Baik Ivy maupun Ben tak mampu memungkiri bahwa ada kenyamanan yang dihadirkan oleh satu sama lain. Ketika keduanya berusaha jujur, sebuah rahasia tentang Oliver terkuak.
***
“Ayolah, Ben! Kami tidak pantas mendapatkan diammu,” keluh Adam Rockwood keras-keras. Lelaki itu menambahkan bonus melempar pulpen ke meja. “Kamu bahkan tidak mendengarkan kami. Apa masalahmu?”
Semua mata melihat pada Ben. Tentu saja ini membuat Ben kelabakan. Dia melihat sekeliling ruang rapat itu dan meminta maaf. Yang mengerikan, dia melihat tatapan kecewa Zeus Rockwood di ujung meja. Lelaki tua itu tidak marah. Dia memang tidak pernah marah–tidak secara fisik, tapi tatapan mata birunya yang sayu membuat semua orang tahu kekecewaan dan ketidaksukaannya. Entah bagaimana siapa pun yang mendapat tatapan itu akan langsung merasa bersalah, bahkan anak bungsunya yang terkenal bebal.
Ben menunduk, benar-benar merasa tidak enak. “Maafkan aku. Aku … kehilangan konsentrasi.”
Abe Black menjulurkan kepala ke arahnya untuk mengintip ponselnya. Senyum Abe mengembang. Dia lalu berkedip pada Zeus. “Ada gadis di sana.”
Ben yang sadar dari mana Abe mendapatkan kesimpulan itu buru-buru membalik ponselnya. “Tidak. Aku … tidak.”
Seisi ruangan yang didominasi laki-laki itu tertawa. Mereka yang telah lama bekerja sama dengan Ben Wright tahu benar bagaimana Ben yang selalu menolak kehidupan malam atau perempuan mana pun. Ben hanya tertarik pada pekerjaan dan film lama. Lelaki itu hampir menyerupai pertapa di balik tembok kokoh Wall Street. Sejak meninggalnya Sheila, tidak ada yang menarik baginya. Sekalipun telah banyak perempuan yang menawarkan diri, Ben Wright tetap sedingin bongkahan es kutub. Baginya, hidup hanyalah kesempatan lain untuk bernapas. Kini, melihatnya melamun sepanjang rapat di depan foto seorang gadis membuat mereka mengerti kalau telah ada yang mengetuk hati lelaki itu.
Masalahnya, Ben memikirkan gadis pada saat rapat persiapan pemugaran dan pengembangan gedung. Untung saja rapat ini hanya dihadiri oleh internal Rockwood Corporation saja. Bayangkan kalau mereka sudah berhadapan dengan sponsor, pihak legal, hingga kontraktor. Sudah pasti reaksi Zeus tidak akan sesantai itu.
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
“Lalu, kita akan menunda rapat ini hanya karena Mr. Wright memiliki kekasih baru?” protes Adam dengan wajah muram.
“Kita tidak bisa melanjutkan rapat pengembangan gedung ini dengan arsitek yang hatinya tidak di tempatnya, Nak,” kata Zeus sambil tertawa.
“Oh, begitu. Bagus sekali. Aku juga bisa kalau hanya kekasih, Sir.” Adam mengerutkan bibir pada ayahnya. “Berapa yang diperlukan untuk bisa mendapatkan pemaklumanmu?”
“Hei, Adam! Yang kamu miliki bukan kekasih. Gadis yang hanya ditiduri tidak masuk dalam kategori kekasih. Kamu bahkan tidak pernah ingat nama mereka.” Abe terkekeh. Di sebelahnya, Holy, sekretaris Adam, mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Abe, tanda dia menyetujui pemikiran itu. Adam menegakkan jari tengah dengan kesal yang langsung mendapatkan teguran dari ayahnya.
“Tidak. Kalian salah. Dia bukan kekasihku.” Ben memperlihatkan foto gadis kecil di ponselnya. “Gadis ini mengingatkanku pada anakku. Itu saja. Aku berkali-kali melihatnya dan merasa … anakku kembali. Aku … minta maaf untuk hari ini. Sepertinya memang pikiranku sedang kacau sekali. Aku tidak bisa memikirkan apa pun selain untuk menemuinya lagi.”
