Ephemeral chapter 13 vy Honey Dee | Ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Kisah cinta Ben di masa lalu bukanlah romansa yang indah. Sakitnya meninggalkan bekas dan kehadiran Ivy perlahan-lahan menyembuhkannya. Namun, saat Ivy sudah membuat pilihan, bagaimana Ben bisa benar-benar melepaskan harapan yang baru saja ia dapatkan?
***
“Apa kamu pernah melihat Manhattanhenge?” tanya Ben saat mereka ada di lift. Ivy meletakkan Delilah agar gadis kecil itu bisa bermain dengan bayangannya di cermin dinding lift itu.
“Tidak. Aku pernah membacanya, tapi belum pernah melihatnya. Matahari, bukan?”
“Ya.” Ben melihat jam tangannya sebentar, lalu melihat pada Ivy lagi. “Manhattanhenge atau titik balik matahari Manhattan merupakan fenomena alam yang sangat ditunggu di kota ini. Sebenarnya, peristiwa itu bukan peristiwa yang sangat istimewa, tapi menarik sekali.”
Sepasang suami istri tua masuk di lantai delapan. Ben memberi mereka ruang di depannya.
“Istilah Manhattanhenge pertama kali disebutkan oleh Neil deGrasse Tyson untuk menyebut matahari yang nampak indah pada saat terbenam dan terbit. Peristiwa ini hanya terjadi dua kali dalam satu tahun karena pada titik ini, matahari tepat berada pada sela bangunan Wall Street. Pada musim panas seperti ini, manhattanhenge akan terlihat saat matahari terbenam dan matahari terbit pada musim dingin. Biasanya, orang-orang akan berdiri di jalanan untuk melihatnya. Sepertinya, kamu beruntung. Hari ini harinya. Tunggu saja pada pukul delapan. Pemandangannya akan indah sekali.”
“Kamu suka juga melihatnya?”
“Tentu saja. Kapan lagi kita bisa menikmati keindahan tanpa keluar dari New York, apalagi untuk peristiwa yang hanya terjadi dua kali dalam satu tahun. Siapa yang tidak memburunya?”
Lelaki tua di depan mereka berbalik. “Tidak, Nak. Keindahan itu ada di mana pun, bahkan di dalam rumahmu sendiri jika kamu benar-benar ingin melihatnya. Sayangnya, anak-anak muda lebih suka membayangkan keindahan yang jauh sekali. Mereka memikirkan keindahan yang mahal dan tidak bisa mereka miliki. Mereka mengejarnya sampai melupakan keindahan yang ada di sampingnya.”
Perempuan tua di samping lelaki itu tersenyum lebar. “Suatu saat kalian akan mengerti kalau ada banyak sekali yang bisa kalian nikmati dari hidup.”
Ben dan Ivy saling menatap, lalu tersenyum. Dalam hati, mereka membenarkan ucapan pasangan tua itu.
“Kamu mengejar hal yang terlalu jauh, Ben. Kamu melihat terlalu jauh. Kamu berusaha meraih hal yang tak terlihat dan melupakan semua yang ada di depanmu, semua yang seharusnya kamu lihat jelas,” ucap Sheila dulu padanya. Saat itu, Ben hanya menganggap Sheila perempuan berlebihan, paranoid dan menjengkelkan. Dia sampai merasa menyesal telah menikahi Sheila.
Segalanya buruk sejak tahun kedua pernikahannya. Sheila begitu menuntut. Saat karirnya sedang gemilang dan namanya sedang berada di tangga kesuksesan, Sheila menuntut hal yang paling tidak bisa diwujudkannya, kehadiran.
“Aku ingin kamu ada di sini, Ben. Aku ingin kamu benar-benar ada di sini bersamaku, bukan hanya pulang ke rumah yang berupa bangunan, melemparkan barang-barangmu, lalu makan dan tidur. Aku ingin kamu benar-benar ada untukku, Ben. Aku ingin kamu benar-benar menemaniku seperti dulu. Kamu bahkan tidak pernah lagi menciumku sebelum tidur,” kata perempuan itu sambil menangis keras, tersedu di antara kerapuhan hati perempuan hamil.
