terganggu. Persis kayak sekarang. Mereka berduaan, aku setannya.
“Gue kan udah bilang,” suara Alta langsung meninggi. Pasti dalam hati makin frustrasi aku gagal diinsafkan sebagai setan. “Lo belajar banyak-banyak soal bola. Cari tahu siapa pemain, mereka sebelumnya dari tim apa, pernah menang di mana, kejuaraan yang dulu-dulu Indonesia kayak apa, dan seterusnya.”
“Kalau gue bisa hafal segitu banyak soal bola, gue gantiin aja sekalian komentatornya, Ta.”
Aku sempat mempelajari tips Alta. Dia ini playgirl abis sebelum akhirnya settle down sama Ryandra. Makanya aku mengikuti sarannya. Tapi pas aku nonton beberapa pertandingan buat belajar, aku merinding sama cara komentatornya mengulas pertandingan.
“Bola dicocol oleh Rasky Raditya, dioper ke depan pada Kanigara dan… GOL!” Dicocol? Udah kayak kentang goreng sama saus.
“Ahayyyy! Sundulan yang mantap sekali, ahayyy! Bola melambung ahayyy… ahayyy ahayyy!” Ini dangdutan atau main bola pakai ahay-ahay?
“Terus! Jebret! Sedikit lagi jebret!” Flashlight mana flashlight? Berasa lagi pemotretan pakai jebret-jebret.
Bukannya fokus dengan pertandingan, aku malah fokus dengan cara komentatornya memilih kata-kata.
“Menurut gue, ketidaktahuan lo malah bisa jadi objek obrolan,” Ryandra ikut menyahuti.
Aku mengangguk-angguk saja. “Kayak kebodohannya Alta ngerjain tugas kuliah dan lo yang ngebantuin dia.”
Dua orang itu menatapku sengit karena mulutku bablas. Aku meringis.
“Kalau pun lo nggak ngerti juga, seenggaknya nggak perlu cuap-cuap soal kebodohan lo di Twitter kali.” Puas banget Alta bisa berbalas kebodohan denganku.
Tanganku menggaruk tengkuk. “Netizen aja yang kelewat serius nanggapinnya. Heran, suka banget bully cewek cantik dan lemah ini.Terus gue harus gimana dong sekarang?” Aku menatap langit yang cerah. Taman depan dekanat memang paling enak ditongkrongin jelang sore begini.
Prinsa melamun memikirkan hujatan netizen | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Au. Nanya mulu, nasihat banyak nggak satu pun ngena.” Alta melihat jam di pergelangan tangannya, lalu mengajak Ryandra pergi.
Aku sudah pasang wajah memelas, mau ikut mereka pacaran. Tapi sebelum terucap, Alta sudah memperingati kalau mereka mau jemput ibu Ryandra di bandara. Tersisa aku sendirian di taman, bengong mainin ponsel. Aku scrolling instastory dan melihat Taksa mengunggah fotonya sedang makan siang bersama rekan-rekan kerjanya. Jadi ingat, tempo hari dia bilang kangen nasi uduk di kantin FEB. Dia bilang, kalau nggak sibuk pengin makan ke sini. Itu kontak terakhir kami dan sampai sekarang kami belum ketemu lagi. Pengin aku komen postingan itu, tapi kok kesannya agresif sekali.
KL @ombaktelaga
Kalau nggak suka bola, kenapa nonton?
Kalian pernah nggak sih, merasa lebih nyaman bercuap-cuap di dunia maya daripada dunia nyata? Bicara pada orang yang nggak kita tahu fisiknya, tapi justru membuat lebih leluasa? Bertukar obrolan dengan orang yang circle-nya tak pernah terhubung dengan kita tapi justru dengan begitu kita bisa bebas meluapkan apa saja? Dunia maya membuatku berada dalam gelembung aman.
Diajakin gebetan.
Sebelum nonton lo pasti sibuk browsing soal bola.
Iya, banget! Kok lo tahu? Dia nggak nyuruh
Terus sekarang, dia mulai ghosting lol
Dia sibuk, nggak ghosting!
