Cerita Ivy tak hanya membuat Ben akhirnya mengetahui bagaimana perempuan itu bisa berakhir terlunta-lunta New York tanpa dokumen resmi. Tak hanya itu, Ben juga dipaksa untuk mengenang kembali pernikahannya sendiri, membuat rasa bersalahnya kembali menyeruak.
***
Tangisan Ivy makin keras. Ben sampai pindah ke samping Ivy demi bisa memberikan Ivy sentuhan fisik yang mungkin membuat perempuan itu jadi lebih tenang. Namun, Ivy masih terus menangis. Ben memeluknya, berusaha membelai punggungnya seperti dulu dia melakukannya pada Sheila. Perempuan itu memegang tangannya, seperti orang yang akan tenggelam. Dari mulutnya keluar kata-kata, “Aku yang salah. Aku yang salah.” Ben mengeratkan pelukannya, berusaha membuat Ivy merasakan seseorang yang benar-benar menjadi temannya. Hanya teman yang sungguh-sungguh menyayanginya.
Ivy baru melepaskan pelukan Ben setelah Delilah menghampirinya dan mengusap tangannya. “Terima kasih,” kata Ivy untuk mengapresiasi anaknya. Dia mencium pipi dan kening anaknya untuk meyakinkan gadis kecil itu bahwa dia tidak apa-apa.
“Maaf. Aku … terlalu kekanakan,” kata Ivy sambil mengelap air matanya dengan lengan baju. Ben mengambil tisu yang ada di laci meja karena belum pernah dipakai.
“Semua orang berhak menangis dan perempuan memiliki hak yang lebih banyak untuk menangis.”
Ivy tertawa sambil menangis mendengar kalimat penghiburan ini. “Aku terlalu banyak menangis belakangan ini.”
Ben tersenyum. Dia membuka telapak tangannya. “Kapan pun kamu ingin menggenggamnya, lakukanlah. Teman selalu ada untuk temannya.”
“Apa ada temanmu yang selalu menggenggam tangan saat dibutuhkan?”
“Aku tidak punya banyak teman, sama sepertimu dengan alasan yang berbeda.”
“Apa alasanmu?”
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
“Pekerjaan.” Dia beranjak untuk mengambilkan Ivy air putih, juga untuk memberikan kesempatan pada Ivy untuk membersit ingus. Dari pengalamannya dekat dengan perempuan, Ben tahu kalau perempuan malu melakukan hal yang mereka pikir jorok di depan laki-laki. Saat kembali, Ben berkata, “Aku bukan dari keluarga berada. Ibuku ditinggalkan ayahku sejak aku masih dalam kandungan. Ibuku bekerja di toko kue dan membuat sweter rajut di malam hari. Apa kamu tahu kalau aku bisa merajut?”
Ivy nyaris tersedak karena ini. “Bohong!”
“Sungguh. Aku membantu ibuku merajut atau memasang kancing. Jika bukan aku, siapa lagi? Ibuku mendidikku untuk bersiap hidup miskin. Kemiskinan juga yang melahap habis tubuhnya. Ibuku mengalami kekurangan gizi dan rentan berbagai macam penyakit. Yang paling parah saat kutinggalkan untuk kuliah. Ibuku sendirian di sini, tidak memiliki siapa pun.”
“Dari mana kamu punya uang untuk kuliah? Kukira harga perguruan tinggi di sini mahal.”
“Aku mendapatkan prestasi yang bagus. Mungkin kamu melihatku seperti laki-laki yang tidak bisa apa-apa sekarang, tapi aku punya otak yang sangat bagus.”
“Kali ini aku percaya.”
“Oh, ya? Kenapa?”
“Karena kamu tidak terlihat bodoh dan katamu kemarin kamu memenangkan sayembara pembuatan gedung Rockwood yang bagus itu. Pasti kamu memiliki otak brilian.”
Dia tertawa, tawa tulus karena pujian.
“Dari situ kamu akhirnya mendapatkan kekayaan?” tanya Ivy lagi setelah minum air putihnya lagi.
“Ya. Aku merasakan memiliki mobil bagus, pakaian bagus, dan kenal dengan orang-orang hebat. Sayangnya, aku tidak bisa membelikan ibuku nyawa. Ibuku meninggal setelah aku berhasil membelikan semua yang diinginkannya.”