Untung saja mereka tidak melihat foto yang lain, foto yang benar-benar membuat Ben tidak berhenti tersenyum. Jika mereka menggeser satu langkah isi galeri ponsel itu, pasti mereka akan melihat foto perempuan muda yang diambil diam-diam. Rambut gelap perempuan itu berantakan, diikat di puncak kepala dengan ikat rambut kain. Wajah perempuan itu menunduk pada bahan makanan yang sedang dipotong untuk membuat kare. Sebelumnya, Ben sudah menghabiskan waktu sepagian untuk memandangi foto perempuan itu. Dia mengusap layar dengan ibu jari, berpikir kalau dia bisa menyentuh pipinya yang kemarin basah karena air mata.
Zeus mengulurkan tangan, meminta ponsel itu darinya. Setelah melihat senyum lebar Delilah, Zeus tersenyum juga. “Manis sekali. Keluargamu?”
Ben tidak bisa berkata-kata. Dia tidak tahu apa hubungan gadis kecil itu dengannya. “Anak kenalanku,” jawabnya pada akhirnya.
Holy menyentuh bahu Ben untuk menguatkannya. “Aku akan kembali ke mejaku, Tuan-tuan. Inggrid,” sapanya sambil mengangguk pada perempuan yang duduk di bagian meja lain untuk membaca kontrak dengan serius. Perempuan itu membalasnya dengan anggukan sopan juga.
“Jadi, kita tidak mendapatkan apa-apa hari ini hanya karena Mr. Arsitek lebih suka memandangi foto gadis kecil?” gerutu Adam pada ayahnya.
“Kita sudah berhasil menyepakati beberapa hal, Nak. Apa lagi? Kita mengakhiri rapat ini karena memang sudah saatnya berakhir. Kita sudah dua jam di sini. Apa kamu mau seharian berada di tempat ini?” Zeus menarik ujung kerah anaknya yang terlipat. “Kupikir kamu harus membuat janji dengan Steve setelah ini, bukan?”
“Tapi, Dad, kamu tidak bisa menghentikan sebuah rapat–“
“Adam, aku minta maaf. Oke? Aku salah. Aku akan memperbaiki segalanya lain kali. Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi.”
“Aku tidak membutuhkan maafmu. Kamu sudah merusak jadwal semua orang.”
“Jadwalku tidak rusak sama sekali,” kata Ingrid yang sedang menata kertas-kertasnya kembali. “Zeus, aku menyukai semua ini. Apa bisa kita membicarakan hal lain? Aku tertarik pada beberapa pasal tentang–“
“Jangan alihkan perhatian, Inggrid.” Adam menunjuknya. “Aku sedang berbicara serius tentang perilaku dan kesopanan.”
Inggrid mengangkat alis dengan terkejut. “Oh maaf, Mr. Rockwood muda. Maaf kalau aku mengganggumu. Aku hanya sedang membicarakan tentang kontrak kerja sama ini dengan ayahmu. Sudah seharusnya begitu karena aku ini mengurusi soal hukum di firma arsitektur ini. Kalau kamu tidak suka, katakan pada ayahmu. Dia yang mengundang kami ke sini.”
Ben diam saja. Dia tahu benar Adam selalu mencari gara-gara dengannya. Anak bungsu Rockwood itu berpikir kalau dirinya harus selalu menjadi anak emas ayahnya. Dia harus menjadi bintang dan pusat perhatian. Sudah bertahun-tahun Adam cemburu padanya karena Zeus memperlakukannya seperti anak sendiri. Hanya saja, kali ini Ben benar-benar tidak bisa berkutik. Semua salahnya. Dia yang tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat foto-foto Delilah.
Zeus menepuk bahu Adam. “Nak, kamu tidak akan bisa berkembang kalau hanya iri pada orang lain. Aku hanya memberikan sedikit sekali pada Ben. Bisakah kamu mengingat-ingat berapa kali aku melindungimu yang masih mabuk saat datang ke rapat penting? Ingat minggu lalu saat kita harus rapat dengan tim eksekutif? Kamu yang akan menjadi CEO perusahaan ini datang dengan napas beraroma alkohol dan noda sperma di celana. Apa aku mengusirmu? Aku menyayangimu, Nak, tapi jangan keterlaluan. Kumohon, aku agak sulit bersabar akhir-akhir ini.”
