Sebelum membaca tulisan ini sampai akhir, pastikan dulu bahwa kamu sedang dalam kondisi mood yang baik-baik saja. Bukan hadir sebagai antitesis, melainkan saya ingin menjabarkan sisi lain dari Jogja yang selama ini terus menerus diromantisasi, termasuk oleh saya sendiri sebelumnya. Jadi, jangan marah-marah dulu apalagi sampai mengeluarkan kalimat, “Ya, kalau nggak suka silakan keluar dari …1!!1”
Begini, kalau Bumi Pasundan diciptakan ketika Tuhan sedang tersenyum, Jogja ‘katanya’ juga diciptakan dari rindu, angkringan, dan puisi (halah). Memang, nggak ada yang salah. Sampai suatu ketika, saya merasa harus membagikan sisi lain di balik romantisasi tersebut. Bacanya pelan-pelan, jangan langsung ngegas ya, Lur~
ADVERTISEMENTS
1. “Jogja itu biaya hidupnya murah, makan juga murah, apa pun pokoknya murah.” Kene-kene, tak kasih tahu faktanya dulu~
Sebagai seorang pemuda tanggung yang telah menghabiskan seluruh umurnya untuk hidup di kota ini, saya bukan hanya sekali dua kali mendengar banyak alasan orang untuk menetap di Jogja karena hal tersebut. Image bahwa Jogja sebagai kota dengan biaya hidup yang murah menjadi daya tarik tersendiri bagi para calon penghuni barunya. Apalagi jika yang diagung-agungkan adalah soal angkringan, rindu, dan segala tetek bengeknya.
Ya, benar sih, kalau di Jogja itu bisa makan dengan harga yang murahnya keterlaluan. Bayangin aja, dengan uang 10 ribu, kamu bisa makan 2 bungkus nasi kucing, lauk, lengkap dengan segelas es teh. Tapi semua itu cuma bisa didapatkan di gerobak angkringan. Kalau punya uang lebih dikit lagi, kamu juga bisa makan di warmindo dengan sisa uang yang bisa buat ngeteng rokok.
Padahal, kalau makan di warung-warung biasa, nggak ada bedanya kok dengan kota-kota lain alias sama aja harganya. Kecuali kamu mau Senin-Kamis di angkringan, Jumat-Minggu di burjoan. Nggak masalah~
ADVERTISEMENTS
2. “Jogja nyaman, aman, dan damai, istimewa pokoknya!” Kamu udah pernah ketemu rombongan klitih di jalanan belum?
Nggak dimungkiri lagi kalau Jogja memang kota yang benar-benar istimewa. Lha wong pemimpinnya aja nggak pernah ganti kok. Xixixi. Penduduknya juga ramah, apalagi kalau di kampung-kampung, nggak kenal aja bisa saling lempar senyum dan sapa. Tapi tunggu dulu, di balik semua itu ada hal-hal yang mungkin bagi masyarakat Jogja sendiri juga bikin risau.
Kata nyaman mungkin masih masuk akal, tapi kalau aman? Mengko dhisik, Lur. Kalau kamu pemerhati grup Info Cegatan Jogja di Facebook, pasti nggak asing dengan istilah klitih. Sekumpulan bocah-bocah kurang kerjaan yang hobi bergerombol di jalanan lalu resek ke pengguna jalan lain terus ditinggalkan. Edan to?!
Belum lagi kalau papasan sama ormas-ormas partai ketika musim politik atau bisa juga duel antar kelompok suporter bola. Jangan salah, atmosfer bola-bolaan di sini nggak kalah keras sama di luar negeri sana.
ADVERTISEMENTS
3. Katanya sih, “Meski UMR rendah, tapi orang Jogja itu tingkat kebahagiaannya nggak diukur dengan uang!” Wkwkwkwkwk Rhemoox ndaaa~
Kalimat bahwa kebahagiaan orang Jogja itu nggak diukur dengan uang adalah hal utopis kesekian kalinya yang hampir bosan saya dengarkan. Dengan gaya hidup yang pas-pasan, nggak neko-neko, dan bahkan relatif hemat, gaji UMR Jogja itu kadang terdengar nggak masuk akal sekali. Bukan masalah rasa syukur, melainkan dengan uang segitu, biaya hidup di Jogja semakin mahal, harga tanah naik terus, apalagi kalau kamu kebelet rabi alias nikah. Rabio karo gapuro, Bwoos~
Sekarang realistis aja, dengan gaji standar 2 juta kurang sedikit, akan terasa masuk akal dan cocok jika kamu tiap hari bawa bekal dari rumah, Wi-Fi numpang, nggak pernah sakit dan ndekem di rumah terus. Tapi apa iya, selama sebulan kamu bakal menjamin nggak bakal sakit? Minimal masuk anginlah atau mungkin diare karena makan sembarangan. Iuran BPJS itu mahal lo, ngomong-ngomong.
Perlu diingat juga, menurut data dari Riskesdas pada tahun 2013, Jogja masuk kategori kota dengan penduduk yang memiliki gangguan emosi tertinggi setelah Jawa Barat. Itu baru gangguan emosional, kalau ngomongin tentang gangguan jiwa menurut data yang sama, Jogja juga menempati posisi tertinggi. Penyebabnya? Rata-rata adalah ekonomi. Gitu kok masih bisa-bisanya bilang, “Orang Jogja kebahagiaannya nggak diukur dari uang.” Wkwkwkwkwkwk~