Ephemeral chapter 4 by Honey Dee | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Tanpa identitas dan dokumen resmi, Ivy kesulitan membuktikan bahwa Delilah memang putrinya. Apalagi secara fisik Delilah memang cenderung lebih mirip Oliver. Namun, Ivy juga tak mungkin menceritakan alasan mereka tidak punya tempat tinggal. Akankah pria bernama Ben ini membawanya ke polisi?
***
“Semuanya selesai,” kata Ben saat masuk ke ruang perawatan Ivy. Dia membawakan tongkat untuk Ivy seperti yang telah dijanjikannya dan balon untuk Delilah. Anak itu menyambut Ben dengan senang. Dia mengangkat tangan, tertawa keras untuk mendapatkan balon itu, Namun, Ben tidak memberikannya begitu saja. Dia berkata pada gadis kecil itu, “Balon. Katakan, balon.”
Delilah menatap Ben dengan tatapan kesal karena tidak bisa segera mendapatkan yang diinginkannya. Sayangnya, dia mengajak berdebat orang yang salah. Ben berkeras. Dia memaksa Delilah menyebutkan “balon” sebelum mendapatkan keinginannya.
“Ba-yon,” kata Delilah pada akhirnya setelah beberapa kali percobaa.
Ben tertawa dan mengangkat anak itu. Dengan lengannya yang besar dan kuat, Ben melambungkan Delilah ke atas, lalu menangkap gadis kecil itu lagi sambil memberinya pujian. Tentu saja anak itu jadi kegirangan. Dia meminta Ben melakukannya lagi. Walau dengan bahasa terbata, dia bisa mengatakan yang diinginkannya.
Pemandangan ini membuat Ivy tersentuh. Dia tidak pernah melihat suaminya sedekat ini dengan anaknya. Suaminya itu memang tidak bisa banyak bicara atau ceria. Oliver selalu terlihat seperti orang yang memiliki beban. Dia nyaris tidak banyak bicara, apalagi sejak sampai di New York. Hal ini sangat berpengaruh terhadap hubungannya dengan Delilah. Gadis kecil itu tidak pernah mendapatkan perlakuan akrab seperti layaknya anak-anak lainnya.
Sering Ivy ingin bertanya pada Oliver kenapa dia tidak bisa akrab dengan anak kandungnya sendiri, tapi Ivy merasa tidak enak. Dia berpikir mungkin memang begitulah orang Amerika. Mungkin, memang begitulah cara mereka dibesarkan. Kini, melihat Ben bisa memperlakukan Delilah yang bukan anaknya dengan baik seperti ini, membuat Ivy merasa cemburu. Dia ingin Delilah mendapatkan keramahan ini dari ayah kandungnya. Memangnya, ibu mana yang tidak menginginkannya?
“Terima kasih,” kata Ivy pada Ben yang telah meletakkan Delilah ke lantai lagi. “Maaf. Aku mungkin tidak akan bisa membayar semua ini. Uang yang kubawa tidak akan cukup. Jika aku bekerja, mungkin aku bisa mencicilnya.”
“Hei, aku tidak meminta bayaran.” Ben tersenyum lebar. “Apa kamu suka kopi? Aku membeli kopi dalam perjalanan ke sini. Aku tidak tahu bagaimana kesukaanmu. Aku … memberikan espresso.” Dia melihat Ivy dengan malu-malu seperti anak yang baru melakukan hal salah.
“Terima kasih. Aku … tidak selalu minum kopi, tapi aku juga tidak menolak kopi. Ayahku suka kopi.”
“Oh, ya? Ayahmu tinggal di New York juga?”
Ivy akan menjawabnya, tapi dia menutup mulut lagi. Memberikan terlalu banyak informasi pada orang asing akan sangat buruk baginya.