“Sheila, ini hanya sebentar. Aku hanya mendapatkan kesempatan. Aku tidak mungkin bisa menolak kesempatan ini. Bertahun-tahun aku berusaha mewujudkan impianku. Aku berusaha mendapatkan segalanya dengan usahaku sendiri, tanpa belas kasihan dari Zeus Rockwood seperti yang dikeluhkan ayahmu.”
“Jangan pedulikan ayahku, Ben. Ayahku hanya menginginkan pengakuan orang lain. Dia hanya ingin selalu menjadi yang terbaik di antara lingkungan pergaulannya. Ini bukan tentang ayahku. Yang menikahimu bukan ayahku. Kita hanya akan menemuinya saat Natal saja. Kita bisa menyembunyikan segalanya. Aku akan mengatakan apa pun yang kamu mau. Ayahku tidak penting, Ben. Aku istrimu. Kamu menikah denganku. Sekarang, aku kesepian. Aku sendirian. Aku melakukan segalanya sendiri. Aku hamil dan aku membutuhkanmu, Ben Wright. Aku membutuhkanmu.”
Ben menggeleng sedih saat itu. Kekecewaan yang besar menindih hatinya. “Katamu kita akan bersama dalam suka dan duka, ‘kan? Katamu kamu akan menemaniku dalam sakit dan senang, ‘kan? Aku hanya memintamu bersama, Sheila. Aku hanya ingin kamu mengerti. Hanya itu. Kenapa ini terlalu sulit bagimu?”
Kekecewaan inilah yang membuat Ben pergi malam itu. Dia merasa Sheila tidak lagi menjadi perempuan yang dicintainya. Sheila tidak lagi bisa mencintainya apa adanya, padahal sebelum menikah dia meminta Sheila menemaninya meraih mimpi.
Yang Ben tidak tahu, malam itu Sheila berbaring sambil menangis. Perempuan berambut cokelat terang itu benar-benar kesepian. Dia tidak lagi bisa berbicara dengan orang lain. Di tengah kepedihan yang menderanya, Sheila mengambil ponsel dan menekan nomor ponsel yang dulu pernah dia hafal, nomor mantan kekasihnya. Sheila menumpahkan segalanya pada lelaki yang masih sangat mencintainya itu. Keesokan harinya saat Ben mengatakan tidak akan pulang, Sheila mengundang lelaki itu ke rumah. Dia sudah bertekad bercinta dengan lelaki itu sampai dia bisa melupakan semua kepedihannya.
Sayangnya, Sheila melepaskan lelaki itu begitu bibir mereka bersentuhan.
“Aku tidak bisa. Maaf,” bisiknya dengan sedih yang begitu berat pada dadanya.
“Kamu membencinya, Sheila.”
“Tidak. Aku tidak pernah membencinya. Aku hanya kecewa padanya.”
Sejak itu, Sheila mencoba kembali bertahan. Dia membiasakan diri hidup sendiri. Ben berhasil meyakinkan dirinya kalau semua ini tidak akan lama. Ben pasti akan segera mencapai kesuksesan yang dia inginkan. Dia juga meyakinkan diri sendiri kalau Ben akan pulang padanya. Dengan keyakinan inilah dia mengurus semuanya sendiri hingga ia melahirkan anaknya di malam tahun baru sendiri.
Sayangnya, Ben tidak pernah benar-benar pulang. Dia tersenyum bahagia dan menciuminya pada malam kelahiran putri mereka. Ben membawakan perhiasan dan bunga untuk Sheila, tapi tidak pernah bertanya apa pun, bahkan nama anaknya.
Pemakluman demi pemakluman Sheila telan demi kedamaian rumah tangganya. Ben tidak berselingkuh. Ben hanya sedang memperjuangkan hidup mereka. Ben hanya ingin anak-anak mereka nanti tidak kelaparan dan bisa bersekolah di sekolah yang bagus. Inilah yang setiap hari dibisikkan Ben setiap pergi atau pulang bekerja.
“Aku melakukannya demi kita, Sayang. Demi kita semua,” ucap lelaki itu lembut di telinganya.
Namun, setelah begitu banyak kekecewaan dan rasa lelah karena telah memikul kesendirian, Sheila tidak lagi bisa mempertahankan keyakinannya ini.