Adam yang sebelumnya ingin membuka mulut untuk menyangkal ayahnya, kini terdiam. Dia menunduk, membiarkan ayahnya menepuk pipinya dua kali sebelum berbalik pada Ben lagi.
“Jangan ulangi lagi atau kamu akan melihat aku memorakporandakan keturunan Rockwood yang terakhir.”
Ben tertawa. “Tidak, Sir. Kamu akan memiliki banyak keturunan lainnya.”
“Dari siapa? Neptune yang lebih menyukai penelitian bersama beruang kutub atau Adam yang sampai sekarang bersumpah untuk tidak menikah?” Lelaki tua bertubuh tegap itu terkekeh. Aku tidak akan heran kalau suatu hari nanti keturunan Rockwood akan berganti menjadi Black, anak-anak Venus.”
Ben menunduk saja. Sebenarnya, Zeus juga sedang menyindirnya. Berkali-kali Zeus membicarakan tentang menjalin hubungan dengan orang baru, tapi Ben tidak pernah tertarik untuk melakukannya. Ben masih terus menikmati kesendirian di rumahnya, membayangkan istri dan anaknya masih di sana, menunggunya.
“Lalu,” kata Zeus tiba-tiba. “Bagaimana dengan gadis itu? Apa yang akan kamu lakukan dengan ibunya?”
Ben berhenti berjalan. Dia melihat wajah Zeus.
“Kenapa?” tanya Zeus yang juga membalas tatapannya dengan heran.
“Kamu tahu?”
Zeus terkekeh geli. “Nak, aku sudah terlalu tua untuk dikelabui. Jelas kamu bukan seorang pedofilia. Kamu juga bukan laki-laki cabul. Tentu saja bukan gadis itu yang membuatmu tertarik, tapi ibunya. Dalam foto itu ada bayangan tangan orang lain. Karena kamu sedang memotret, aku yakin gadis kecil itu sedang bersama ibunya. Itu yang membuatnya tersenyum lebar.”
“Dia tersenyum padaku. Gadis kecil itu terlalu lekat padaku, padahal kami baru bertemu.”
“Berapa lama?”
“Mungkin … dua minggu.”
Zeus menarik ujung bibirnya ke bawah. “Waktu yang cukup untuk sebuah pendekatan.”
Ben tertawa tidak nyaman. Dia tidak pernah memikirkan pendekatan, apalagi saat ini status Ivy masih istri Oliver Glass yang dilihatnya di televisi. Ivy mungkin saja bercerai dengan Oliver, terutama setelah yang dilakukan Oliver padanya. Ivy bisa mengajukan serangkaian tuntutan. Namun, dia terus bertanya pada diri sendiri, apa memang benar mereka akan berpisah? Bagaimana jika ternyata Oliver ingin melakukan apa saja untuk mendapatkan istri dan anaknya kembali?
“Aku … tidak yakin dengan hubungan ini. Aku bahkan tidak yakin kalau ini bisa disebut hubungan. Kami … baru bertemu dan semuanya nampak salah, Sir. Aku … entahlah. Aku tidak tahu.”
Zeus memegang bahu Ben dan memijatnya satu kali. “Nak, aku pernah muda dan pernah begitu mencintai seorang gadis. Aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku dengan melepaskannya. Aku kehilangan ketegasan karena imanku goyah untuk istriku. Hingga sekarang, gadis itu tetap berada dalam pikiranku, tidak akan bisa mati. Aku mencintai istriku, sangat. Aku memujanya dengan kesungguhan hati, tapi bagian lain dari diriku begitu menginginkan yang lain. Aku terus berandai-andai, jika memang aku bisa memilikinya. Nyatanya, aku tidak bisa dan tidak akan pernah bisa memilikinya.”
Zeus menatap kedalaman matanya dengan sungguh-sungguh. Ben sangat menyukai saat seperti ini. Zeus memberikan sosok ayah yang tidak pernah dimilikinya.
