Ivy tidak menyangka Ben akan sangat marah atas kebohongan kecil yang ia lakukan. Bahkan, pria itu mengancam akan melaporkan Ivy ke kantor polisi. Apa yang harus Ivy lakukan?
***
Ivy tidak bisa berkata-kata lagi. Dia berusaha mencari udara untuk bernapas. Tatapan mata biru Ben yang kecewa itu benar-benar membuatnya takut. Entah bagaimana tatapan itu mengingatkannya pada kedalaman laut yang dingin saat berada di pesawat. Waktu itu dia tidak sengaja melihat ke jendela. Pesawat tepat berada di atas samudra. Jendela menampakkan laut biru tua yang menakutkan. Kepekatannya seolah menarik tubuh Ivy dan semua orang masuk ke sana. Dia membayangkan pesawat itu akhirnya jatuh dan menghantam laut dingin yang tidak memberi ampun, seperti dalam berita-berita kecelakaan pesawat yang dilihatnya selama ini.
“Kenapa kamu berbohong padaku?” tanya Ben lagi dengan nada suara seolah menuntut Ivy untuk mempertanggungjawabkan kesalahannya.
“Aku … tidak … berbohong.” Ivy berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi lelaki tersebut. Dia berusaha untuk terus melihat mata biru itu agar Ben yakin kalau dia tidak berbohong, paling tidak Ben akan percaya kata-katanya. Sayangnya, semakin lama dia melihat mata Ben, semakin dalam rasanya dia tersedot masuk ke lautan mematikan Ben.
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
“Kemarin kamu mengatakan kalau kamu tidak membawa ponsel dan tidak bisa menghubungi suamimu. Ternyata sekarang kamu membawa ponsel dan dihubungi terus oleh suamimu. Apa ini bukan kebohongan?”
Ivy melihat pada Delilah yang bermain sendiri di bagian lain ruangan. Dia ingin sekali ikut anak itu bermain dan melupakan semua yang terjadi. Dia melihat ke jendela besar di belakang Ben. Pikirannya membuat kemungkinan-kemungkinan untuk menjebol jendela itu. Memang, jendela itu terlihat kokoh sekali saat dia tadi membersihkan sekitarnya. Pasti kacanya tebal dan butuh tenaga ekstra untuk menghancurkan kaca itu. Dia melihat ke jendela lain, memikirkan bagian jendela mana dari loft ini yang bisa dibuka dan dia gunakan untuk melompat.
“Aku harus pergi. Aku harus lari. Aku harus menyingkir dari semua ini,” bisiknya pada diri sendiri.
“Ivy? Aku masih menunggumu menjelaskan semua ini,” Ben terus menuntut.
Tidak ada jalan keluar. Dia terkunci bersama Ben di sini. Jendela semuanya terkunci rapat kecuali jendela di ruang mencuci yang bisa dibuka sedikit agar angin dari balkon masuk. Jendela itu bisa dilewati tubuhnya jika miring. Pasti bisa. Dia akan lompat dari jendela itu.
“Ivy, aku lelah dengan semua ini. Jangan pernah berani membohongiku. Di sini aku adalah pemilik rumah. Aku berhak melakukan apa saja jika kamu ternyata berbohong.”
“Aku tidak berbohong,” ulang Ivy lagi sambil melepaskan kuku yang digigitinya sejak tadi.
“Ini kebohongan, Ivy. Apa tidak mungkin kalau kamu melakukan kebohongan lainnya? Aku jadi ragu kalau yang kamu katakan padaku selama ini ternyata benar. Kamu tidak memiliki identitas. Aku tidak bisa memastikan kalau yang kamu katakan benar. Aku tidak bisa bertanya pada siapa pun siapa kamu dan kenapa kamu sampai berada di Rockwood Building bersama anak yang … bisa jadi bukan anakmu.”
“Kamu bisa tanya pada Tobias Glass.” Ivy sangat ingin merengek agar Ben melepaskannya.
“Dia tidak ada di kantor. Dia berada di salah satu pantai di kepulauan Bahama dan tidak bisa dihubungi. Aku sudah bertanya ke atasannya tadi. Tidak ada yang bisa kupercayai selain kamu dan sekarang kamu juga membohongiku. Lalu, siapa yang harus kupercaya? Apa ibu anak itu mencarinya?”
“Aku ibunya.”
“Aku tidak percaya pada orang yang jelas-jelas berbohong untuk menyelamatkan diri sendiri.”
“Aku punya alasan,” rengek Ivy yang merasa muak karena terus direndahkan. Dia hanya tidak mengatakan kebenaran tentang ponselnya. Ini bukan kebohongan serius. Dia yakin kalau dia tidak sepenuhnya berbohong.
“Katakan padaku! Buat aku percaya padamu agar aku bisa memberikanmu izin untuk tetap di sini, Ivy.” Ben menggosok wajah dengan telapak tangan. Dia melihat Delilah yang melihat mereka dengan bingung. Ada semburat ketakutan pada wajahnya seperti tahu kalau dua orang dewasa di depannya itu sedang tidak baik-baik saja.
