Ephemeral #11 - Everly by Honey Dee | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Ancaman Ben membuat Ivy tak punya pilihan lain. Lagi pula, Ivy juga merasa bahwa keputusannya untuk pergi begitu saja dan kabur dari masalah juga kurang tepat. Akhirnya Ivy memutuskan untuk menghubungi Oliver, dan mendapati kejutan yang tak terduga!
***
“Aku nggak pengin lari. Aku nggak pengin menghindar. Aku cuma pengin tenang. Aku cuma pengin nggak ada masalah lain lagi. Kenapa susah banget? Kenapa dunia ribet banget?” bisik Ivy pada diri sendiri di sela tangisannya. “Kenapa semua orang nggak pernah mau mengizinkan aku buat bahagia?”
Dia masih tidak mengerti kenapa Ben begitu mendesaknya untuk menyelesaikan semua ini dengan Oliver. Bukankah memang ada masalah yang bisa selesai dengan waktu? Bukankah ada masalah yang harus menunggu diendapkan dulu agar bisa mendapatkan hasil yang terbaik?
Oliver juga seperti itu, bukan?
Ivy berpikir dengan pergi dari rumah dan membiarkan Oliver sendirian, lelaki itu akan perlahan melupakannya. Lelaki itu pasti akan memilih Gillian, mantannya, dan melepaskannya.
Pemikiran ini bukan tanpa dasar. Semua laki-laki memang selalu seperti itu bagi Ivy. Laki-laki akan mengatakan dia jatuh cinta, lalu menikahi seorang gadis atas dasar cinta yang luar biasa katanya. Lelaki ini akan membuat hatinya perlahan-lahan mencinta juga. Setelah berhasil mendapatkan semua, setelah berhasil memiliki kehidupan yang nyaman, dia akan mencari tantangan berikutnya. Ivy pernah membaca kalau laki-laki itu selalu haus akan tantangan dan ingin mendapatkan cinta yang lebih dan lebih banyak lagi.
“Lelaki itu suka memancing,” begitu kata seorang temannya di kampus. “Dia siapkan kail dan umpan terbaik. Kalau sudah datang, dia masukkan ikan itu ke ember, lalu memancing lagi sampai dapat ikan berikutnya. Nah, coba kalian pikir, daripada memberi umpan untuk ikan yang sudah didapat, lebih baik umpannya buat cari ikan lagi di sungai, kan?”
Saat itu, teman-teman sekelasnya tertawa. Mungkin hanya Ivy yang merasakan torehan luka dari kalimat itu. Mungkin memang hanya Ivy yang berada dalam keluarga poligami. Mungkin memang hanya Ivy yang besar dengan tangisan ibu siang malam lantaran menahan perasaan cemburu melihat suaminya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah istri muda.
Lalu, apa yang harus dia harapkan dari suaminya sendiri? Kenapa dia harus salah karena meninggalkan Oliver seperti ini?
Bisa saja Oliver menghubunginya lagi dan mengemis padanya untuk kembali karena dia tidak ingin ikan koleksi yang didapatkannya terlepas, ‘kan? Lantas, kenapa dia yang disalahkan? Kenapa harus dia yang berdosa karena meninggalkan Oliver?
‘Ah, laki-laki! Ben pasti ingin membela sesamanya. Ben pasti ingin menunjukkan kalau Ivy harus memperlakukan semua laki-laki dengan baik. Laki-laki sama saja. Mereka saling menutupi, sama seperti Pakde yang menutupi busuknya suami Ibu. Mereka nggak pernah berbuat adil sama perempuan.’
Sekarang, malah dia yang harus disalahkan untuk urusan seperti ini.
“Bukan aku yang ingin lari. Bukan aku yang nggak mau menyelesaikan masalah. Memang ada masalah yang nggak bisa selesai dengan segera,” bisik Ivy dengan suara kecil yang serak. Meski sebenarnya dia ingin sekali menjeritkan suara ini, dia hanya berani berbisik saja. Dia tahu kalau Ben dalam keadaan marah. Dia tidak boleh mencari gara-gara.
Ivy melihat ke jendela lagi, berusaha keras menahan diri untuk tidak memikirkan cara memecahkan kaca jendela itu. Lalu, dia melihat alat pemecah es. Alat itu sederhana, hanya besi panjang seperti pedang pendek dengan ujung yang sabgat tajam. Ben berkata dia memerlukan itu untuk memecahkan es yang ada di freezer besar. Dia menyimpan daging di sana untuk berpesta. Kadang, dia perlu mengundang beberapa kolega untuk makan malam sederhana.
Pemecah es itu pasti ampuh sekali untuk membuat lubang kecil pada jendela. Dia membayangkan dirinya membuat lubang di jendela itu, lalu melebarkan lubang agar kaca jendela itu pecah semua. Dengan begitu, dia bisa melompat.