“Kalau boleh aku memberimu saran, nikmatilah hidupmu, Nak. Kamu tidak akan pernah tahu keburukan apa yang sedang terjadi di dunia ini atau kapan dunia ini akan berakhir. Kamu tidak akan pernah tahu kapan hidupmu akan berakhir. Selagi kamu memiliki kesempatan untuk bersamanya, gunakan kesempatan itu. Menangkan hatinya! Hidupkan lagi hidupmu. Kamu pantas mendapatkannya.”
Ben menatap lelaki di depannya dengan takjub. Bukan hanya kata-katanya, tatapan Zeus membuat Ben merasa memiliki kekuatan baru untuk melangkah. Dia seperti bisa mendapatkan keputusan besar itu.
“Aku akan berusaha,” janjinya yang bukan hanya pada Zeus, tapi pada diri sendiri. Kali ini dia berharap bisa melakukan yang terbaik untuk diri sendiri.
Sebelum jam pulang, Ben menelepon Ivy untuk mengatakan kalau dia akan mengunjungi mereka. Di belakang suara Ivy, terdengar suara Delilah yang memanggil namanya, “Ben!” Suara itu membuatnya gemas sekali. Untuk sesaat dia bisa membayangkan akan pulang pada mereka dan mereka adalah keluarganya yang sesungguhnya. Ah, menyenangkan sekali!
“Ben!”
Lelaki itu hampir saja melompat kaget. Venus Rockwood berdiri tidak jauh darinya. Senyum gadis itu mengembang lebar. “Apa kabar?”
“Sangat baik,” jawab Ben sambil menjabat tangan Venus dan mengecup pipinya seperti yang biasa dilakukannya. Sejak menjadi anak angkat Zeus, dia sudah menganggap hubungan dengan anak-anak Zeus seperti saudara, termasuk Venus. Secantik apa pun anak kedua Zeus Rockwood itu, dia tetap tidak bisa memandangnya sebagai kekasih. Rasa sayang dalam hatinya telah berkembang sebagai saudara saja.
“Aku mencari ayahku. Apa dia masih di sini?” tanya Venus lagi sambil mengangkat dua kantong belanjaan dari merek ternama.
“Kehabisan uang? Bukan, kan?” goda Ben yang langsung dijawab dengan tawa pelan Venus.
“Aku membelikan hadiah untuk ibuku. Aku ingin ayahku memilihkan beberapa lainnya. Aku sudah ke ruangannya, tapi dia tidak ada.”
“Mungkin, dia ada di ruang rapat. Aku tidak melihatnya setelah rapat tadi.”
“Aku mendengarnya. Adam marah-marah mengatakan kamu tidak berguna.”
“Adam memberitahumu?”
Venus tersenyum. “Apa yang tidak diadukan anak itu? Dia butuh orang lain untuk mengatakan padanya kalau kamu salah. Dia cemburu setengah mati padamu. Tahu, ‘kan?”
Ben menggeleng. “Adik kecil yang manis.”
“Sudah kukatakan pada Mom, aku ingin anak anjing, bukan adik seperti dia. Saat dia bayi, aku dan Neptune membawanya ke rumah pengasuh kami untuk menukarnya dengan anjing milik pengasuh kami. Kami ingin mendengar suara gonggongan, bukan tangisan manja.”
Ben tertawa. “Seharusnya aku di sana membantu kalian mewujudkannya.”
Venus tergelak juga. Setelah selesai tertawa, perempuan bertubuh ramping itu berkata, “aku akan mencari ayahku lagi. Kami sudah harus pulang sebelum jam makan siang.”
Namun, Ben memanggilnya lagi. “Boleh aku bertanya?”
“Ben? Kamu selalu bertanya. Kenapa?”
“Uhm … apa yang kamu lakukan kalau suamimu berselingkuh dan kamu merasa sangat marah karena perlakuannya? Apa kamu akan memutuskan untuk berpisah dengannya?”
Wajah Venus langsung menjadi serius. Dia melihat ke sekeliling ruangan untuk mencari Abe Black, suaminya. “Apa ini tentang Abe?”