“Dia menghubungimu, Ivy. Dia mencarimu. Apa kamu tidak lihat dia berusaha mengirimimu pesan sejak … dua hari lalu, saat kamu pertama kali ada di sini? Bisa jadi saat ini dia sudah melaporkanmu ke polisi sebagai orang hilang. Apa kamu tahu yang mungkin terjadi padaku jika ada yang melihatmu bersamaku? Apa kamu memikirkan keselamatanku juga? Bagaimana jika ada yang melihatmu berbelanja bersama Delilah hari itu? Bagaimana jika ada yang melihatmu dalam kecelakaan saat itu? Apa kamu memikirkannya? Apa kamu berpikir tentang aku yang mungkin saja dituduh menculik kalian?”
Ivy tidak bisa bertahan lagi. Dia menangis dan menutup telinga. Dia tidak ingin mendengar apa pun lagi. Dia tidak ingin disalahkan lagi.
“Bukan itu yang kuinginkan,” rengek Ivy dengan suara lirih. “Aku tidak punya niat buruk untukmu, Ben. Aku bersumpah. Aku tidak ingin melakukan hal buruk. Aku tidak menjebakmu dan tidak berbohong apa pun padamu selain tentang … ponsel.”
“Kenapa?”
“Aku … tidak ingin kembali padanya.”
Ben mengembuskan napas yang dihelanya dalam-dalam dengan cepat. “Kenapa?”
“Apa kamu tidak mendengarkan ceritaku, Ben? Aku berasal dari keluarga yang parah, sangat parah. Aku memiliki ibu yang tetap diam saja, bertahan dalam pernikahan bodoh bersama laki-laki yang menikahi perempuan lain. Ibuku bertahan karena dendam, ingin membuktikan kalau dia bisa jadi kaya dan menertawakan suaminya. Ibuku menanamkan dendam dalam diriku dan adikku. Bertahun-tahun aku bersumpah pada diri sendiri untuk tidak memikirkan yang terjadi pada ibuku. Bertahun-tahun kuyakinkan pada diri sendiri kalau aku pasti akan bisa jadi orang yang lebih baik dari ibuku. Aku akan memiliki rumah tangga yang lebih baik dari ibuku. Aku menikahi Oliver dan lari dari semua yang ada di Jakarta bukan untuk mengalami hidup yang sama dengan ibuku. Aku tidak ingin mendapatkan pernikahan yang seperti ini. Tidak mau sama sekali. Dia bisa melakukan apa saja pada orang lain, tapi tidak denganku.”
Ben terkejut dengan kemarahan yang ditunjukkan Ivy. Dia tidak menyangka Ivy akan menjerit histeris padanya seperti ini. Kalau ingin menuruti perasaan, Ben ingin sekali menghampiri Ivy dan mengatakan kalau semua baik-baik saja. Dia bisa berusaha mengerti. Namun, rasa sakit di dalam hatinya kembali merebak. Seseorang menunggu Ivy. Seseorang yang mungkin sekarang sedang merasa bersalah berharap dia kembali.
Ini seperti bertahun-tahun lalu, saat Ben begitu menyesali kepergian Sheila. Bertahun-tahun lalu dia berada pada posisi itu, menunggu istri yang dicintainya pulang. Dia berusaha menghubungi Sheila. Berkali-kali dia mengucapkan maaf di telepon atas pertengkaran mereka. Berkali-kali dia meminta Sheila kembali. Ternyata, yang datang malah dua petugas polisi yang mengabarkan kematian Sheila dan anaknya. Sheila tidak pernah mendengar ucapan maaf Ben. Sheila tidak akan pernah melihat kado yang dibeli Ben dan acara makan malam di restoran Italia yang disukainya. Sheila meninggal dengan kemarahan besar untuknya.
“Ini tidak adil, Ivy,” ucap Ben setelah menelan ludah bersama seluruh kenangan masa lalunya.
“Tidak adil untuk siapa? Kamu membelanya?”
“Ini tidak adil untuk kalian, untuk Delilah. Kamu pergi dan terus berlari dari satu masalah ke masalah lainnya karena menghindari konfrontasi. Yang kamu lakukan hanya membuat masalah baru. Kamu hanya berlari untuk pergi ke dalam konfrontasi baru dengan orang lain atau bahkan dengan dirimu sendiri. Tidak ada masalah yang berhasil kamu selesaikan, Ivy. Semuanya hancur begitu saja. Kamu merusak semuanya dengan berlari dan membiarkan segalanya menggantung di belakangmu. Ke mana pun kamu pergi, yang ada hanya masalah-masalah baru dan hantu-hantu dari masa lalu. Kamu tidak akan bisa selamat dari semua itu.”
Ben menarik napas dalam-dalam dengan pelan. Tak disadarinya Ivy juga melakukan hal yang sama. Mata mereka saling terpaku, berusaha melihat kedalaman yang lain, berusaha menilai satu sama lain.
