Ephemeral chapter 5 by Honey Dee | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Tinggal di apartemen yang sepi bersama bayi, tidak punya uang, dan tidak punya koneksi di kota megapolitan ini, membuat Ivy teringat nasihat ibunya di Jakarta. Apakah ini semua karma akibat ia tidak mendengarkan kata-kata ibunya?
***
Ivy baru tahu tentang apa yang dimaksud dengan loft. Apartemen itu hanya terdiri dari satu ruangan besar yang didesain dengan gaya kontemporer modern. Tempat tidur ada di bagian atasnya, membentuk loteng tanpa sekat. Tempat ini memang sangat cocok untuk ditinggali orang yang masih sendirian atau mungkin pasangan yang belum memiliki anak. Gaya praktis yang ditawarkan loft ini memang memberikan kesan dinamis dan aktif. Siapa pun yang memilih tempat ini pasti mengutamakan fungsi rumah sebagai tempat istirahat, bukan sebagai simbol sosial atau tempat memulai keluarga.
Seluruh furniturnya tertata rapi dan desainnya yang serbakelabu menunjukkan kalau pemiliknya laki-laki yang jarang sekali ada di rumah. Namun, semua keterangan ini tidak membuat Ivy bisa menilai kehidupan Ben karena Ben mendapatkannya dari orang lain. Lelaki itu berkata kalau dia hanya mendesain loft itu. Rumah itu bukan tempat tinggal yang dia sukai. Dia memilih tinggal di rumah, di luar Manhattan, atau tidur di kantor saja.
“Aku membangun firma arsitektur bersama temanku, Bob dan Ingrid, sejak lima tahun lalu. Tempat itu tidak terlalu besar, tapi aku sangat menyukainya. Sering kali aku sengaja tidur di sana karena jendela besar di kantorku memperlihatkan gambaran langit New York di mana hari yang mirip di dalam kartu pos. Orang-orang menyebutku gila kerja. Aku menyebut diriku sendiri penyuka keindahan,” jelasnya dengan suara gembira yang membuat Ivy ikut merasa senang.
“Kamu tidak punya keluarga yang menunggu?” tanya Ivy, berusaha menjalin komunikasi dengannya. Sayangnya, lagi-lagi dia merasa pertanyaannya terlalu pribadi.
Ben tertawa pelan, lalu berjalan ke meja telepon di bagian lain ruangan. Ivy mengira dia ingin menunjukkan foto atau hal lain karena di loft ini sama sekali tidak ada tanda foto atau barang pribadi lainnya. Ternyata, Ben malah mengatakan, “Aku meninggalkan nomor ponselku dan nomor darurat yang bisa kamu hubungi di meja telepon itu. Kamu bisa menempelkannya di pintu kulkas atau di sebelah tempat tidurmu. Anggap tempat ini rumahmu untuk sementara waktu. Hubungi aku kapan pun kami membutuhkan bantuan. Ingat, kapan pun. Oke?”
Ivy melupakan rasa ingin tahunya. Dia sibuk mencerna semua perintah Ben itu. Yang paling menakutkan bagi Ivy adalah dia harus tinggal di tempat baru tanpa siapa pun. Saat Ben mengucapkan kata perpisahan dan menutup pintu, dia seperti kehabisan napas. Dia ingin sekali menyusul Ben dan mengatakan kalau dia tidak ingin ditinggalkan.
“Siapa memangnya aku ini? Siapa dia? Ngapain dia ngurusin aku? Sudah bagus aku dikasih rumah kayak gini. Tapi, terus aku gimana di sini?”
Ivy melihat sekeliling, rumah yang benar-benar asing baginya.
Dia juga tinggal di apartemen sebelumnya. Dia sudah terbiasa dengan rumah di tempat yang tinggi, tapi apartemen Oliver tidak seperti ini. Butuh waktu yang cukup lama bagi Ivy untuk menyesuaikan diri. Dia diam saja di sofa, memandangi seluruh loft yang sebenarnya tidak sebesar apartemen Oliver itu. Jika dibandingkan, mungkin ukuran loft ini hanya sebesar ruang tengah dan dapur yang dijadikan satu saja.