Sebenarnya di dalam hatinya kini ada kegalauan. Ben ini benar-benar asing. Ivy tidak mengenal lelaki itu sama sekali. Kenapa dia begitu baik? Kenapa Ivy bisa percaya? Tiga hari selama dia berada di rumah sakit ini memang Ben selalu memberikan perlakuan yang baik. Ben membelikannya dan Delilah makanan, membawakan pakaian kotor Delilah ke laundry, dan membawakannya pakaian anak-anak yang disebutnya milik kenalannya. Ben sama sekali tidak terlihat kalau dia orang jahat. Kalau memang dia jahat, pasti dia menunjukkan gelagat aneh. Lagipula, tidak mungkin orang jahat tahu bagaimana cara berkomunikasi dengan Delilah yang mengalami keterlambatan bicara.
Saat ini saja Ben tertawa saat Delilah menyuapinya dengan sup yang diberikannya. “Jangan berikan padaku. Sendokmu hanya milikmu, Lila. Kamu tidak boleh memasukkan sendokmu ke mulut orang lain. Sendok itu akan kotor. Ya, tidak boleh. Tidak boleh menyuapiku. Kamu mau aku yang melakukannya? Oke. Aku akan melakukannya.”
Ben menyuapi Delilah | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Delilah menunjuk Ben. “Daddah. Daddah.”
“Bukan,” kata Ben sambil tersenyum lebar. “Aku bukan Daddy. Aku Ben. Aku temanmu.”
Delilah tidak memedulikannya. Dia tetap memanggil Ben “Daddah” sambil terus menyuapkan sup ke mulutnya sendiri.
“Maaf. Dia baru bisa mengucapkan ‘daddah’,” kata Ivy dengan malu-malu. Dia berusaha berdiri. Ben buru-buru memberikan tongkat itu padanya. “Terima kasih,” kata Ivy agak malu saat tangannya dipegang orang asing.
Tidak pernah ada orang yang pernah menyentuhnya selain Oliver. Pendidikan keras dari ibunya membuat Ivy benar-benar menjaga diri. Oliver saja terkejut saat tahu dia menjadi yang pertama bagi Ivy.
“Di kantong ini ada pakaian kalian yang sudah bersih. Kuharap kalian bisa sudah siap pulang. Ke mana aku harus mengantar kalian?” tanya Ben sambil membersihkan bekas makanan di mulut Delilah dengan tisu.
“Apa kamu tahu penginapan murah di sekitar sini? Kalau bukan di sekitar sini juga tidak apa-apa. Aku akan ke sana. Jujur saja, aku tidak tahu daerah lain di New York. Aku pernah membaca petanya tentang Lower Side atau China Town atau Tribeca. Tapi, aku tidak tahu apa-apa tentang tempat itu. Kami sampai di JFK, lalu melewati Queens, dan akhirnya sampai di Manhattan. Uhm … hanya itu yang kuketahui. Mungkin, jika kamu tidak keberatan, kamu bisa mengantarku ke … daerah yang lebih murah.”
Ben ternganga sejak kalimat pertama Ivy meluncur. Dia memang tidak mengenal sama sekali perempuan Indonesia yang ada di depannya ini. Perempuan itu tanpa identitas dan tidak memiliki uang yang cukup untuk disebut wisatawan. Anehnya, dia memiliki barang-barang mahal. Pakaiannya, walau sedikit, semuanya dari merek ternama. Anaknya juga terlihat sehat. Tidak mungkin dia imigran gelap yang hidup nomaden demi menghindari petugas imigrasi. Sudah tiga hari ini Ben ingin bertanya pada Ivy, tapi khawatir mengganggu emosi Ivy yang masih syok.
“Kalian tidak punya rumah?”
Satu pertanyaan Ben yang membuatnya sangat sulit membuka mulut. Ivy yakin Ben akan mengembalikannya pada Oliver atau membawanya ke kantor keimigrasian. Ben akan berurusan dengan polisi jika menahannya lebih lama. Dia yakin benar Ben tidak akan mau berurusan dengan polisi karena perempuan asing. Jadi, yang Ivy lakukan hanya menggeleng saja.