“Aku tidak menyalahkanmu yang marah atas perilaku Oliver … tentang mantan pacarnya. Tapi, bukan begini seharusnya caramu lari darinya. Bukan seperti ini. Apa kamu tidak berpikir bagaimana dia sekarang? Bisa jadi dia ingin menjelaskan semua padamu. Lihat, dalam beberapa pesan, dia mengatakan kalau dia merindukanmu. Dia bertanya tentang Delilah. Dia ingin meyakinkan diri sendiri kalau dia baik-baik saja.”
“Itu bukan urusanmu, Ben.”
Ivy terkejut dengan yang dikatakannya ini. Dia sebenarnya tidak ingin mengatakan kalimat kasar ini pada lelaki yang begitu baik padanya. Namun, entah bagaimana mulutnya meluncurkan kalimat ini begitu saja. Dia ingin sekali meminta maaf, tapi mulutnya kembali kaku.
“Ini memang bukan urusanku, Ivy. Aku sama sekali tidak punya urusan tentang hidupmu. Aku hanya keberatan kamu, yang seorang pembohong dan menyembunyikan identitas, berada di rumahku. Bisa saja kamu perampok yang menyamar. Bisa saja ternyata kamu memiliki teman yang menunggu saat aku lengah.”
“Ben, aku minta maaf.” Akhirnya dia mengatakan ini. “Aku hanya … tidak ingin didikte untuk hidupku lagi. Kamu bukan ibuku yang mengatur bagaimana caraku hidup.”
“Bagaimana jika ibumu benar? Bagaimana jika dia melakukannya karena khawatir kamu berada di jalan yang salah?”
Ah, lagi-lagi Ivy merasa ditampar oleh tangan tak terlihat oleh Ben. Lagi-lagi dia merasa bingung harus mengatakan apa.
“Ibumu melarangmu menikahi laki-laki asing bisa jadi karena dia begitu mencintaimu. Dia ingin melihatmu melakukan sesuatu untuk dirimu sendiri dulu sebelum menikah. Ibumu memintamu melakukan banyak hal, bisa jadi karena dia memikirkan lebih banyak darimu, lebih banyak dari yang kamu mengerti.” Ben menunjuk Delilah. “Suatu hari nanti kamu akan mengerti apa yang dipikirkan ibumu saat kamu membesarkannya. Itu juga kalau kamu memang benar-benar memikirkan anakmu. Kalau kamu terbiasa lari dan terus lari seperti ini, aku tidak yakin kamu bisa melakukannya. Aku tidak yakin kamu bisa memikirkan hal yang lebih dalam untuk Delilah nantinya.”
Ivy diam saja. Suara dalam kepalanya terus menggemakan pembenaran atas yang dikatakan Ben. Sayangnya, suara ini berlawanan dengan sesuatu di dalam dirinya yang mengatakan kalau Ben salah dan dialah yang benar. Ben tidak tahu apa-apa, sama dengan semua orang yang selama ini masuk dalam hidupnya.
“Aku tidak punya pilihan, Ivy. Aku harus memintamu keluar dari rumah ini. Aku juga harus meminta uang sewa atas tempat ini, juga uang ganti rugi rumah sakit. Jika tidak, aku akan melaporkanmu pada polisi atas tuduhan penipuan dan eksploitasi. Aku akan menelepon 911. Mereka akan datang dalam waktu singkat, membawamu ke penjara dan menyeret anakmu ke dinas sosial.”
Ivy membelalak. Dia tidak yakin dengan yang didengarnya. Namun, dia yakin kalau Ben memang sungguh-sungguh marah.
“Aku tidak punya pilihan lain. Aku sudah berusaha mengatakan banyak hal padamu, Ivy. Aku sudah berusaha berbicara padamu.”
“Ben, aku–“
“Ini rumahku. Ini aturanku. Aku tidak ingin kamu mendebatku di rumahku sendiri. Kalau kamu tidak ingin dipenjara, telepon suamimu dan minta dia datang untuk menjemputmu. Aku ingin dia memberiku uang sewa.”
Ivy kalang kabut. “Ben, aku bisa melakukan apa saja–“
“Aku tidak ingin ‘apa saja’. Aku hanya ingin Oliver Glass memberiku uang yang cukup untuk membayar semua yang kuberikan padamu. Tidak ada tawar-menawar,” kata laki-laki itu dingin sebelum dia berjalan ke toilet. Dia tidak ingin melihat Ivy yang terduduk lemas di lantai, menutup wajah dengan tangan untuk menangis keras.
-Bersambung-
Baca bab selanjutnya: Ephemeral #11 – Everly
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
Tim Dalam Artikel Ini
Penulis yang telah menghasilkan lebih dari 30 judul karya ini masih berusaha menjadi orang baik. Kalau bertemu dengannya di media sosial, jangan lupa tepuk bahunya dan ingatkan kalau dia juga butuh pelukan.