Bagi Ivy, kehadiran Ben menjadi satu-satunya tempat ia mencurahkan isi hatinya di negeri dan orang-orang yang asing ini. Bagi Ben, kehadiran Ivy dan Delilah menjadi pemicu ingatan tentang masa lalunya sendiri yang tak kalah menyedihkan.
***
“Apa tinggal di tempat baru yang membuatmu menangis terus atau ada hal lain?” tanya Ben saat Ivy membukakan pintu untuknya pagi itu.
“Tidak. Aku … hanya … terkena serangan panik. Masuklah,” kata Ivy, membukakan pintu untuk pemilik apartemen itu. “Delilah masih tidur. Semalam dia kelihatannya terlalu lelah untuk bangun. Setelah mandi, dia—astaga! Apa yang kamu bawa? Banyak sekali!”
“Aku memikirkan kalian semalam. Kalian hanya membawa sangat sedikit pakaian. Aku tidak yakin kalian—hei, aku salah. Kamu sudah masak? Aromanya enak sekali.” Ben meletakkan tas besar dan plastik besar berisi barang belanjaan di meja makan.
“Aku membeli apel dan membuat pie. Delilah suka pie apel. Kalau … kamu tidak keberatan … kita … bisa makan bersama.” Ivy meremas celemek yang dia dapat dari laci dapur.
Ben melihat Ivy sambil tersenyum kecil. Bibir merahnya menyunggingkan senyum yang terlihat manis di antara berewoknya.
“Kenapa?” tanya Ivy bingung. Dia menyelipkan rambut ke belakang telinganya dan tiba-tiba merasa tidak enak. Ben melihatnya dengan cara yang berbeda. Dia sampai berpikir mungkin saja ada yang salah dari dirinya.
Ben menggeleng. “Tidak.”
“Tolong, katakannya sesuatu dengan jujur. Apa aku melakukan kesalahan? Aku … merasa kamu mentertawakanku.”
Lelaki itu menarik napas dalam-dalam. Ivy berpikir dia ingin mengatakan sesuatu, tapi ternyata malah mengembuskan napas sambil berkata, “Tidak ada. Sungguh.”
Dia mengangguk, berusaha menelan jawaban yang tidak menjelaskan apa pun itu. Ekspresi Ben mengatakan kalau bukannya “tidak ada”, tapi memang dia tidak ingin mengatakan yang sebenarnya. Ini membuat Ivy jadi gelisah. Dia merasa yang dilakukannya salah, tapi Ben tidak ingin mengatakannya. Dia sampai melihat ke cermin untuk memeriksa apakah ada noda di wajah dan bajunya. Ternyata tidak. Rambutnya masih tergelung rapi dengan ikat rambut yang selalu dipakainya. Wajahnya juga polos biasa saja. Dia memang terlihat lebih pucat, tapi dia yakin ini hanya karena kurang istirahat.
“Apa aku mengganggu jika aku ikut sarapan sekarang?” tanya Ben sambil membongkar barang di dalam kantong belanjaan.
“Tidak, Ben. Justru aku sangat bersyukur kamu mau datang. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas semua ini. Sekarang, kamu membawakanku banyak bahan makanan.”
“Kupikir kamu tidak bisa keluar untuk berbelanja. Bagaimana dengan pinggang dan kakimu?”
“Baik. Aku berusaha bergerak. Aku pernah belajar pilates dan menggunakan gerakan pilates untuk mengendurkan otot pinggangku. Aku juga melihat acara olahraga di televisi tentang peregangan yang baik. Aku menirunya dan pagi ini, aku bisa bangun tidur tanpa bantuan tongkat. Kurasa, sebentar lagi aku bisa lari pagi lagi.”
“Wow! Kamu terbiasa lari pagi? Hebat sekali.”
“Terima kasih. Biasanya, aku berlari di treadmill. Aku … hampir tidak keluar dari apartemen sejak sampai di New York. Hei, Baju ini bagus sekali. Lihatlah, pakaian ini lucu sekali.” Ivy membuka tas pakaian yang dibawa Ben dan takjub dengan gaun kecil yang dibawanya.
