Ephemeral chapter 12 by Honey Dee | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Ivy menelepon ponsel Oliver, dan ia terkejut saat yang menjawabnya adalah seorang perempuan. Di mana Oliver dan siapa perempuan itu?
***
Saat pertama kali tahu kalau suaminya menikah lagi, ibunya histeris. Sekalipun berusaha untuk tetap tenang di depan orang lain, perempuan itu histeris sendiri di kamar. Dia meraung dan meronta di tempat tidurnya sendiri. Saat Ivy datang, dia buru-buru memeluk Ivy dan berkata, “Sakit, Nak. Rasanya sakit banget. Jangan sampai kamu atau siapa pun di keturunanku merasakan ini. Ibu pernah disakiti. Ibu pernah kecelakaan. Ibu pernah berdarah, tapi rasanya nggak ada yang sesakit ini. Ibu nggak kuat, Vy. Ibu nggak kuat.”
Lalu, Ivy memberikan bahu untuk ibunya. Ivy membiarkan ibunya menangis di bahunya sambil menceritakan semua yang terjadi. Suara ibunya tidak terdengar jelas, tapi Ivy tidak bertanya atau menyela. Ivy membiarkan saja perempuan itu berbicara apa adanya, toh Ivy juga tidak ingin tahu yang terjadi. Baginya, berita kalau bapaknya menikah lagi itu sudah cukup. Dia tidak perlu yang detail dan lebih menyakitkan lagi.
Kini, dia merasakannya lagi. Tusukan sakit di dadanya saat mendengar suara perempuan menerima panggilannya dengan menggunakan ponsel Oliver. Bagus sekali. Rasa sakitnya tepat sama dengan rasa sakit yang dihasilkan oleh ayahnya dulu. Ivy terkejut akhirnya dia bisa merasakan tepat sama seperti yang dirasakan ibunya.
Dia ingin sekali membanting telepon itu dan memutuskan untuk tidak mengatakan apa pun lagi tentang Oliver. Namun, ada banyak yang harus dia selesaikan, terutama dengan desakan Ben.
“Halo?” Ivy menarik napas dalam-dalam. “Halo, siapa ini?”
“Ya, Tuhan! Apa ini kamu Mrs. Glass?” tanya perempuan itu dengan nada terkejut yang jelas.
“Ya. Ini … aku Ivy Cantika. Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan dengan ponsel suamiku?”
Perempuan itu tertawa. Dengan nada cepat, perempuan itu berkata pada orang lain di sana. Mulanya Ivy berpikir perempuan itu memanggil suaminya, tapi perempuan itu sepertinya melemparkan perintah-perintah verbal. Suaranya tegas, tidak seperti suara perempuan yang berbicara dengan pacar atau keluarga.
“Mrs. Glass?” panggil perempuan itu lagi. “Apa kamu masih di sana?”
“Ya. Aku di sini. Siapa sebenarnya kamu?”
“Aku Norah Hayes. Detektif Norah Hayes. Aku dari kepolisian New York. Kami baru saja memeriksa suami Anda dalam kasus menghilangnya Anda dan putri Anda, Delilah Glass.”
“Astaga! Dia melaporkannya ke kepolisian?”
Detektif Norah Hayes dari Kepolisian New York | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Mr. Glass datang dalam keadaan panik. Dia menelepon 911 untuk melaporkan menghilangnya istri dan anak perempuannya. Kami tidak menemukan petunjuk apa pun tentang kepergian Anda.”
“Kalian mencurigainya?”
“Dengan banyaknya kasus kekerasan dan pembunuhan terhadap perempuan dan anak oleh pasangan, kecurigaan kami sangat beralasan, Mrs. Glass. Kami memeriksanya selama enam jam dan menemukan kejanggalan tentang dokumenmu yang masih ada di apartemen. Sekarang, kami telah menghubungi Mr. Glass untuk melakukan konfirmasi tentang ini. Apakah Anda bisa mengatakan ada di mana Anda saat ini?”
Ivy melihat pada pintu kamar kecil yang dimasuki Ben tadi. Dia berharap Ben tidak keluar untuk melihatnya seperti ini. Dia malu sekali. Oliver berusaha keras mencarinya. Oliver sama sekali tidak mengabaikannya selama ini.