“Aku bisa. Aku bisa. Aku cuma perlu tinggal di sini aja. Semuanya ada. Aku cuma harus keluar buat beli bahan makanan. Aku bakal beli makanan instan aja biar nggak merepotkan. Bisa. Pokoknya bisa. Tinggal pergi ke swalayan di bawah, terus naik lagi dan nggak keluar selamanya. Beres!”
Ivy menarik napas dalam-dalam, lalu memberikan air putih pada Delilah yang baru selesai makan biskuit. Dia sudah siap menghadapi “pertarungannya” lagi.
Sudah berkali-kali Ivy melihat orang-orang berjalan di koridor apartemen seperti ini. Dia juga sering sekali berjalan sendirian di koridor. Dia selalu membayangkan ada di dalam setting film atau video klip. Dia membayangkan semua orang yang dia temui bukan orang sungguhan. Mereka semua berakting. Mereka semua harus ada di situ karena tugas mereka. Tidak satu pun dari mereka memiliki kehidupan. Cara ini memang aneh. Oliver yang mengajarkannya. Dengan begini, Ivy bisa mempertahankan senyum.
“Mereka tidak hidup, Ivy. Mereka tidak nyata. Mereka hanya orang-orang yang harus ada di sana demi adegan bersamamu. Setelah kamu pergi, mereka akan berada di tempat lain sesuai dengan naskah,” kata Oliver setiap mereka keluar rumah bersama.
Kata-kata itu selalu membuat Ivy berhasil menguasai diri. Ivy bisa bergandengan tangan dengan Oliver tanpa peduli omongan tetangga. Dia juga bisa terus melakukan apa pun tanpa peduli pendapat orang lain. Ini filmnya. Ini hidupnya. Orang lain hanya orang-orang yang diatur untuk mewarnai kehidupannya, bukan manusia yang sebenarnya.
Lila menikmati tempat tinggal barunya | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Saat itu, Ivy berhasil berbelanja, menghabiskan hampir separuh uang yang dimilikinya untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan hidup lainnya. Sebenarnya ini bukan langkah yang bijak. Setelah sampai apartemen lagi, Ivy menyesal semua yang dibelinya. Dia menyesal membeli sayur dan buah organik. Dia menyesal membeli perlengkapan mandi lengkap. Dia bisa saja menggunakan sabun biasa.
“Kenapa aku bego kayak gini, sih? Seharusnya aku nggak heboh gini belanjanya. Masa iya aku nggak mikir kalau aku nggak punya uang lagi selain ini? Astaga! Bodohnya!” Dia menutup wajah dengan bantal duduk, menangis lagi di sana. Delilah berdiri dengan berpegang di punggungnya, menciumnya agar tidak menangis, persis seperti yang dia lakukan selama ini pada anak itu.
“Maafin Mommy, Sayang. Mommy nggak pintar-pintar. Mommy selalu bikin kesalahan yang sama, selalu terjebak masalah yang sama. Ya, ampun. Apa Mommy ini pantas punya anak? Apa Mommy seharusnya dengar kata Nenek aja?”
Sebelum dia menikah dengan Oliver, ibunya memang sudah berkali-kali memperingatkan tentang sifatnya yang sering kali impulsif. Kepanikan yang melandanya membuatnya berusaha berpikir cepat untuk menyelesaikan masalah tanpa memperhitungkan aspek lain yang lebih penting.
“Jangankan untuk urusan jodoh, Vy. Untuk urusan sekolah aja kamu mikirnya cuma jarak sejengkal. Kamu nggak mikirin gimana ke depannya. Ingat gimana kamu bingung sama jurusan, terus milih jurusan yang dipilih sama temanmu cuma biar kamu nggak sendirian di kampus? Jadi apa kamu sekarang? Nggak jadi apa-apa. Kamu nggak mikir kalau kamu nggak suka sama jurusan itu. Yang kamu pikirkan cuma temanmu. Pas kuliah, temanmu malah bunting sama pacarnya. Kamu ditinggal. Kamu sendirian. Coba sekarang kamu pikirkan!” Ibunya terengah setelah mengomel sepanjang sore itu, tepat setelah Ivy menjelaskan tentang Oliver yang akan datang ke Indonesia.