Gaun itu berwarna hitam-putih dengan rok tutu yang mengembang indah. Pada bagian kerahnya ada pita dan bunga hitam yang berjajar. Kainnya halus dengan material detail yang tidak gatal sama sekali di kulit. Ivy mengusapkan pipinya pada gaun itu untuk merasakan kelembutannya. Ukurannya Ivy pikir lebih besar dari ukuran Delilah, tapi Ivy sudah berencana untuk langsung memakaikannya setelah Delilah bangun nanti.
Baju untuk Delilah | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Siapa yang membelinya?” tanya Ivy lagi.
“Aku.”
Ivy tertawa. “Jangan bercanda. Aku tidak percaya sama sekali.”
“Sungguh. Aku yang membelinya. Saat membelinya aku tidak tahu tentang bahan pakaian atau hal lain yang seharusnya kujadikan bahan pertimbangan. Aku juga tidak melihat ukurannya. Aku hanya menyukai gaun itu dan membawanya ke kasir bersama beberapa gaun lainnya.”
Ivy melihat price tag yang belum dilepas dari gaun itu. Dia bukan hanya melihat harga dan mereknya, tetapi juga kenyataan kalau Ben membeli gaun yang tidak pernah dipakai oleh orang yang ingin Ben hadiahi.
“Kamu tidak memberikan pada gadis kecil yang ingin kamu hadiahi atau … ada hal lain?”
Senyum Ben makin melebar. “Aku memberikannya. Hanya saja, dia tidak sempat memakainya.”
“Tidak sempat?”
Ben sudah membuka mulut untuk melanjutkan pembicaraan mereka, tapi Delilah menangis di tempat tidur. “Boleh aku menggendongnya ke sini?” tanya Ben dengan ekspresi memohon.
“Ya, tentu,” jawab Ivy sambil mengangguk.
Saat Ben naik ke tempat tidur, Ivy melihat lagi pakaian yang dibawa Ben. Di dalam tas itu bukan hanya ada baju anak-anak, tetapi juga pakaian perempuan dewasa. Sebagian besar pakaian itu masih ada price tag-nya. Sebagian lagi terlihat masih sangat bagus. Ivy merasa pakaian ini milik perempuan yang kaya. Selain wangi, semua pakaian ini berasal dari merek ternama. Sebuah gaun pesta malah memiliki label Versace. Gaun itu diselipkan begitu saja tanpa berpikir kainnya yang ringan dan rentan itu akan terjepit resleting tas atau kancing dari baju yang lain. Ben tidak terlalu mengerti tentang pakaian seperti yang diakuinya tadi. Baju ini mungkin milik seorang perempuan.
“Ben, aku minta maaf,” kata Ivy saat Ben turun dengan menggendong Delilah. “Aku minta maaf karena tidak bisa menerima semua ini. Aku tidak tahu dari mana barang-barang ini berasal. Aku … khawatir pemiliknya tidak mengizinkanku memakainya. Ini semua barang mahal.”
“Pemiliknya tidak akan peduli lagi.”
“Bagaimana kamu tahu?”
“Pakaian itu milik istri dan anakku.”
“Oh? Kamu sudah membelikan mereka pakaian baru? Kamu baik sekali. Banyak pakaian di sini yang masih belum sempat dipakai.”
“Mereka memang tidak akan memakainya.”
“Kenapa?”
Ben membuka mulut, lalu menutup lagi. Dia berjalan lebih dekat pada Ivy, lalu mendudukkan Delilah di tempat duduk bayi. Dia menarik napas dalam-dalam seperti akan menyelam ke tempat yang jauh. Setelah agak lama berpandangan begitu saja dengan Ivy, dia akhirnya berkata, “Mereka sudah meninggal. Lima tahun lalu. Dalam kecelakaan. Mereka sudah memakai pakaian terbaik mereka. Mereka tidak membutuhkan pakaian itu lagi.”
Kali ini Ivy yang kehabisan kata-kata. “Maaf. Aku … ikut berduka.”