“Aku … ada di rumah teman. Dia … menolongku. Aku … sempat mengalami kecelakaan dan … aku … bersama temanku.”
“Teman?” tanya polisi itu lagi. “Maaf, aku tidak ingin mencampuri urusan Anda, tapi apa ini ada hubungannya dengan orang ketiga atau hal lain? Apa Mr. Glass menyakiti Anda sampai Anda memutuskan untuk pergi dari rumah?”
“Tidak. Dia … kami hanya bertengkar. Aku … ingin lari darinya. Aku pergi dari rumah, mengalami kecelakaan, dan temanku menemukanku dan membawaku ke rumahnya. Hari ini, temanku memintaku untuk memperbaiki semuanya. Aku ingin menelepon Oliver dan memberi kabar. Astaga, maafkan aku. Aku tidak menyangka dia akan sepanik ini.”
“Aku senang akhirnya semua baik-baik saja. Kami telah berhasil menghubungi Mr. Glass. Kurasa dia akan menghubungi Anda. Kami akan menghubunginya lagi setelah semuanya beres. Bagaimana menurut Anda, Mrs. Glass?”
“Bagus. Ya, aku setuju.”
“Bagus. Terima kasih telah menghubungi kami.”
“Aku akan menelepon suamiku.”
“Ya, tentu. Selamat siang, Mrs. Glass. Semoga harimu menyenangkan,” kata polisi itu dengan suara yang lebih riang dari sebelumnya.
Bagaimana tidak? Berhari-hari sejak Oliver melaporkan kehilangannya Detektif Hayes dan timnya telah membuat beberapa kemungkinan. Satu kemungkinan terburuk ialah peran buruk Oliver dalam kasus menghilangnya Ivy. Sudah cukup banyak kasus laporan palsu yang dibuat oleh pelaku kejahatan untuk menghilangkan jejaknya. Bagi pelaku kriminal yang beruntung, dengan melaporkan kejahatan, membuat alibi, dan menyembunyikan mayat dengan benar akan membuatnya bebas dari tuntutan hukum. Hal inilah yang membuat kepolisian mencurigai keluarga terdekat korban lebih dulu sebelum melebarkan pencarian ke lingkungan di luar rumah korban.
Laporan Oliver telah membuatnya hampir menjadi tersangka, terutama karena dia dipenuhi emosi sehingga tidak bisa menjawab pertanyaan polisi dengan baik.
Ivy melihat layar ponselnya yang mati dengan tatapan khawatir. Lagi-lagi dia ragu untuk menghubungi Oliver atau tidak. Dia takut sekali mendengar kabar Oliver saat ini; takut dimarahi, takut malu, takut berbuat kesalahan lagi. Inilah yang membuatnya takut menyelesaikan masalah. Orang lain bisa saja berbuat kesalahan dan memperbaikinya dengan kata maaf, tapi tidak dengan Ivy.
“Kalau kamu sudah berani bikin salah gitu, berarti kamu siap dihukum,” kata ibunya pelan.
“Aku nggak mau dihukum, Bu.”
“Kalau gitu, jangan bikin salah. Kamu ini memang perlu dididik keras, Vy. Kamu memang perlu sering dihukum biar nggak bikin salah terus. Lihat adikmu! Dia itu nurut semua kata Ibu. Dia mau melakukan semua yang Ibu mau. Lihat gimana dia! Nilainya bagus terus. Nggak kayak kamu. Sudah! Tulis di kertas itu, ‘aku janji tidak akan dapat nilai jelek lagi.’ Tempel kertasnya di pintu kamarmu. Biar kapok kamu.”
Tentu saja ini mengacaukan mental Ivy. Setiap saudaranya datang, dia yang menjadi bahan tertawaan dan ejekan. Kesalahannya menghantuinya terus, membuatnya malu telah melakukan kesalahan itu. Hingga dewasa, Ivy berusaha berjalan di jalan yang aman, tanpa masalah, tanpa rasa bersalah.
Ivy terus teringat nasihat-nasihat Ibunya | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Lupakan, Ivy! Lupakan! Ini tentang Oliver. Dia cinta kamu,” kata Ivy pada diri sendiri.