“Ben, aku meninggalkan keluargaku untuk menikah denganmu. Maukah kamu, paling tidak memelukku di hari ulang tahunku besok? Pulanglah sebelum pukul dua belas malam. Aku tidak berharap banyak. Aku hanya ingin sebuah pelukan,” katanya pada kotak pesan karena ponsel suaminya tidak bisa dihubungi.
Di rumah, dia membuat pesta untuk dirinya sendiri bersama bayi yang baru dilahirkannya. Dia menunggu Ben hingga malam. Sampai akhirnya pukul sebelas malam Ben pulang dengan wajah ceria. Sheila pikir Ben tertawa karena senang akhirnya bisa datang tepat waktu. Ternyata, Ben malah berkata, “Kamu tahu apa, aku berhasil mendapatkan proyek besar yang kuinginkan selama ini. Proyek pembangunan laboratorium Newman. Ini bukan hanya tentang bayaran yang luar biasa, tetapi juga pelengkap keberhasilanku, Sheila.”
Perempuan itu berusaha untuk tersenyum.
“Kenapa?” tanya Ben lagi. “Apa ada yang salah?”
“Kamu membuka kotak pesanmu?”
Dari gelagat suaminya yang salah tingkah, tahulah dia kalau lelaki itu belum mendengar pesan apa pun.
“Lihat ini, Ben?” Sheila menunjuk kue kecil buatannya dengan lilin di atas kue itu.
“Aku … ini bukan hari ulang tahunku,” kata Ben bingung.
“Ben, dunia ini bulat. Di dalamnya ada miliaran manusia. Di Amerika ada tiga ratus juta jiwa manusia dan delapan juta lebih di New York. Semuanya manusia, Ben. Hidup ini bukan hanya tentang kamu. Ada orang lain yang lahir dan ingin hari kelahirannya diingat juga. Ada orang yang ingin suaminya memperhatikan momen paling berharga dalam hidupnya. Aku. Aku, Ben. Hanya aku. Aku orang yang melahirkan anakmu, keturunanmu. Aku orang yang membersihkan rumahmu. Aku orang yang menunggumu pulang untuk sekadar melakukan seks singkat, lalu tertidur. Aku yang sudah mengorbankan keluarga, karier, dan segalanya demi menikahimu. AKU, BEN WRIGHT. AKU, ISTRIMU.”
“Apa yang terjadi padamu, Sheila?”
“Apa yang terjadi padaku? KAMU BERTANYA APA YANG TERJADI PADAKU?”
“Santai, Sheila! Apa yang kamu pikirkan? Ini pukul sebelas malam.”
“AKU TIDAK PEDULI INI PUKUL BERAPA. AKU TIDAK PEDULI SIAPA YANG MENDENGARKU! AKU TIDAK PEDULI APA PUN, BEN! AKU HANYA PEDULI TENTANG SUAMIKU DAN TERNYATA TIDAK MENDAPATKAN APA-APA!”
Bayinya menangis karena terkejut. Sheila tidak memedulikan tangisan itu. Dia terlalu lelah menghadapi banyak hal, terutama hubungan yang amat menyesakkan dada ini. Meski begitu, entah kenapa dia tidak sanggup mengatakan kata perpisahan pada Ben. Dia ingin terus memendam harapan.
“Kenapa kita harus bertemu, Ben? Kenapa kita harus mencintai? Kenapa kita akhirnya kehilangan diri sendiri? Aku tidak tahu yang diinginkan Tuhan atas diriku. Aku sama sekali tidak mengerti,” kata Sheila sebelum memilih untuk memeluk anak bayinya yang sudah menangis sampai sesenggukan.
Malam itu, Ben benar-benar ingin melepaskan perempuan yang pernah sangat dicintainya itu. Dia berpikir mungkin memang sebaiknya di antara mereka tidak pernah ada hubungan. Namun, dia berpikir tentang alasan dia dulu berlutut di depan Sheila dan memintanya menikah. Dia pernah begitu mencintai istrinya. Dia ingat betapa bahagianya saat melihat Sheila di altar dengan pakaian serbaputih. Dia juga ingat betapa bahagianya Sheila dan dirinya saat pertama kali memasuki rumah yang dia buat dengan keringatnya sendiri.
“Apa yang salah? Apa yang membuat gadis semanis itu menjadi gadis yang begitu penuntut?”