Kali ini, Ivy memegang tangan Ben karena merasakan kesedihan yang dialami Ben. Kadang, dia juga memikirkan ibunya yang berjuang dengan sangat keras sejak ditinggalkan ayahnya. Dia merindukan ibunya sekalipun tidak berani menelepon perempuan tua itu. Bukannya apa-apa, Ivy tidak ingin mendengarkan ceramah ibunya lagi, apalagi sekarang hidupnya sedang buruk begini. Memberi tahu ibunya yang terjadi sama saja dengan menyerahkan diri untuk diceramahi habis-habisan. Sudah pasti, kalimat pertama yang diucapkan ibunya adalah, “Ibu bilang apa? Kamu nggak nurut jadinya kayak gitu. Anak kalau ngeyelnya keterlaluan ya jadinya kayak gitu.”
Tentu saja dia tidak ingin mendengar yang seperti itu.
“Apa kekayaan itu juga yang membuatmu menikahi … uhm ….”
“Sheila.”
“Ya, maaf. Aku agak kerepotan dalam mengingat nama. Sheila. Nama yang bagus.”
Ben tersenyum menyetujuinya. “Ya, aku begitu ingin menikahi Sheila. Aku … kesepian setelah kepergian ibuku. Aku ingin seseorang menemaniku dan berjanji akan selalu bersamaku. Seharusnya kami hanya tinggal bersama saja saat itu. Pernikahan itu terlalu membebani kami.”
“Tapi, pernikahan membuatmu tahu kalau dia mencintaimu dan kamu ingin berkomitmen padanya.”
“Bagaimana jika komitmen itu dibuat karena tujuan lain, bukan karena aku benar-benar ingin menghabiskan seumur hidup dengannya. Katakanlah dalam kasusku, karena kesepian.”
Ivy memperhatikan Ben, mencari tanda-tanda Ben sedang menyindirnya. Namun, dia meyakinkan diri kalau Ben tidak sedang menyindir siapa pun. Ben sedang menceritakan tentang dirinya sendiri. Ivy juga melihat dirinya sendiri, apa yang membuatnya menikah dengan Oliver?
“Aku ingin lari,” kata Ivy pelan. “Aku membuat komitmen itu karena ingin pergi dari duniaku. Aku ingin merasakan dunia lain. Aku ingin bersama orang yang mau menemaniku mengarungi dunia baru itu. Aku merasa sangat beruntung karena tepat saat aku ingin lari dari kewajiban untuk bekerja, aku mendapatkan Oliver. Dia memberiku semua yang kubutuhkan, tampan, dan segalanya sempurna. Kupikir, pernikahanku akan lebih baik dari pernikahan ibuku, ternyata aku hanya mengulang lagi drama yang dialami ibuku.”
“Ibumu?”
“Ayahku menikah lagi dengan sahabat ibuku.”
“Sial!”
“Ya, sialan. Ibuku tidak ingin mengajukan perceraian karena ingin membalas dendam. Ibuku tidak ingin memberikan istri kedua ayahku kesempatan untuk menguasai ayahku sendirian. Dia terus membayangi kehidupan ayahku dengan tetap menjadi istri pertamanya. Saat itu, aku berpikir bagaimana bisa ibuku itu menahan rasa sakit demi dendam. Ibuku menahan semua cemoohan dan rasa cemburu demi menyakiti istri muda ayahku.”
Ben menggeleng. “Maaf, aku masih tidak mengerti.”
“Dalam poligami, istri pertama memiliki hak yang lebih banyak. Ini aturan tidak tertulis yang ada di masyarakat Indonesia. Istri pertama memiliki kekuasaan yang lebih banyak untuk menentukan kapan ayahku mendapatkan giliran tidur. Maksudku, bercinta. Ya, seks. Ini dilakukan ibuku sejak dia menjadi lebih kaya dari ayahku. Ibuku orang yang sangat gigih. Sangat gigih. Dia bekerja siang malam demi bisa menjadi lebih kaya dari siapa pun di keluarga kami. Aku bukan orang kaya. Aku berada di bawah garis kemiskinan.”
“Kurasa kita berada di titik yang sama dulu.”
Ivy tertawa. “Ya, kurasa begitu.”
“Ibumu luar biasa.”
“Sekalipun dia membesarkan dirinya dengan memangsa dendam?”
“Tidak banyak orang yang bisa melakukannya. Kamu punya saudara?”
“Aku punya adik. Fern.”
“Ibumu menyukai tanaman?”
Ivy tertawa lagi. “Fernanda. Laki-laki pendiam yang kurasa akan menjadi sangat pendiam sampai dia dewasa. Kami melihat saat-saat terburuk keluarga kami. Ibuku dipukul dan disakiti oleh ayah. Aku pernah melihat ibuku menjeriti ayahku dan mendapatkan tamparan keras. Ayahku menginjak perut ibuku sampai ibuku harus dirawat di rumah sakit. Kami melihat semua dan sangat ingin lari dari rumah itu.”