Ben tersenyum lagi. “Terima kasih.” Lelaki itu menarik napas dalam-dalam. “Aku sudah berusaha melupakannya. Aku menganggap mereka sedang pergi ke suatu tempat yang jauh dalam waktu yang sangat lama. Setiap merindukan mereka aku bisa mengirim email ke email Sheila. Dia hanya terlalu sibuk untuk membalasnya. Aku … kini harus mengatakannya padamu.”
“Ben, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bisa melihat kode yang kamu berikan. Seharusnya aku tahu saat kamu berkata mereka sudah tidak membutuhkannya lagi. Astaga! Aku ini memang bodoh. Aku sungguh menyesal.”
“Tidak. Tidak apa-apa. Aku memang seharusnya menerima ini sebagai kenyataan. Semalam aku mengambil semua pakaian ini lemari mereka dan berpikir kalau aku seharusnya menerima kenyataan, bukan membuat harapan baru bagi diri sendiri. Aku selalu memikirkan mereka setiap berada di pesta natal dan tahun baru. Aku memberikan mereka hadiah pada hari ulang tahun mereka. Yah, kamu tahu, aku berharap mereka datang dan merayakan bersamaku. Aku mengirimi Sheila kartu natal dan itu tidak baik. Psikologku mengatakan itu bukan hal yang baik. Zeus juga beberapa kali mengatakan kalau mengenang kematian orang dengan cara seperti itu bukan hal yang sehat. Aku … aku … hanya tidak siap. Astaga! Apa yang kulakukan? Kenapa aku malah seperti ini?”
Ben dan Ivy mulai berbincang | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Ivy tertegun. Dia tidak menyangka bisa melihat laki-laki menangis seperti itu. Seumur hidup dia hanya melihat laki-laki marah, memelas, memohon, berkelahi, membentak, hingga memaki. Dia sama sekali tidak pernah melihat laki-laki yang menangis seperti Ben. Oliver juga tidak menangis pada hari pernikahan mereka seperti banyak orang lain di video atau film. Sebelum melihat Ben, Ivy selalu berpikir laki-laki yang menangis karena perempuan itu hanya ada dua, laki-laki yang benar-benar cengeng atau untuk kebutuhan akting di depan kamera saja.
Ben berbalik ke kamar mandi. Dia cukup lama ada di kamar mandi sampai Ivy mencuci Delilah yang harus ganti popok di wastafel dapur saja. Setelah kembali, Ben terlihat lebih segar. Sepertinya dia mencuci wajah tadi.
“Aku minta maaf harus membiarkanmu melihat … yang tadi,” kata Ben merasa kikuk. Ivy sudah memindahkan tas pakaian Ben ke lemari walau belum menyusun pakaiannya. Ivy menyusun bahan makanan yang dibeli Ben ke lemari pendingin dan menyajikan pie apel yang wangi sekali untuk mereka bertiga.
“Tidak apa-apa. Aku yang seharusnya tahu diri. Aku tidak seharusnya banyak bertanya tentangmu.”
“Dadda! Dadda!” kata Delilah sambil mengacungkan sendok pada Ben.
“Tidak, Delilah. Aku bukan Dadda. Aku Ben. Ben. Aku temanmu dan teman ibumu.” Ben melihat pada Ivy. “Dia dekat dengan ayahnya?”
Ivy menggeleng. “Tidak. Tidak terlalu dekat. Dia hanya suka sekali pada ayahnya, tapi ….” Ivy melihat ke arah lain, melihat air yang dia jerang untuk membuat kopi sudah mendidih. Dia memanfaatkan ini sebagai alasan untuk lari dari kewajiban menjawab pertanyaan Ben. Namun, saat dia kembali ke meja makan, Ben melihatnya dengan tatapan menggoda.
“Apa?” tanya Ivy sambil menyajikan gelas-gelas kopi untuk mereka dan sari apel yang baru dibuatnya untuk Delilah.