Tentu saja ini membuat Ben jadi makin bingung. Dia melihat Delilah yang bersendawa setelah menghabiskan semangkuk sup jagung dengan roti panggang.
“Ivy.” Ben mengambil posisi duduk di dekat tempat duduk Ivy. “Dengar, aku ingin membantumu. Untuk bisa melakukannya, aku butuh informasi darimu. Jika kamu memang ingin tempat tinggal, aku akan mencarikan. Aku punya cukup banyak teman di sini. Kupikir, salah satu temanku bisa membantumu.”
“Ti-tidak. Kurasa tidak. Aku … tidak ingin merepotkan banyak orang.”
“Aku tidak merasa direpotkan sama sekali. Kalau kamu mau, aku bisa membawamu ke mana pun yang kamu mau. Tapi, aku perlu tahu dulu siapa kamu. Apa Delilah sungguh anakmu?”
“Kamu pikir dia anak siapa? Aku yang melahirkan Delilah.”
“Maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku hanya ingin tahu. Sungguh. Kamu tidak membawa dokumen. Kamu tidak ingin diantar ke rumah. Kamu juga tidak bisa membuktikan apa pun kalau Delilah anakmu. Polisi bisa menangkapmu segera kalau tahu kondisimu saat ini.”
Ivy menggigit bibir. Ben memang benar, tapi dia tidak ingin mengatakan apa pun.
“Delilah anakku. Dia … masih minum ASI. Seorang yang mengerti tentang kesehatan ibu dan anak pasti mengerti ini.” Ini bukti yang sangat lemah. Keluarnya ASI dari payudara Ivy sama sekali tidak menunjukkan kalau Delilah anaknya. Bisa saja dia kehilangan anak dan mengambil Delilah dari orang lain. Gadis itu memiliki rambut cokelat dan mata cokelat Oliver, berbeda dengan matanya yang hitam.
Ben tersenyum canggung. Dia baru akan membantah bukti yang diajukan Ivy saat ponselnya berbunyi. Ben mengangkat telepon itu setelah melihat nama Zeus Rockwood di layarnya. Dia mengacungkan jari pada Ivy dan berkata, “Sebentar. Bosku menelepon.” Dia meninggalkan Ivy yang sibuk merancang alasan di dalam kepalanya.
Ivy berpikir keras saat Ben tengah menerima telepon | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Ivy mencoba merancang cerita yang mungkin bisa membuatnya selamat dari keimigrasian. Namun, semua cerita fiktif di dalam kepalanya tidak bisa membuat dirinya sendiri yakin. Sudah pasti Ben juga tidak bisa diyakinkan. Ben pasti bukan orang sembarangan. Dia memakai setelan bermerek. Sepatunya juga bagus. Ivy memang tidak banyak tahu tentang merek terkenal, tapi suaminya yang fashionable memberi penjelasan tentang beberapa merek pakaian yang dia suka. Simbol-simbol dalam mereka itu memberikan prestise tersendiri bagi penggunanya. Tidak mungkin Ben orang sembarangan.
Dari banyak film dan acara televisi yang pernah Ivy tonton, dia menggarisbawahi kalau dia tidak boleh sembarang berurusan dengan orang seperti Ben. Mereka bisa membayar pengacara mahal dan mungkin membayar polisi untuk menuntut Ivy untuk kesalahan apa pun.
“Aku minta maaf, Ivy,” kata Ben saat kembali ke ruangan itu. “Aku harus pergi. Ada beberapa rapat yang harus kuhadiri. Mereka akan melakukan ekspansi Rockwood Tower dan aku harus ada di sana untuk melakukan tugasku.”
“Apa tugasmu?”
Pertanyaan ini meluncur begitu saja dari mulut Ivy karena keingintahuannya. Karena dia merasa pertanyaan ini terlalu lancang, dia minta maaf. Dia merasa tidak nyaman, sangat tidak nyaman.
