Melihat unggahan kawan-kawan yang sudah berkeluarga sesekali sungguh menyenangkan. Ada perasaan haru campur bahagia di sana. Apalagi kalau satu per satu dari mereka mulai mengandung, melahirkan, lalu menimang anak. Nggak terasa sejurus kemudian anaknya sudah bisa jalan dan panggil-panggil papa mamanya sambil berlari kecil.
Sungguh kebahagiaan yang terbingkai di unggahan media sosial. Tapi bagi kami yang masih sendiri, rasanya terselip sebuah perasaan kebas yang nggak tahan buat diungkapkan. Begini lo ragam rasanyaaa~
ADVERTISEMENTS
1. Awalnya lucu, semua terasa lucu dan membahagiakan melihat setiap unggahanmu. Keluargamu benar-benar bahagia, ya!
Sumpah, anakmu lucu banget! Kami nggak bisa memungkiri kami juga senang melihat hidupmu yang rasanya sudah lengkap. Unggahanmu di media sosial kadang membuat kami senyam-senyum sendiri. Melihat tingkah suami atau istrimu yang kocak, sampai buah hatimu yang nggak terelakkan gemasnya. Sebagai temanmu, kami jujur menikmati setiap unggahan yang berkaitan dengan hidupmu yang sempurna, keluargamu yang bahagia.
Setidaknya, awalnya kami merasa ini semua baik-baik saja.
ADVERTISEMENTS
2. Semakin heran kenapa sih setiap hela napas sepertinya update anak dan kemesraan keluarga terus? Kami tahu kebahagiaan layak dibagi, tapi …
Tapi kebahagiaanmu yang terlalu sempurna terus-terusan mampir di linimasa. Lagi-lagi tentang pasanganmu, tentang rumahmu yang baru saja diperbaiki, tentang masakan lezatmu yang baru tersaji, dan tentu anakmu yang lucunya nggak bisa diobati. Mohon maaf kalau kami sempat mengecapmu berlebihan dan suka banget pamer kemesraan. Kami khilaf memang, kami terlalu sering melihat unggahan serupa. Banyak juga yang kami nggak ngerti, tentang ASI bahkan tentang mengganti popok bayi. Beberapa dari kami memutuskan menyembunyikan unggahanmu, dalam rangka kebaikan kami sendiri, maaf ….
ADVERTISEMENTS
3. Sampai nggak sengaja membandingkan hidupmu dan hidupku nggak bisa lagi dihindari. Menyadari kalau kami masih sendiri, ternyata menyakitkan …
Kami yang sebagian masih sendiri, nggak bisa menolak kalau kami rindu hangatnya kebersamaan keluarga. Perjuangan bersama dengan orang tersayang, menempuh hidup yang meski apa adanya tapi bikin bahagia, memang nggak terbayarkan. Tapi melihat keadaan dan apa yang terjadi, semua memang nggak pernah segampang kelihatannya. Terkadang Tuhan menggariskan jalan hidup yang bermacam-macam, kan? Lalu kalau kami masih ditakdirkan sendiri, kami selalu nggak sengaja membandingkan kehidupan kami dengan kalian.
ADVERTISEMENTS
4. Akan menjadi semakin sebal ketika kami komentar atau mengirim pesan, tapi balasannya, “Kapan nyusul?” Bukankah berkeluarga itu bukan kompetisi?
Sungguh jangan lakukan basa-basi seperti itu lagi. Kalaupun pertanyaanmu retoris, kami juga rasanya ingin tahu jawabannya. Kami nggak pernah merasa bahwa hidup adalah sebuah kompetisi untuk jadi yang paling bahagia. Bahkan berkeluarga dan punya anak juga bukan patokan kebahagiaan, bukan? Jika kamu merasa menang dengan merasa lebih ‘lengkap’, maka lakukanlah. Kami, hingga kini, terus berusaha tertawa, apa pun keadaannya.
ADVERTISEMENTS
5. Jangan salah paham, sungguh kami ikut bahagia, tapi kami nggak memungkiri kalau kami merasa sedikit iri. Rasanya menyakitkan melihat apa yang masih sulit kami dapatkan
Nggak munafik, mungkin perasaan nggak enak ini disebabkan oleh rasa iri. Tapi bisakah kamu nggak berlebihan mengunggah kontenmu yang sebenarnya nggak bisa mengubah kehidupan kami. Sungguh media sosial kadang menjemukan ketika kami melihat apa yang nggak terlalu penting bahkan cenderung memberi dampak negatif bagi kami.
Dear, papa-mama muda. Akhir kata, lakukanlah yang ingin kalian lakukan, tapi jangan marah, ya, kalau kami bisukan unggahan kalian. Bukan berati kalian dan unggahan kalian bermasalah kok. Justru kamilah yang bermasalah dengan hidup kami sendiri.
Ttd,
Kami yang masih sendiri
dan linimasa media sosial dipenuhi dengan kebahagiaan orang lain.