“Apa menurutmu ini adil? Kamu melihatku mengatakan hal yang sangat tidak ingin kukatakan dan sekarang kamu tiba-tiba menutup mulut, menolak menceritakan kisahmu?” Ben bersandar pada punggung kursi. “Tidak bisa begitu, Ivy Cantika. Aku bahkan tidak tahu nama belakang kalian. Apa Cantika itu nama belakang?”
Ivy tergelak sebentar. “Tidak. Tidak semua orang Indonesia memiliki nama keluarga. Orang Indonesia tidak menuliskan nama ayah juga dalam namanya. Nama ayah hanya muncul saat pesta kelahiran, pernikahan, dan kematian.”
“Lalu, suamimu? Orang Amerika, kan?”
Ivy ingin membuka mulut, tapi dia menutup mulutnya lagi.
“Aku … mau saja menceritakan semuanya padamu. Aku hanya … khawatir kamu akan melakukan … uhm … apa kamu mau berjanji untuk tidak membawaku pulang kalau kamu tahu siapa suamiku?”
Ben menatap perempuan di depannya dengan bingung. Dia tidak bisa memikirkan hambatan apa yang membuat Ivy sampai tidak bisa menceritakan kisahnya dengan mudah pada orang yang telah membantunya.
“Aku mengerti kalau aku orang yang sama sekali asing bagimu,” kata Ben mencoba memberikan pendekatan. “Aku juga mungkin tidak bisa membantu memecahkan masalahmu jika memang sekarang kamu mendapatkan masalah yang berat. Tapi, kamu sekarang ada di rumahku. Akan sangat aneh kalau aku tidak mengetahui apa pun tentangmu. Seperti yang kamu katakan, bisa saja kamu orang jahat yang menyamar. Banyak laki-laki yang terbius karena kecantikan perempuan. Bisa saja kamu mencuri semua barangku dengan komplotanmu dan mengambil semua uangku dengan memerasku. Ini New York, tempat di mana banyak orang ingin mendapatkan uang dengan mudah. Segalanya bisa terjadi di sini. Kenapa kamu tersenyum?”
Ivy menggeleng sambil terus tersenyum. “Paling tidak kamu menyebutku cantik.”
Mau tidak mau, lelaki itu tertawa. “Kalau ini usahamu untuk membuatku mengalihkan pikiran, percayalah, ini usaha yang buruk. Aku akan tetap duduk di sini sampai pie apel yang enak ini habis dan menunggumu bercerita.”
“Kamu keras kepala, ya?”
“Kurasa kamu juga.” Ben memasukkan sesuap pie ke mulutnya dan mengulum sendok sambil tersenyum pada Ivy. “Ayolah! Tidak akan seburuk itu,” katanya lagi.
Ben ikut sarapan bersama Ivy dan Delilah | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Ivy menggeleng. “Aku menantu Tobias Glass, manajer di Rockwood Corporation. Saat kita bertemu itu, aku baru menemuinya untuk memohon belas kasihannya.”
“Dia tidak mau membantumu?”
“Dia mengusirku. Dia tidak ingin menemuiku.” Ivy membuka mulut untuk menceritakan lebih banyak, tapi air matanya telanjur jatuh. Di dalam kepalanya ada suara ibunya yang menangisi kepergiannya ke New York. Suara Ibunya keras melarangnya pergi dari Jakarta.
“Kamu belum tahu siapa dia, Ivy. Kamu belum ngerti gimana keluarganya. Jangan pergi. Tetap di sini. Ajak dia hidup di sini aja. Kamu nggak perlu sampai ke Amerika. Di sana nggak ada yang nolong kamu kalau ada apa-apa, Nak. Kamu cuma punya Ibu dan Ibu cuma punya kamu. Tolong, Nak, Jangan pergi.”
Namun, Ivy tetap pergi. Ivy tetap menyerahkan dirinya dan anaknya ke tangan lelaki yang tidak ia ketahui latar belakangnya sama sekali.
Penulis yang telah menghasilkan lebih dari 30 judul karya ini masih berusaha menjadi orang baik. Kalau bertemu dengannya di media sosial, jangan lupa tepuk bahunya dan ingatkan kalau dia juga butuh pelukan.