Dia menarik napas dalam-dalam untuk menekan nomor telepon “Home” di ponselnya.
“Halo?” Suara serak laki-laki menyambutnya. “Ivy?”
Setelah berhari-hari berusaha meyakinkan diri sendiri kalau dia tidak membutuhkan Oliver, kini Ivy tahu kalau dia tidak akan bisa melakukannya. Debar dalam dadanya terasa lagi saat mendengar suara Oliver. Dia membayangkan suaminya itu menangis menunggunya pulang.
“Ivy? Ivy, apa ini kamu, Sayang?”
“Olly.”
“Oh, Tuhan! Tuhan, terima kasih! Astaga, Ivy! Tuhan! Terima kasih! Ivy! Oh, Ivy! Aku merindukanmu, Sayang. Aku nyaris gila sendirian di sini. Tuhan, terima kasih! Terima kasih.”
Suara Oliver benar-benar membuat Ivy menyesal sudah pergi meninggalkannya. Ivy berkali-kali meminta maaf pada Oliver. Dia ingin sekali memukul kepalanya sendiri karena ini.
‘Oliver mencintaiku. Dia benar-benar mencintaiku. Seharusnya aku nggak pergi. Seharusnya aku baik-baik saja di apartemen itu. Kenapa aku begini? Kenapa aku lari? Kenapa aku berpikiran pendek?’
“Ivy?”
“Oliver, aku benar-benar minta maaf.”
“Tuhan, Ivy. Jangan katakan itu lagi. Ini salahku. Ini benar-benar salahku. Seharusnya aku tidak melakukannya. Seharusnya aku mengatakan semua kepadamu, tentang hidupku, tentang Gillian, tentang banyak hal. Ivy, aku minta maaf. Aku tidak akan melakukan hal tolol lagi. Aku akan tetap bersamamu sampai kapan pun. Aku … bodoh sekali kalau menukar kalian berdua demi masa lalu.”
“Apa yang terjadi malam itu, Oliver?” Ivy menguatkan hatinya untuk mendengar kebenaran. “Apa yang yang terjadi antara kamu dan Gillian?”
Oliver menarik napas panjang. “Aku … aku minta maaf, Sayang. Saat itu … aku berpikir bisa memiliki Gillian lagi. Aku lupa kalau alasan kami berpisah adalah karena kami memiliki banyak perbedaan yang membuat kami saling menyakiti. Asmara yang ada di antara kami bukan hal yang indah, tapi tantangan. Aku … saat menciumnya, aku mengingatmu. Aku benar-benar merasa bersalah karena melakukannya. Tapi, aku tidak bisa mengakuinya padamu. Aku merasa … malu. Sangat malu. Kamu … gadis yang sempurna untukku. Semua yang ada pada dirimu, Ivy. Kekuranganmu, kepanikanmu, air matamu, dan semuanya. Kamu … segalanya. Aku masuk ke kamar kita dan benar-benar merasa terluka melihatmu tidak ada di sana. Kamu yang menata semua lagi. Kamu yang membuatku menata hidup lagi. Kini, aku membuatmu pergi. Astaga, Ivy! Aku benar-benar menyalahkan diri sendiri.”
Suara Oliver yang putus-putus karena menangis benar-benar membuat Ivy tidak bisa memikirkan hal buruk lagi.
“Maukah kamu memaafkanku, Ivy?” tanya Oliver lagi.
“Ya, Oliver. Aku memaafkanmu.”
“Maukah kamu kembali, Sayang? Aku akan memasakkanmu pasta pedas yang kamu suka.”
“Dengan ekstra keju?”
“Dengan ekstra keju.”
“Aku akan mengirimkan alamatku.”
“Aku akan menjemputmu.”
Menjemput? Begini saja? Berhari-hari marah sampai ingin mati ternyata begini saja? Semua selesai dengan kata maaf?
“Apa kamu tahu kenapa Ibu nggak ingin bercerai?” tanya ibunya dulu. “Ibu ingat kalian berdua. Kalian sering main manggil nama bapak sama anak-anak gang sini. Ibu pernah lihat gimana Rasyid diejek karena nggak punya bapak. Ibunya juga cerai, ‘kan? Ibu kasihan kalau lihat kalian begitu. Ibu menahan diri mati-matian juga untuk kalian.”