Ivy berpikir untuk melompat dari jendela | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Ivy melihat Delilah yang menggigiti mainan sampai ludahnya menetes ke mana-mana. Dia yakin sekali kalau memang harus bunuh diri, dia pasti akan membawa Delilah. Tidak mungkin tidak. Dia ingin selalu bersama Delilah. Lagi pula, tanpa dia, siapa yang mau merawat Delilah? Siapa yang mengerti tentang Delilah?
Ivy berjalan ke jendela terdekat. Dia menyentuh jendela yang hangat karena limpahan cahaya matahari musim panas New York. Katanya, tahun ini musim panasnya lebih panas dari tahun sebelumnya. Bagi Ivy, suhu ini tidak ada apa-apanya, apalagi dia berada di dalam ruangan dengan pengatur suhu yang bagus. Di Jakarta, di rumah ibunya yang sederhana, Ivy sering merasakan panas yang lebih parah. Belum lagi, panas itu ditambah dengan panas dari kata-kata ibunya yang terus menyebutnya sebagai anak nanggung, anak yang tidak pernah menyelesaikan pekerjaan dengan baik.
Dulu dia pernah mendengar ibunya mengeluh tentang hal ini. “Kamu itu kalau ngerjain apa-apa nggak pernah beres, Vy. Semua yang kamu kerjakan nggak pernah selesai. Kalau lagi dikerjakan, kamu pasti minta tolong orang lain buat nyelesaikan. Jangankan kerjaan yang susah, nyapu aja kamu suruh adikmu selesaikan atau kamu taruh di pojokan. Jangan gitu, Nak. Kamu itu harus belajar menyelesaikan masalah. Kamu itu harus lihat bagaimana cara orang menyapu sampai selesai. Kalau menyapu saja nggak kamu selesaikan, gimana nanti kalau kamu ketemu masalah yang lebih berat? Apa kamu bakal taruh masalahmu di pojokan, terus kamu jalan sama teman? Apa kamu mau kayak sepupumu yang sudah nikah itu, setiap ada masalah sama suaminya dia lari naik motor keliling Jakarta? Lihat gimana dia sekarang, Nak? Ketabrak bus. Itu akibatnya. Itu hukuman Tuhan untuk orang yang selalu lari dari masalah.
Apa kamu nggak lihat gimana Ibu ini melakukan semua sendirian? Apa kamu nggak lihat selama ini Ibu selalu mengerjakan semua sendirian, nggak perlu siapa pun? Jangan seperti bapakmu kamu, Nak. Jangan lihat bapakmu yang belum selesai satu rumah tangga, malah bikin rumah tangga lain. Itu pengecut. Lihat kamu sekarang, apa bisa yang kayak gitu bahagia? Nggak, Nak. Bapakmu sama gundiknya itu bakal menderita terus. Dia bakal lihat gimana azab Tuhan, Nak. Apa kamu mau ngikuti dia?”
Tentu saja tidak. Siapa yang mau mengikuti laki-laki yang seumur hidup selalu dijadikan contoh buruk dalam keluarganya. Setiap dia atau adiknya nakal, selalu saja ibunya menyebut lelaki itu sebagai contoh salah, contoh yang tidak boleh diikuti.
“Terus, aku harus gimana, Bu? Aku harus mengikuti siapa kalau begini? Apa aku harus mengikuti Ibu yang hidup dalam rumah tangga penuh dendam? Apa Ibu ingin aku mewarisi rasa sakit hati Ibu?”
Ivy terduduk di depan jendela itu, kembali menangis. Dia merapatkan kedua kaki, lalu menutup wajahnya dengan lutut seperti dulu saat dia masih sangat kecil.
Ah, sudah lama sekali Ivy tidak menangis seperti ini. Dia pikir dia tidak akan menangis begini lagi. Ternyata justru saat dia memutuskan menikahi laki-laki yang mencintainya, dia merasakan tangisan ini lagi.
Delilah yang ikut bersedih melihat ibunya menghampiri Ivy dan memeluknya. Gadis kecil itu memeluk Ivy dan menciuminya, persis seperti yang dilakukannya selama ini.
“Kamu sayang Mommy, ‘kan? Kamu nggak bakal ninggalin Mommy, kan? Nggak boleh ada yang bawa kamu jauh dari Mommy.” Dia memeluk anaknya.
Ancaman Ben untuk melaporkannya ke polisi benar-benar mengerikan. Bisa Ivy bayangkan bagaimana polisi menyeretnya dengan borgol ke penjara dan membawa anaknya yang menjerit-jerit ke dinas sosial. Anaknya akan menjadi anak dalam perlindungan negara sampai ada anggota keluarga yang menjemputnya. Saat itulah, selamanya Ivy tidak akan memiliki hak atas Delilah. Dia akan dideportasi, kembali ke Jakarta sebagai gelandangan dan kehilangan anak untuk selamanya.
Lalu, pilihan apa lagi yang dia punya?