“Saat mendapatkan kesempatan, kamu tidak menyia-nyiakannya.”
“Ya, seperti itu. Sekarang, aku mengalami yang dialami ibuku.”
“Dia memukulimu?”
“Dia bermain gila dengan perempuan lain.”
“Tidak mungkin.”
“Kenapa?”
“Kalau aku jadi dia, aku tidak akan memikirkan siapa pun. Maaf, bukan bermaksud menyinggungmu, lihat dirimu, Ivy, kamu cantik sekali. Kamu memiliki tubuh yang bagus, wajah yang cantik, rambut tebal yang ikal, dan apa lagi? Kamu memiliki kecantikan fisik yang memang dimiliki oleh setiap perempuan.”
“Aku tersinggung sekali.”
Ben tertawa. “Aku jujur.”
“Terima kasih atas kejujuranmu.”
“Lalu, apa dia begitu idiot sampai meninggalkanmu demi perempuan lain?” Ben menyandarkan kepala di punggung sofa.
“Saat datang ke New York lagi, setelah hampir tiga tahun meninggalkan kota ini, Oliver mengajakku ke Time Square. Begitu banyak orang Indonesia yang memamerkan berfoto di Time Square di Instagram membuatku senang sekali ada di sana. Saat itulah hari kehancuran kami. Oliver melihat mantan pacarnya atau yang lebih tepatnya, pacar yang ditinggalkannya setelah bertemu denganku.”
Ben menggeleng pelan menanggapi cerita Ivy.
Ivy menarik napas dalam-dalam. “Aku tidak tahu kalau saat berhubungan jarak jauh denganku dia masih terikat janji dengan pacarnya. Dia ingin menikahi pacarnya. Dia masih menyimpan cincin yang ingin diberikannya pada pacarnya dan aku hanya orang asing yang masuk di antara mereka berdua. Dia jadi sering melamun. Lalu, setelah malam itu dia berbicara di telepon dengan suara pelan, entah siapa yang dia telepon, dia sepenuhnya berubah. Dia berbohong padaku. Dia … membuat janji untuk makan malam dengan gadis itu.”
“Sial!”
“Untuk orang Indonesia, makan malam artinya hanya makan malam, tapi aku mengerti yang dimaksud dengan makan malam untuk kalian. Aku jadi tahu kenapa Oliver pulang sangat larut, lalu duduk sendiri di balkon. Aku juga jadi mengerti kenapa dia tiba-tiba memutuskan untuk pergi ke LA dengan beralasan ada pekerjaan yang menunggunya. Saat dia pergi itulah aku memutuskan untuk pergi dari apartemennya. Sayangnya, aku tidak menemukan dokumenku.”
“Dokumenmu? Dia menyimpannya?”
“Ya.”
“Kenapa? Itu hal yang sangat privasi dan penting.”
“Malam itu, setelah aku melihatnya berbicara di telepon, kami bertengkar hebat. Aku ingin mempertahankan posisiku. Aku ingin tetap menjadi satu-satunya dalam hatinya. Aku tidak ingin menjadi seperti ibuku yang harus menyimpan kebencian seumur hidupnya. Aku tidak ingin Delilah merasakan yang kurasakan dulu. Aku … ingin memperjuangkan semuanya. Nyatanya, aku tidak bisa. Dia tidak mengatakan apa-apa. Dia bersikeras tidak ada hubungan apa pun antara dia dengan perempuan itu. Malam itu aku mengancam akan kembali ke Indonesia. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi keesokan paginya, semua dokumenku hilang. Dia hanya berkata tidak ada yang pergi dari rumah itu. Dia memenjarakanku, sementara dia sendiri pergi dengan perempuan lain.”
“Kukira, dia benar-benar mencintaimu.”
“Kukira juga begitu.”
“Sekarang, dia tidak tahu kalau kamu tidak ada di rumah?”
Perempuan berambut hitam itu menggeleng. “Mungkin dia akan segera tahu. Ayahnya mungkin akan mengatakan sesuatu.”
“Menurutku, kamu tetap harus menghubunginya.”
“Untuk apa?”