“Bu, aku … sudah kenal Oliver setahun. Aku … merasa dia yang kenal banget sama aku dan dia mungkin bisa bikin aku jadi lebih baik. Dia mau masuk Islam. Dia mau tinggal di sini selama proses adaptasi. Dia mau nyebrang lautan cuma buat aku, Bu. Apa ini nggak cukup membuktikan ke Ibu kalau dia cinta aku?”
“Heh! Kamu lihat bapakmu? Dia itu dulu sampai rela digebuki Mbah Kakung demi Ibu. Dia rela ninggalin keluarganya demi Ibu. Dia rela kerja pagi di pabrik, terus malamnya masih jadi wakar* demi Ibu sama kamu. Sekarang jadi apa? Tetap aja bapakmu gendakan sama Dinar itu.” Ibunya memajukan tubuh, menunjuk-nunjuk ke arah luar untuk menunjukkan rumah Dinar, istri kedua ayah Ivy yang tinggal di RT sebelah. “Kita nggak makan cinta, Nak. Kita nggak bisa bahagia karena cinta. Mata uang di sini bukan cinta. Yang namanya cinta itu bisa hilang kalau hati sudah dikerubuti bosan. Mata laki-laki itu organ yang langsung ke hati. Kalau matanya sudah lihat yang lebih cantik, cinta ke kamu bakal hilang.”
Ivy menggeleng. “Jangan samakan semua laki-laki dengan Bapak, Bu. Bapak itu memang keterlaluan. Fern itu juga laki-laki, Bu. Masa Ibu mikir Fern bakal kayak Bapak?”
Perempuan itu memajukan lagi tubuhnya, mengimbangi Ivy yang duduk di lantai. “Fernanda itu anakku, Vy. Beda lagi. Dari kecil Fern sudah kudidik untuk jadi laki-laki yang hatinya baik. Kalau dia macam-macam, aku yang pertama kali mukul dia. Nggak usah orang lain. Aku yang hukum dia.”
“Terus, aku nikah sama siapa, Bu? Apa Ibu nggak lihat, aku sudah sering ditanya kapan nikah sama saudara-saudara Ibu? Sepupuku yang seumuran aku semua sudah nikah.”
“Kamu mau kayak mereka? Iya?” Ibu itu berkacak pinggang sekarang. “Heh, tak bilangi kamu, Nak. Adisty, Rukmi, Gianti, Luneta, sama siapa lagi itu anak-anaknya Budemu. Mereka semua itu nggak ada yang kuliah. Mereka habis sekolah langsung kerja. Habis itu gatel pengin nikah. Kamu itu Ibu didik biar punya pekerjaan yang lebih bagus, nggak cuma di pabrik rokok aja. Harus ada yang sukses di keluarga kita, Ivy. Lihat Ibu! Kalau Ibu nggak niat sekolah lagi dulu, apa mungkin Ibu sekarang bisa kerja di bank? Apa mungkin Ibu bisa menghidupi kamu setelah bapakmu itu ngawinin Dinar? Apa Ibu bisa dengan gagah ngetawain bapakmu waktu nyari pinjaman buat biaya melahirkan Dinar?”
Ivy hanya mendengarkan saja. Bagian-bagian ini tidak pernah dikatakan ibunya. Yang ada di matanya hanya ibunya terlalu sibuk dengan pekerjaan sampai hampir tidak pernah ada di rumah untuknya dan Fern. Sebagai gantinya, mereka memiliki uang yang sangat banyak. Ibunya yang sangat disiplin dalam memegang keuangan juga bisa membeli banyak barang yang tidak bisa dibeli oleh ayahnya dulu.
“Nak, Ibu bilang sama kamu. Biar kamu ini perempuan, kamu tetap harus hebat. Kita nggak tahu apa yang terjadi nanti. Jangan jadi orang miskin, Nak. Nggak enak. Ibu sudah ngerasain jadi orang miskin. Sakit. Waktu bapakmu pergi, apa dia ninggalin uang buat kita? Nggak. Kamu sakit demam berdarah aja bapakmu itu nggak mau tahu. Ibu yang gendong kamu ke sana-sini buat nyari pinjaman. Kamu ditolak rumah sakit karena kita miskin. Ibu sampai jual lemari, tempat tidur, semua Ibu jual demi kamu. Begitu kita kaya, lihat, siapa yang nggak mau jilat kaki Ibu, Nak? Bude-Budemu itu semuanya ke sini minta tolong. Mereka nggak ingat dulu mereka nggak pernah ada untuk kita. Kamu mau mengulang lagi kemiskinan Ibu dulu?”