“Ibu seharusnya cerai aja. Toh punya bapak juga begini rasanya.” Ivy terus menggerutu.
“Kamu ngomong gitu karena kamu nggak ngerasain nggak punya bapak. Kamu pikir nggak punya bapak lebih baik daripada punya Bapak yang nikah lagi. Sama kayak semua orang, mereka berpikir nggak punya suami itu lebih baik daripada punya suami yang kawin lagi. Itu karena mereka belum pernah ngerasain nggak punya suami.” Perempuan itu menarik napas dalam-dalam. “Berat jadi orangtua itu, Vy. Berat banget. Kamu nggak akan tahu yang ada di kepala Ibu. Setiap hari Ibu membuat pertimbangan-pertimbangan yang nggak bisa Ibu tanggung sendiri. Ibu tahu, apa pun keputusan Ibu, pasti Ibu yang akan disalahkan. Pasti. Makanya, Ibu wanti-wanti benar kamu, jangan salah pilih suami, Nak. Kalau milih hape aja kamu sampai Googling dan tanya ke sana-ke mari, masa pilih suami kamu sembarangan? Pikirkan berkali-kali. Setelah kamu menjadi ibu dan istri, pilihanmu sudah tak lagi sebanyak ini.”
Ternyata, Ivy malah memilih menikahi laki-laki yang tidak dia ketahui latar belakang kehidupannya atau hal lain selain bahwa lelaki itu mencintainya dan dia juga mencintai lelaki itu. Seharusnya memang cinta itulah yang membawanya kembali pada lelakinya saat dia kehilangan pegangan.
Ben keluar dari kamar kecil tempatnya menghilang tadi. “Aku sakit perut,” katanya sambil tersenyum lebar. “Bagaimana?”
“Terima kasih, Ben,” kata Ivy tulus. “Aku melakukannya karenamu. Aku … memperbaiki sesuatu. Seumur hidup, baru kali ini aku benar-benar memperbaiki sesuatu, bukan membuangnya dan mencari yang baru.”
Senyum Ben makin lebar. “Selamat! Kamu akan suka melihat hasil dari yang kamu perbaiki.”
Ivy menghampiri Ben dan memeluknya dengan erat. “Terima kasih,” katanya lagi. “Aku tidak tahu apa jadinya jika aku tidak bertemu denganmu.”
“Jangan berandai-andai, Ivy. Jangan memikirkan hal yang belum terjadi. Bisa saja, jika tidak bertemu denganku, kamu akan bertemu dengan orang yang lebih baik lagi. Hidup ini tidak terlalu jahat kurasa.”
“Ben?”
“Ya?”
Ben mendukung tindakan Ivy | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Apa kamu tahu kalau kemarin aku benar-benar marah padanya sampai memikirkan mati? Aku tidak ingin melihatnya lagi selamanya.” Ivy menarik napas dalam-dalam. “Sekarang, aku benar-benar memaafkannya. Aku melupakan semua hal buruk yang terjadi pada kami. Aku … benar-benar luluh hanya dengan ucapan maaf.”
“Memang seharusnya begitu.” Ben memegang bahu Ivy. “Selama di dalam hatimu ada cinta, kamu akan selalu memaafkannya.”
“Apa ini akan membuatnya jadi bosan padaku? Aku membuat segalanya jadi mudah?”
Ben terkekeh. “Tidak. Tentu tidak. Laki-laki tidak pernah bosan pada perempuan hanya karena segalanya jadi lebih mudah. Lelaki bosan pada perempuan yang tidak dicintainya atau memang laki-laki itu yang belum mengerti tentang komitmen. Di dalam dirinya, jiwanya masih terlalu anak-anak untuk memegang komitmen. Dia yang salah, bukan kamu.”
“Kamu mempelajarinya dari buku?”
Senyum Ben berubah jadi sedih. “Dari hidupku sendiri.”
Penulis yang telah menghasilkan lebih dari 30 judul karya ini masih berusaha menjadi orang baik. Kalau bertemu dengannya di media sosial, jangan lupa tepuk bahunya dan ingatkan kalau dia juga butuh pelukan.