“Tidak, Ven. Tidak. Aku tidak membicarakan Abe. Dia lelaki terbaik di muka bumi. Dia tidak akan berpikir tentang selingkuh sama sekali. Aku membicarakan … temanku. Dia … ragu untuk menceraikan suaminya atau tidak.”
Venus melihat Ben dengan tatapan curiga. Sesaat dia terlihat mengamati Ben, lalu bertanya, “Teman? Ben Wright, kamu tidak punya teman. Orang yang menghabiskan waktunya di kantor dan minum anggur sendirian di rumah tidak punya teman. Apa-apaan?”
Ben tergelak. “Aku … bertemu seseorang, Ven. Dia … masih terikat dengan suaminya. Dia juga … ingin melepaskan … suaminya. Aku berpikir … aku … menyukainya.”
“Oh, astaga! Ben! Manis sekali.” Venus meletakkan kantong belanjaan itu di lantai dan memegang tangan Ben. “Ini hal paling manis yang kudengar darimu. Selamat!”
“Tidak. Jangan katakan itu, Ven. Dia hanya … tidak. Aku … aku ini … uhm, begini … dia itu masih istri orang lain. Dia … punya masalah berat dengan suaminya. Aku berpikir dia mungkin akan berpisah dengan suaminya. Tapi, dia … aku tidak tahu. Aku butuh pandangan darimu.”
Venus tersenyum mengerti. Dia menumpuk tangan Ben di antara tangannya. “Dengar, Nak,” katanya menirukan ibunya. “Perempuan yang sudah disakiti itu sangat rapuh. Dia akan melakukan segala cara untuk mendapatkan kebahagiaannya lagi. Pastikan dia sudah menyelesaikan hubungannya yang lama sebelum dia datang padamu. Apa suaminya masih bertanggung jawab atas dirinya?”
“Tidak. Dia berkata suaminya secara impulsif telah meninggalkannya begitu saja di rumah mereka, tanpa uang, tanpa ponsel, tanpa apa pun. Suaminya juga telah menyembunyikan dokumennya. Apa bisa kamu bayangkan?”
“Oh, kasihan sekali.”
“Aku … merasa ingin sekali membantunya. Aku … menyukainya. Caranya meminta bantuan, caranya berusaha untuk tetap tenang. Dia … luar biasa.”
“Aku mengerti,” kata Venus sambil menepuk tangan Ben, lalu melepaskannya. “Kalian saling membutuhkan. Kamu membutuhkan gadis seperti dia dan dia membutuhkan pahlawan sepertimu. Kejarlah, Ben! Kita tidak setiap hari merasakan jatuh cinta. Kejarlah dan katakan padanya kalau kamu menyukainya. Mungkin saja dia memang tercipta untukmu. Siapa yang tahu?”
Ben memang melakukannya. Dia tidak menunggu sore untuk kembali menemui Ivy. Dia membawakan mereka kue yang dia janjikan pada Delilah. Begitu Ivy membuka pintu, dia menarik Ivy ke pelukannya dan mencium perempuan itu. Memang, saat ini Ivy masih milik Oliver. Dengan ciuman itu, dia mengatakan pada Ivy kalau dia akan membantunya menyelesaikan semua dan membawanya dalam hidup baru.
Ivy tidak menolak. Ivy juga merasakan ciumannya. Mata gadis itu memejam, seperti merasakan sentuhan baru yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Sekalipun saat Ben melepaskannya, gadis itu berpaling dengan malu dan terlihat gugup.
“Maaf,” kata Ben, berusaha untuk tidak tersenyum karena merasakan getaran seperti dulu lagi. “Aku benar-benar minta maaf. Aku … tidak berpikir panjang.”
“Ben, aku … masih … istrinya.”
“Aku tahu. Aku minta maaf. Aku hanya … merindukanmu.”
Ivy menunduk saja, bingung harus mengatakan apa. Dia merasa malu sekali berhadapan dengan lelaki itu, tapi sekaligus menginginkannya. Dia merindukan saat-saat seperti ini. Dia merindukan seseorang yang secara spontan menciumnya karena dorongan perasaan. Ben mengingatkannya pada Oliver yang sampai ingin menangis mengatakan ingin mencium Ivy saat pertama kali bertemu dengannya.