Malam itu, Ben memutuskan untuk tetap tinggal. Sekalipun mereka berada di kamar terpisah, Ben ingin tetap ada di rumah itu untuk melihat apa sebenarnya yang membuatnya memutuskan menikahi Sheila. Saat pagi, dia melihat Sheila dan anaknya dengan bingung. Sheila yang semalam begitu menjengkelkan karena tingkahnya yang emosional, pagi itu terlihat begitu ceria bernyanyi bersama anaknya.
“Kamu tidak akan tahu rasanya jadi orangtua, Ben. Kamu harus menekan perasaanmu untuk memperlihatkan pada anakmu kalau dunia itu indah dan semua baik-baik saja sekalipun di dalam dirimu hancur berantakan,” jawab Sheila saat Ben bertanya kenapa dia terlihat berbeda dengan semalam.
Hari itu, Ben ingin mencoba menata semua. Ben ingin melihat rumah tangganya membaik seperti rumah tangga orang lain. Namun, maut datang untuk menghajarnya dengan kenyataan. Sheila benar, dia tidak akan tahu rasanya menjadi orangtua dan suami yang baik. Dua orang yang seharusnya menunjukkan hal itu padanya telah pergi jauh sekali. Yang membuat Ben menyesal, dia bahkan tidak pernah tahu nama putrinya. Dia tidak pernah ingat tanggal putrinya dilahirkan.
“Ayah macam apa kamu, Ben Wright. Laki-laki macam apa yang tidak tahu apa pun tentang keluarganya?” cecar ayah mertuanya, lelaki yang paling terluka saat itu. “Aku tidak melepaskan Sheila untukmu karena aku tahu kamu tidak akan bisa membahagiakannya. Ternyata benar, kamu hanya membuatnya terluka.”
Hari itu, Ben tidak merasakan luka yang dalam. Dia bahkan tidak menangis. Lalu, saat hari-hari berikutnya datang, lelaki itu merasakan kehampaan yang sangat. Rumahnya dingin. Rumah itu sudah bukan lagi rumah sejak Sheila tidak ada di sana. Ben mencari ke setiap sudut rumah dan tidak menemukan apa pun. Sheila memang tidak akan pernah kembali.
Orang-orang berkata Ben menghukum diri dengan melajang dan menyendiri selama bertahun-tahun. Ben menyebutnya sebagai kontemplasi. Dia pernah menyakiti seorang gadis yang amat dia cintai. Dia berpikir tidak mungkin bisa bersama gadis lain. Dia tidak mungkin bisa mencintai gadis lain.
Namun, pertemuannya dengan Ivy memberinya sesuatu yang berbeda. Dia melihat Oliver berlari memeluk Ivy dengan membawa sebuket besar mawar dengan senyum lebar. Dia seperti melihat dirinya sendiri memeluk Sheila dan memperbaiki semua, andai kecelakaan itu tidak pernah ada. Dia yakin jika itu terjadi dia akan memeluk anaknya dan bertanya banyak hal. Dia akan menyebutkan nama gadis kecilnya berkali-kali dan menciumi gadis itu seperti lelaki yang tergila-gila pada pujaan hatinya.
“Terima kasih, Tuan,” kata Oliver sambil menjabat tangannya. “Terima kasih telah menyelamatkan istri dan anakku.”
Ben memeluknya. “Jaga dia, Kawan. Kamu orang yang sangat beruntung.”
“Ya, pasti. Aku … mencintai mereka. Sungguh. Hanya Tuhan yang tahu betapa menyesalnya aku saat mereka pergi. Demi Tuhan itu tidak akan terjadi lagi. Astaga! Aku sangat berterima kasih padamu, Tuan.”
Ben mengerti tangis Oliver. Dia sangat mengerti ucapan terima kasih Oliver. Jika saat itu malaikat maut mau melepaskan Sheila, Ben pasti akan memeluk malaikat maut itu dan mengatakan hal yang sama.
“Terima kasih atas segalanya, Ben. Aku akan meminta Oliver untuk membayarmu,” kata Ivy saat memeluknya.
“Satu-satunya bayaran yang pantas untukku adalah kebahagiaanmu, Ivy. Berjanjilah untuk tidak lari lagi, apa pun yang terjadi. Kalian harus mengupayakan kebahagiaan kalian.”