“Untuk mendapatkan dokumenmu. Lari darinya seperti ini tidak memberikan apa-apa selain kebingungan. Kamu akan terkatung-katung di kota besar ini. Aku tidak masalah kalau kamu tetap di sini selama kamu mau, tapi sampai kapan kamu bersembunyi? Jika dia di sini, dia pasti akan menemukanmu dan mungkin akan menghajarku karena menganggapku sebagai orang yang membawamu lari dari rumahnya. Semua akan berakhir buruk, Ivy.”
Ivy tidak menentangnya. Dia tahu benar kalau Oliver mungkin pasti akan marah besar kalau tahu dia berhari-hari bersama laki-laki lain dan sekarang sedang duduk berdekatan dengan laki-laki lain di rumah lelaki itu. Dia belum pernah mencoba membuat oliver cemburu selama ini, tapi kemungkinan besar itulah yang akan dilakukan Oliver.
‘Kembali ke sana juga nggak mungkin banget. Aku sudah nggak mau ketemu Oliver,’ batin Ivy. Dia kemudian melihat anaknya yang bermain dengan remot televisi, lalu bertanya pada diri sendiri, ‘Tapi, kenapa? Kenapa aku nggak mau ketemu sama Oliver lagi? Apa aku sebegitu takutnya?’
“Apa yang ingin kamu tonton, Sayang?” tanya Ben pada Delilah.
Ivy tersenyum melihat anaknya memberikan remot itu pada ben dan menekan tombol itu untuk meminta tolong Ben menyalakan televisi.
“Dia suka menonton Planet Animal,” jelas Ivy. “Dia suka sekali dengan binatang. Apa yang disukai anakmu dulu?”
Ben menggeleng. “Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sampai tidak tahu apa yang disukai istri dan anakku.”
“Ben?”
“Sungguh. Aku berlari dari banyak masalah dalam rumah tangga kami, terutama dari ayahnya yang tidak menyukaiku. Aku berlari dan terus berlari dengan mendedikasikan diriku pada pekerjaan. Aku membelikannya berlian sebagai kompensasi. Aku melihat gadis-gadis tersenyum saat mendapatkan berlian, tapi dia menangis. Dia ingin aku menukarkan berlian itu dengan suaminya. Dia hanya ingin memiliki waktu bersamaku.”
Ben menyalakan televisi untuk Delilah, mencarikan saluran yang menayangkan dunia hewan itu. Tapi, saat dia menekan angka saluran, televisi besar itu malah memperlihatkan wajah lelaki yang sangat dikenal Ivy. Sontak, Delilah berteriak, “Daddah! Daddah! Daddah!”
Ivy melotot melihat televisi. Selama ini dia tidak pernah menonton saluran lain di televisi karena Delilah hanya ingin menonton hewan saja. Oliver juga hanya ingin menonton film-film dari Netflix atau Disney saja. Ivy sendiri hanya ikut menumpang tontonan suami dan anaknya. Baru kali ini dia menonton berita dalam negeri Amerika. Dalam berita yang dia tonton saat ini, Oliver sedang diwawancarai tentang film kartun Disney yang akan segera tayang. Pada bagian bawah nama Oliver Glass ada keterangan kalau dia pengisi suara sekaligus animator film itu. Selama ini Ivy hanya tahu kalau suaminya animator, tapi tidak pernah tahu bagaimana detail pekerjaan Oliver. Suaminya itu tidak pernah mau diganggu saat berhadapan dengan laptop dan perlengkapan menggambar digitalnya.
“Itu suamimu?” tanya Ben terkejut. Delilah memegang layar televisi dan berusaha mencium layar televisi itu.
“Ya. Dia Oliver-ku.”
Ben tertawa. “Kamu bukan hanya mendapatkan suami yang tampan, tapi juga terkenal.”
Ivy melihat ke layar televisi itu. Oliver menjawab pertanyaan wartawan dengan senyum yang manis, senyum yang membuatnya jatuh hati pada lelaki itu. Dia membayangkan aroma Oliver. Dia membayangkan kulit lembut Oliver yang kemerahan. Dia membayangkan rasa rambut suaminya yang lembut ikal seperti rambut Delilah. Dia tidak bisa membayangkan hal lain selain fisik lelaki itu. Dia tidak mengetahui apa pun selain kulit Oliver. Saat Oliver terbahak karena pertanyaan wartawan, dia benar-benar yakin kalau dia tidak mengenal suaminya sama sekali.
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: Ephemeral #9 – We Can Try
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
Tim Dalam Artikel Ini
Penulis yang telah menghasilkan lebih dari 30 judul karya ini masih berusaha menjadi orang baik. Kalau bertemu dengannya di media sosial, jangan lupa tepuk bahunya dan ingatkan kalau dia juga butuh pelukan.