Yakin?
Aku terdiam merasakan kebenaran kata-kata teman baruku di Twitter. Biasanya sibuk juga Taksa masih sempat chat. Belakangan, pesannya lebih pendek dan dibalas lebih lama.
Kalau cowok beneran suka,
dia nggak bakal peduli hal-hal kecil begitu. Ngajak nobar ya karena mau lebih banyak waktu sama lo.
That’s it. Lo suka juga bagus, lo nggak ngerti, nggak masalah.
Kayak yang paling tahu lo soal cowok.
Karena gue juga cowok.
See? Lebih mudah beropini secara bebas di dunia maya. Bahkan cowok yang biasanya lebih lempeng kalau diajak curhat, bisa ngetik panjang lebar. Begitulah dunia maya bekerja, memberi kita gelembung pembatas yang bisa kita tembus kalau mau atau gelembung pertahanan kalau kita nggak mau melintas.
So, what should I do?
Berawal dari situ, aku mulai sering bertukar pesan dengan akun @ombaktelaga. Dari ngomongin gebetan, order makanan delivery salah tujuan, berita yang lagi viral, dunia alter, drama Twitter, dan banyak lagi hal-hal nggak penting jadi topik obrolan. Aku tidak lagi risau kalau Taksa kadang menghilang karena sibuk, @ombaktelaga mengisi kekosongan itu dengan obrolan yang seringnya unfaedah dan lempar ledekan belaka.
Sejauh ini, kami nggak terlalu peduli sama hal-hal personal. Aku cukup terbuka di Twitter, sedangkan Twitternya, foto saja nggak ada, isinya kebanyakan retweet hal-hal random dan aku bahkan nggak repot-repot bertanya siapa namanya. Biarpun cukup terbuka, teman-teman online-ku biasanya tetap bertanya soal hal-hal personal. Berbeda dengan @ombaktelaga yang nggak pernah peduli, tapi justru itu yang membuatku lebih nyaman.
Lalu, ketika semua ritme hubungan itu tertata dengan baik, pelan-pelan dia mulai hilang, susah dihubungi, nggak asyik diajak ngobrol lagi. Aku mulai bertanya-tanya apa yang dikerjakannya di real life, apa dia sedang sibuk, apa dia nemu teman baru yang lebih seru, atau apa dia baik-baik saja?
Pikiran-pikiran itu tumpah malam-malam pas otak lagi burnout memandangi catatan revisi skripsi—memandangi doang, ngerjain enggak. Rasa penasaran menjalar-jalar dari satu pertanyaan ke pertanyaan yang lain. Baru sekarang aku merasa bodoh tidak pernah mencari tahu apa pun soal dia. Aku bahkan tidak tahu namanya dan memanggil dia dengan sebutan Om.
Setelah kupikir-pikir malam ini, ngenes juga kami. Jangan-jangan, cuma aku yang berpikir pertemanan kami menyenangkan. Jangan-jangan, karena aku terlalu apa adanya di Twitter, rasa penasarannya selesai padaku. Atau jangan-jangan, terjadi sesuatu sama dia? Orang tertutup ‘kan, biasanya menyimpan sesuatu.
Rasa penasaran ini membuatku gila, hingga aku mengetikkan kegilaan untuk mengajaknya bertemu.
Belakangan lo jarang nongol.
Lo nggak apa-apa?
Nope
Lagi ada masalah? Sakit?
Kenapa? Kangen?
In your dreams!
Aku baru mengetikkan misi utamaku menghubunginya tadi, tapi pesannya mendahului.
Mau ketemu gue?
@ombaktelaga mengajak ketemu | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Aku belum menjawab, tapi dia sudah mengirimiku alamat… sebuah rumah sakit!
Bagi Aya Widjaja, menulis novel lebih menyenangkan daripada menulis profilnya sendiri. Aya telah menulis enam novel (Starstruck Syndrome, Failure Tale, Editor’s Block, Monster Minister, Hellove & Alegori Valerie). Karyanya yang lain bisa dikepoin di IG @ayawidjaja