“Aku akan mencoba,” kata Ivy sambil menyeka air matanya. “Aku akan selalu mengingat hari ini,” katanya lagi sebelum memeluk Ben dan menangis lagi.
“Aku tahu kenapa kita bertemu,” kata Ben pelan.
“Kenapa?” Ivy melihatnya bingung. “Agar kamu bisa mempertemukan kami dengan Oliver lagi?”
“Agar kamu membuatku percaya pada cinta lagi. Aku bisa mencintai seseorang tanpa melupakan masa lalu.”
Ivy melihat Ben lekat, mencoba mengartikan semuanya. Lalu, dia tersenyum dan mengangguk saat mengerti kalau Ben sudah mulai memiliki rasa padanya. Lelaki itu melepaskannya karena tahu dia masih mencintai suaminya.
“Kamu akan mendapatkan seseorang, Ben,” kata Ivy sambil mengulurkan tangan, menyalami Ben untuk yang terakhir kali.
Ben tersenyum. “Aku yakin begitu,” katanya dengan keyakinan yang dia pompakan pada diri sendiri.
Saat Ivy berjalan berpelukan dengan suaminya di trotoar, Ben merasa bukan hanya melepas teman baru, tapi juga Sheila. Dia merasa yang sedang dilihatnya menjauh bukan hanya keluarga Glass, tapi juga Sheila dan anaknya.
Ivy kembali bersama Oliver | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Matahari merah menyentuh bumi. Orang-orang menunjuk ke arah barat dengan wajah penuh kekaguman. Ben berbalik, melihat ke arah yang sama dengan orang-orang. Matahari senja New York yang sangat ditunggu telah datang. Matahari telah masuk pada tempat yang seharusnya, tepat berada di antara dinding tinggi gedung pencakar langit New York. Pantulan cahaya dari kaca-kaca gedung membuat kilauan yang menakjubkan, membuat wajah-wajah orang di depan kemegahan matahari itu ikut bersemu kemerahan.
Fenomena ini hanya fenomena matahari tenggelam biasa, sama dengan yang ada di belahan bumi mana pun. Hanya saja, matahari itu terbenam pada tempat dan waktu yang tepat sehingga membuatnya terlihat begitu menakjubkan.
“Bisakah sore ini kita melihat Manhattanhenge, Ben? Tidak akan lama. Mungkin hanya tiga puluh menit.”
Selalu permintaan ini yang datang ke kepala Ben, membuatnya merasa sangat menyesal. Hanya sebentar saja. Tiga puluh menit yang seharusnya bisa dia berikan pada Sheila untuk akhir hidupnya. Tiga puluh menit yang tidak akan pernah terjadi.
Sesuatu menabrak Ben. Lelaki itu terhuyung. Seorang gadis dengan sepatu roda menabraknya. Gadis pirang itu mengucapkan maaf berkali-kali.
“Aku tidak bisa menghentikan kakiku. Maafkan aku, Pak,” kata gadis yang mungkin masih duduk di bangku perkuliahan itu.
“Ya, tidak apa-apa. Aku baik-baik saja,” katanya yang sungguh tidak mempermasalahkan itu.
Gadis pirang itu berdiri lagi dan tersenyum padanya. Senyum gadis itu membuatnya tersenyum juga. Setelah gadis itu pergi, Ben melihat sesuatu yang berbeda dari dalam dirinya, harapan. Dia berpikir bisa memulai lagi segalanya. Dia mungkin bisa mencintai orang lain seperti yang dikatakannya pada Ivy.
“Ya, akan selalu ada kesempatan,” bisiknya pada diri sendiri.
Ben menatap Manhattanhenge | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Matahari merah bergulir turun. Kota besar itu berada dalam kegelapan hingga kemudian lampu-lampu menyala terang, saatnya manusia menghibur diri dengan gemerlap cahaya buatan agar tidak kesepian dalam kegelapan. Ben berbalik menuju mobilnya, kembali ke rumah yang dia buat untuk kekasihnya. Bedanya, kali Ben membawa kehangatan yang berbeda di dalam hatinya.
Penulis yang telah menghasilkan lebih dari 30 judul karya ini masih berusaha menjadi orang baik. Kalau bertemu dengannya di media sosial, jangan lupa tepuk bahunya dan ingatkan kalau dia juga butuh pelukan.