Ivy teringat nasihat ibunya | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Oliver bukan orang miskin, Bu. Aku nggak bakal kekurangan kalau sama dia. Lihat, Ke Indonesia aja dia bisa tanpa mikir panjang. Dia langsung mengurus visa dan ke sini. Dia nggak perlu mikir dua kali untuk beli tiket.”
“Ibu nggak ngomongin Oliver. Ibu ngomongin kamu. Kamu itu miskin. Kamu itu nggak punya apa-apa. Kalau kamu nanti jadi istrinya Oliver, hidupmu dijatah. Kalau Oliver orangnya royal, kamu enak. Kalau Oliver orangnya pelit, sekaya apa pun dia, kamu tetap miskin. Kamu tetap kere. Kamu tetap hidup dalam belas kasihan dia.”
“Terus aku harus gimana?”
“Pikirkan lagi. Kenali lagi siapa Oliver itu. Nggak usah lihat bulenya. Nggak usah lihat nama belakang atau apalah tadi kamu bilang. Lihat Olivernya. Kalau dia memang jodohmu, dia nggak bakalan ke mana-mana, Nak. Kalian bakal dipertemukan lagi. Tanya sama dia gimana orangtuanya, gimana hubungannya sama orangtuanya nanti.”
“Dia nggak pernah nanya gimana orangtuaku, Bu. Dia nggak peduli gimana berantakannya keluarga ini.”
“Nggak perlu, Nak. Laki-laki itu jarang yang peduli sama keluarga istri. Bagi mereka, nikah itu mengambil anak perempuan dari keluarga lain untuk dimasukkan ke keluarganya sendiri. Yang penting itu kamu karena kamu yang masuk ke keluarganya. Kenali mertuamu. Jangan sampai kamu nanti sengsara sama mertua. Aduh, Nak. Kamu sama sekali nggak tahu urusan pernikahan, berani betul kamu nikah. Apa selama ini kamu nggak lihat gimana Ibu nangis siang malam? Apa kamu nggak lihat gimana temanmu yang hamil duluan itu? Dia nikah sama pacarnya yang nggak siap nikah itu kamu nggak lihat? Ya, Allah, Nak … temanmu itu aja habis setiap hari dipukuli suaminya. Kamu mau kayak gitu?”
“Ibu kenapa doain yang kayak gitu? Ibu harusnya ngomong yang bagus-bagus aja ke aku.”
“Ibu nggak doain. Ibu ini bukakan matamu, Vy. Kamu ini lagi kasmaran, mabuk cinta. Di matamu semua tentang Oliver itu indah. Di matamu semua yang bertentangan sama kamu itu jahat. Ibu juga gitu dulu. Ibu nggak mau dengerin katanya orang-orang tua. Ibu nggak mau mikir macam-macam lagi. Ibu cuma mau nikah. Sebulan pertama indah, kelon terus. Enam bulan terasa berubah. Satu tahun rasanya Ibu pengin bunuh orang. Begitu lima tahun, bapakmu itu memutuskan nikah lagi, Ibu sudah kebal.” Perempuan itu menepuk dadanya. “Di sini sudah nggak ada cinta lagi. Di dalam sini yang ada cuma gimana kamu sama Fern bisa hidup enak. Ibu mau buktikan sama bapakmu itu kalau tanpa dia Ibu bisa berdiri di kaki sendiri. Lihat, apa berani dia menceraikan Ibu? Apa berani dia jauh dari Ibu? Jangan berani melawan perempuan yang hatinya sudah diinjak-injak. Perempuan kalau sudah nggak pakai hati lagi, jangankan dia, keluarganya semua Ibu lawan. Kamu tahu, dulu mereka mau bawa kamu karena mereka pikir Ibu nggak bisa ngasuh kamu. Ibu bawakan pisau. Kalau sampai mereka berani bawa kamu, Ibu rela mati.”