“Kamu akan berpisah dengannya, kan?” tanya Ben lagi. “Semalam kamu berkata kalau kalian sudah tidak ada harapan lagi dan dia memang tidak mencarimu sama sekali. Iya, kan?”
Ivy menunduk saja. Dengan cepat air matanya jatuh. Dia tidak tahu harus mengatakan apa untuk menjelaskan pada Ben yang dirasakannya.
“Ivy?”
“Ben, maaf. Aku … aku tidak siap untuk ini. Sungguh. Aku ingin … entahlah. Aku tidak tahu yang kuinginkan. Aku hanya … bingung.”
“Kita tidak perlu terburu-buru. Aku bisa menunggu. Aku … akan membantumu, apa pun yang kamu inginkan. Kita akan baik-baik saja. Aku yakin.”
Ivy tidak tersenyum. Dia terus menunduk dan berpaling, melihat ke mana saja selain mata biru Ben yang indah itu.
“Kamu masih tidak bisa menghubunginya?” tanya ben sambil memberikan kue untuk Delilah.
“Tidak. Aku tidak bisa menghubunginya. Sepertinya, dia memang sudah tidak peduli lagi padaku. Tidak. Jangan berikan kue itu begitu saja. Aku akan memotong-motong kue itu untuknya,” kata Ivy sambil mengambil kotak kue dari tangan Ben. Jari-jari Ivu gemetar. Ben memperhatikannya. Perempuan itu berhenti sebentar di konter dapur untuk memegangi dahinya. Ben terus memperhatikannya saja untuk melihat keajaiban yang dibuat Ivy atas dirinya.
“Ben! Ben!” Delilah memakai sepatu ibunya, lalu jatuh karena tidak bisa mengangkat kakinya dari sepatu itu. Ben buru-buru mengangkat gadis kecil itu dan menggendongnya. Di belakang Delilah ada tas Ivy yang juga diseret-seret untuk dijadikan mainan. Ben tertawa. Lagi-lagi dia mengingat bagaimana dua gadis kesayangannya dulu bertengkar. Sang Ibu tidak suka melihat anaknya bermain dengan tas tangannya dan si Anak entah bagaimana selalu ingin memakai kepunyaan ibunya.
“Ibumu bisa marah besar kalau kamu melakukannya, Nak. Kembalikan! Aku tidak ingin melihatmu dalam masalah.”
Ben menurunkan Delilah ke lantai, lalu mengambil tas tangan Ivy yang berantakan. Dia memunguti barang-barang Ivy dan gumpalan uang yang dimainkan Delilah. Lalu, tangannya menyentuh sesuatu yang agak berat di dasar tas itu. Ponsel. Ponsel itu nampak baik-baik saja, tapi dalam keadaan mati. Ben melihat Ivy dengan bingung. Dia berusaha mengingat-ingat yang dikatakan Ivy, tidak punya ponsel atau ponselnya rusak?
Ben menekan tombol power dan merasa lebih terkejut lagi. Ponsel itu menyala seperti biasa. Begitu ponsel itu tersambung dengan jaringan, ada banyak sekali pesan yang masuk. Semua pesan itu dari satu nama, Oliver. Lelaki itu sedang mencari istrinya.
Ivy melihat Ben saat mendengar suara notifikasi yang akrab di telinganya. Perempuan itu menatap ngeri saat Ben memegang ponsel berwarna putih yang juga sangat dikenalnya. Ponsel itu bukan milik Ben. Dia tidak bisa melakukan apa-apa saat Ben menatapnya dengan kecewa.
“Kebohongan apa lagi yang kamu simpan, Ivy?”
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: Ephemeral #10 – Beautiful Liar
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
Tim Dalam Artikel Ini
Penulis yang telah menghasilkan lebih dari 30 judul karya ini masih berusaha menjadi orang baik. Kalau bertemu dengannya di media sosial, jangan lupa tepuk bahunya dan ingatkan kalau dia juga butuh pelukan.