Ben masih berada di toilet. Ivy berpikir mungkin saja sebenarnya lelaki itu ingin membiarkannya sendiri, memikirkan dengan baik langkah selanjutnya yang akan dia pilih.
Ah, memangnya apa lagi yang akan dilakukannya selain menelepon suaminya?
Ivy merangkak ke meja kopi, tempat Ben meletakkan ponsel itu. Dia duduk memeluk lutut sambil membaca semua pesan masuk dari Oliver. Semua pesan itu sama, menanyakan di mana dia sekarang. Oliver yang baru pulang langsung mencarinya. Suaminya itu langsung panik dengan meneleponnya berkali-kali sejak tahu kalau dia menghilang dari rumah.
“Ivy, aku sudah mencarimu ke mana-mana. Di mana kamu? Apa yang kamu lakukan sampai pergi dari rumah? Astaga! Apa kamu tidak memikirkan Delilah?”
“Aku sudah lelah, Ivy. Aku ingin kamu pulang. Apa pun yang kamu lakukan di luar sana, pulanglah!”
“Ivy, aku sudah melaporkanmu pada pihak imigrasi. Kamu menghilang dan mereka akan mencarimu. Apa kamu mendengarku, Ivy? Cepat pulang! Kembali bersama Delilah sekarang juga!”
“Ivy, aku minta maaf, Sayang. Aku berjanji tidak akan marah lagi. Aku frustrasi. Aku gila, Ivy. Aku ingin kamu kembali, benar-benar kembali, Sayang.”
“Aku baru menonton video pernikahan kita, Sayang. Aku … menangis. Kamu benar-benar cantik. Aku ingat bagaimana aku menemukanmu di Instagram dan memutuskan untuk berbicara padamu. Matamu yang besar itu membuatku ingin hidup tenang. Aku ingin berada dalam dekapanmu selamanya.”
“Ivy? Apa kamu sudah bangun, Sayang? Kamu benar. Aku berubah. Aku tidak menciummu seperti saat kita menikah dulu. Aku tidak menggandengmu lagi. Aku … pecundang. Aku sekarang menangis dengan sebotol wiski karena merindukanmu. Aku ingin pingsan atau tertidur hingga hari kamu kembali, Sayang. Aku membutuhkanmu. Aku mencintaimu.”
“Apa kamu masih ingin pulang, Sayang? Aku benar-benar merindukanmu.”
“Ivy, tolonglah, katakan sesuatu. Katakan padaku kalau kamu baik-baik saja. New York bukan tempat yang aman untuk perempuan muda sepertimu. Aku sudah bicara dengan polisi dan mereka berusaha untuk melakukan yang terbaik.”
“Sayang, pulanglah! Kumohon. Mereka mencurigaiku. Aku tidak bisa menghubungi ayahku sama sekali. Mereka akan memeriksaku karena mereka pikir aku menyembunyikan atau membunuh kalian. Demi Tuhan, aku tidak akan melakukannya. Aku mencintai kalian. Aku hanya ingin kalian pulang.”
Apa Ben benar?
Apa Oliver memang mencintainya?
Kalau tidak, lelaki itu pasti tidak akan ambil pusing dengan kepergiannya. Oliver tidak akan menangis dan merengek seperti itu kepadanya.
“Apa Mommy harus telepon Dad?” tanyanya pada Delilah yang melihatnya dengan tatapan bingung.
Dia menekan tombol telepon. Ponselnya mengeluarkan nada sambung yang tetap. Namun, hingga dering terakhir Oliver tidak menjawab telepon itu. Ivy ingin menyerah saja karena berpikir mungkin Oliver juga sudah menyerah. Mungkin lelaki itu sudah tidak menginginkannya lagi.
Dia melihat anaknya, memikirkan apa yang harus dia katakan pada Ben sebagai alasan. Lalu, dia melihat ponselnya lagi, membuat kemungkinan-kemungkinan kenapa Oliver tidak mengangkat teleponnya.
Pikirannya kosong. Dia tidak bisa membayangkan apa pun yang bisa dijadikan kemungkinan baik. Dia kemudian melihat ponselnya lagi, lalu memutuskan menekan nomor telepon Oliver lagi.
Ivy berusaha menelepon oliver | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Yang terakhir, Oliver. Ini kesempatanmu yang terakhir,” katanya pelan saat mendekatkan ponsel ke telinga.
Tiga nada sambung. Panggilan itu tersambung. Jantung Ivy berdebar sangat keras.
“Oliver?” saya Ivy pelan, sangat pelan.
“Ya?” jawab perempuan di seberang sana. “Halo? Aku tidak bisa mendengarmu.”
Penulis yang telah menghasilkan lebih dari 30 judul karya ini masih berusaha menjadi orang baik. Kalau bertemu dengannya di media sosial, jangan lupa tepuk bahunya dan ingatkan kalau dia juga butuh pelukan.