Ivy menunduk, merasa malu karena di matanya ibunya sangat berlebihan.
“Nggak ada yang berani ambil kamu dari Ibu,” kata perempuan itu lagi sambil menghapus air matanya. “Ibu pengin membesarkan kalian dengan tangan Ibu sendiri biar nanti waktu ditanya Allah di hari kiamat, Ibu punya jawaban, Nak. Ibu bisa jawab kalau Ibu tetap berjuang membesarkan kamu sekalipun ditelantarkan sama si Halim itu. Ibu mau kalian jadi orang benar, bukan kayak gini, Vy. Ibu membesarkan kamu sampai jungkir balik bukan buat dibawa sama bule ke negara yang jauh. Kalau kamu ada apa-apa nanti di sana Ibu bisa apa?”
Ivy merangkak sampai dekat pada ibunya. Dengan erat, dia memeluk pangkuan ibunya. “Bu, jangan mikir ke situ. Aku ini mau bahagia. Aku ini mau berbuat baik, bukan mau tidur sama laki-laki kayak sepupu-sepupuku itu, Bu. Tolong, restui aku. Oliver anak baik. Dia bakal jaga aku, Bu.”
Perempuan itu hanya menarik napas dalam-dalam. Dia tahu benar bagaimana anaknya. Dia mengerti sekali bagaimana rasanya jatuh cinta. Saat ini, tidak ada satu nasihat pun yang bisa menembus batin anaknya. Yang bisa dia lakukan hanya memeluk anak gadisnya itu sambil mendoakan kebaikannya. Hanya itu.
Ayah Ivy juga memberi nasihat padanya agar memikirkan lagi lamaran Oliver. Ayah Ivy juga berharap Ivy bisa bekerja setelah kuliah. Paling tidak, Ivy memiliki pengalaman masuk ke dunia kerja. “Sebagai perempuan, kamu harus punya pegangan. Kalau misalkan nanti suamimu nggak mau kamu bekerja, kamu tetap harus punya sesuatu untuk pegangan, entah itu modal atau apa. Ini biar kamu siap kalau ditinggal mati atau hidup. Kamu harus siap jadi parasut buat suamimu.”
Sayangnya, Kepala Ivy memang dari batu cadas yang sangat kuat. Saat itu tidak ada yang bisa membuatnya mengurungkan niatnya itu. Saat melihat oliver mengetuk pintu rumahnya, Ivy langsung berkata, “Yes, I do.” tanpa memikirkan apa pun lagi. Hanya berselang tiga tahun lebih saja sejak pernikahan itu, Ivy seperti melihat semua kata-kata ibunya menjadi kenyataan. Kini, dia duduk di depan jendela besar apartemen yang ditempati karena belas kasihan orang lain.
“Aku sudah nggak beda sama pengemis. Aku hidup dari belas kasihan orang karena suami yang sudah nggak peduli lagi. Sekarang, nasibku ada di tangan Ben. Kalau dia mau, hari ini juga aku bakal dideportasi atau malah dipenjara,” kata Ivy sambil menyusui Delilah. Di depannya matahari senja sudah lama menghilang di balik dinding-dinding kaca.
Matahari di New York memang cepat sekali terbenam dan lambat sekali terbit, bukan karena New York berada di planet yang berbeda dengan Jakarta, tapi karena gedung-gedung besar yang menghalangi pandangan dari matahari.
Ivy termenung memandangi langit New York | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Oliver pernah berkata, bagi sebagian orang, New York memang cepat sekali menenggelamkan mimpi dan menghancurkan harapan. Kota besar ini tidak punya ampun, menggilas siapa saja yang datang tanpa hati kuat dan impian yang besar, sama seperti dirinya kini.
-Bersambung-
*wakar: penjaga malam di pabrik atau instansi pemerintah
Penulis yang telah menghasilkan lebih dari 30 judul karya ini masih berusaha menjadi orang baik. Kalau bertemu dengannya di media sosial, jangan lupa tepuk bahunya dan ingatkan kalau dia juga butuh pelukan.