Ekspresi Ivy yang merasa tidak nyaman inilah yang membuat Ben tersenyum. “Aku arsitek. Aku yang merancang Rockwood Tower.”
“Tidak mungkin.” Ah, lagi-lagi Ivy tidak bisa menjaga mulutnya. “Maaf,” katanya buru-buru.
Ben tertawa pelan. “Aku tahu ini tidak mungkin. Kamu pasti mengira arsitek yang merancang gedung hitam paling artistik di New York yang mendapatkan banyak penghargaan itu seorang arsitek yang sudah tua dan memiliki jam terbang tinggi, ‘kan?”
Ivy mengangguk, benar-benar tidak bisa menahan diri. Entah bagian mana dari Ben yang membuatnya merasa bebas menyatakan pendapatnya, berbeda dengan saat dia bersama Oliver. Dia selalu merasa kaku, selalu merasa takut salah, takut kehilangan.
Lelaki itu duduk di dekat Ivy dan mengulurkan botol air mineral. “Sebenarnya, aku merancang gedung itu sejak aku masih kecil. Aku ingin sekali membangun gedung yang seluruhnya berwarna hitam dengan rangka emas yang megah. Saat itu aku memikirkan gedung pasukan kegelapan dari dunia khayalanku. Semakin besar, aku belajar arsitektur dari pamanku. Dia mengajarkanku merealisasikan khayalan itu pada cetak biru. Saat aku berusia sembilan belas tahun, Zeus Rockwood membuat sayembara untuk membuat desain Rockwood Tower dengan hadiah yang sangat besar. Aku memberikannya desain ciptaanku dan dia benar-benar tertarik. Dia ingin membuat gedung itu dengan sedikit perubahan. Menurutnya, gedung itu benar-benar membuat citra Rockwood semakin bersinar. Di sinilah aku, menjadi kesayangan Zeus Rockwood sampai sempat dijodohkan dengan putrinya. Untung saja Venus Rockwood lebih cerdas. Dia memilih lelaki yang jauh lebih baik.”
Sekalipun cerita itu terdengar menyedihkan, Ben tertawa. Ini membuat Ivy bertanya, “Kamu sedih?”
“Karena Venus memilih Abe Black?”
Ivy bingung. Dia tidak tahu siapa Venus dan siapa Abe Black. Dia hanya mengangguk saja.
“Tidak. Tentu tidak. Aku tidak akan bisa menyamai Venus Rockwood. Dia jauh sekali dari jangkauanku,” katanya sambil tertawa renyah. “Kami hanya teman dan itu sudah cukup.”
‘Dia terlalu merendah,’ batin Ivy yang sebenarnya mengakui ketampanan Ben. Lelaki itu memiliki fitur wajah kebapakan yang menarik. Berewoknya rapi, sama seperti pakaiannya. Caranya berbicara juga terstruktur dan bagus. Dia duduk dengan cara yang baik dan mempersilakan Ivy melakukan semuanya lebih dulu, baru dia mengikutinya. Apa ada dari diri Ben Wright yang menunjukkan kalau dia buruk?
“Jadi, sampai sekarang kamu bekerja sebagai arsitek?” tanya Ivy setelah mereka lama diam.
“Ya. Aku harus berdiskusi dengan tim engineer untuk pembangunan gedung itu. Zeus ingin meninggikan lagi gedung itu dan membangun penthouse yang indah di atas. Adam yang manja itu ingin tinggal di sarang yang tinggi. Kamu sudah pernah melihat Adam Rockwood. Dia yang kamu temui saat akan masuk ke lift. Ingat?”
Ivy mengangguk. “Maaf. Aku … terkena serangan panik saat itu. Aku tidak bisa mengingat apa pun. Saat kepanikan itu melanda, aku sangat ingin melompat atau berlari atau … mati.”
Ben tertegun. Dia tidak tahu bagaimana bisa ada orang yang berbeda, tapi mengatakan hal sama. Dia melihat Ivy lama-lama untuk melihat kesamaan wajah perempuan itu dengan wajah di dalam benaknya. Tidak ada. Tentu saja tidak ada. Ivy terlalu berbeda. Sifat mereka berbeda. Tingkah mereka berbeda.
Lelaki itu menelan ludah dengan susah payah.
“Well,” katanya membuang rasa tidak nyaman yang perlahan naik merusak pikirannya. “Apa kamu memang tidak punya tempat untuk pulang?”
Sebelum Ivy menjawab, Ben melanjutkan lagi. “Aku punya loft yang diberikan oleh salah satu klien sebagai hadiah ulang tahun. Letaknya tidak jauh dari Fifth Avenue. Aku bisa mengunjungimu kalau kamu membutuhkan bantuan. Kamu bisa kuantar ke sana dulu untuk sementara waktu sampai kamu memutuskan harus pulang ke mana.”
“Kamu sebaiknya tidak boleh terlalu baik pada orang yang baru kamu kenal. Aku bisa saja mencuri barang-barangmu.”
Dia tersenyum. “Aku tidak memikirkanmu. Perempuan secantik kamu bisa mendapatkan tempat di mana pun di New York ini kalau kamu tahu caranya bermain. Aku memikirkan Delilah. Kalau kamu perempuan yang jahat, tentu kamu tidak akan panik menyelamatkan Delilah. Dia butuh tempat yang nyaman untuk tidur,” kata Ben sambil berdiri dan mengangkat Delilah dari tempat duduknya. “Berkemaslah! Kita akan segera pergi.”
Ben mengajak Delilah ke luar ruangan untuk memberikan Ivy privasi. Ini benar-benar di luar perkiraan Ivy. Dia merasa sedang memanfaatkan kebaikan orang lain.
“Nggak. Aku butuh ini. Aku butuh bantuannya. Mungkin, nanti aku bisa minta kerjaan yang nggak butuh green card atau dokumen lainnya. Aku bisa bayar semua bantuan dia,” bisik Ivy pada diri sendiri.
Ivy membereskan pakaian dan barang apa pun yang terlihat di kamar itu, lalu berganti pakaian. Pinggangnya masih sakit sekali. Dia tidak bisa berdiri lama untuk melakukan banyak hal. Tongkat yang diberikan oleh Ben tidak banyak membantu. Dia harus duduk atau berbaring setelah lima sampai tujuh menit berdiri. Baru setengah jam dia bisa menyelesaikan semuanya. Kemudian, dia duduk di sofa, memandangi ponselnya yang mati. Dia sempat berpikir untuk menghubungi Oliver. Namun, sesuatu di dalam hatinya berkata, “Dia nggak bakalan ingat kamu. Dia mungkin lagi senang-senang sendiri tanpa kalian. Ini kotanya. Dia bisa melakukan apa saja di sini.”
Matanya memejam, meneteskan kesedihan pertama setelah berhari-hari dia mencoba beristirahat di rumah sakit ini. Lalu, dia melepaskan baterai dan kartu SIM ponsel itu. Dia membungkus ponsel itu dengan kertas memo rumah sakit dan menyimpannya di dasar tas.
Ben mengetuk pintu tiga kali, lalu masuk setelah Ivy mempersilakan. Senyum lebar lelaki itu dan pipi merah Delilah yang menunjukkan kebahagiaan merupakan pertanda bagi Ivy kalau dia sudah tidak membutuhkan Oliver lagi. Dia bisa memulai hidup barunya sendiri di sini.
Penulis yang telah menghasilkan lebih dari 30 judul karya ini masih berusaha menjadi orang baik. Kalau bertemu dengannya di media sosial, jangan lupa tepuk bahunya dan ingatkan kalau dia juga butuh pelukan.