Hai, kenalin namaku Cepek. Aku koin aluminium bertatokan burung kakaktua raja di satu sisi dan garuda di sisi lainnya. Di tubuhku tertulis “100 Rupiah”, tepat di samping si kakaktua. Mungkin itulah mengapa orang memanggilku “Cepek”.
ADVERTISEMENTS
Mungkin kamu gak pernah mendengar aku bicara tapi jika diberi suara, inilah curhatanku…
Dulu, masih banyak orang yang mengenalku. Di awal tahun 2000, aku ini cukup terkenal lho, hingga saat itu masih banyak sekali orang menyebut-nyebut namaku, salah satunya Pak Ogah. Kalian tahu Pak Ogah, kan? Itu lho, temennya si Unyil, yang botak dan selalu bilang, “Cepek dulu dong….” Aku ingat betul, Pak Ogah selalu menyebut-nyebut namaku di depan orang. Dan aku yakin bahkan di dalam mimpinya pun, dia terus memanggil-manggilku.
Namun sekarang, dia sepertinya melupakanku. Bahkan enggak hanya Pak Ogah, orang lain pun begitu. Di jalanan sana, Pak Ogah-Pak Ogah yang lain—yang suka minta bayaran kalau ada yang muter balik di jalanan padat— jangankan memanggilku, kalau ada orang yang memberikan cepek (teman-teman se-spesiesku), malah marah-marah. Nggak terima gitu. Katanya, “Dih, jaman sekarang masih aje cepek, gopek doooong!”
Ya, kepopuleranku hancur. Tergantikan oleh si Gopek (Rp500), si Seceng (Rp1000), Goceng (Rp5000), Cemban (Rp10.000) dak kawan-kawan lain. Pengamen dan pengemis pun begitu.
ADVERTISEMENTS
Kini orang takut mengeluarkanku dari dompet mereka buat bayar ke pengamen. Takut diludahi, katanya. Aku udah nggak laku lagi, sedih…
“Bahkan jika aku tercecer di jalan, orang-orang tak sudi memungutku.”
Bukannya marah atau kesal, cuman miris saja dengan kenyataan yang ada sekarang. Kenyataannya, kalau aku tiba-tiba terjatuh dari dompet atau kantung seseorang ke jalanan, terlepas dari ketidaksadaran si pemilik, orang lain pun pasti nggak ada yang peduli. Ada yang lewat, nggak ‘ngeh aku tergeletak di jalan, eh dia main injak aja. Ada orang yang nyadar, cuman diliatin, terus dia main melengos aja. Terus begitu sampai kondisi tubuhku jadi menyedihkan. Kotor, berkarat, penuh kuman.
ADVERTISEMENTS
Setidaknya aku masih dipungut oleh anak kecil. Kalau bukan buat nambahin modal beli es bon-bon, aku diserahkan kepada bapaknya sebagai alat kerokan.
“Ya, setidaknya aku masih berguna…”
Tak dapat kupungkiri, di Indonesia ini, aku sudah menjadi nilai uang terkecil. I know it for sure! Jadi, aku nggak bisa menyalahkan masyarakat kalau mereka sudah melupakan dan tak membutuhkanku. Wajar, toh untuk koin kecil sepertiku ini bisa apa sih kalau berhadapan dengan si Lembaran Merah Perkasa? Padahal kita sama-sama “cepek”. Pray for Cepek!
ADVERTISEMENTS
Padahal tanpa aku, uang sejuta pun kehilangan nilainya menjadi Rp. 999,900.
Tapi kamu semua perlu tahu, tanpa aku, kalian belum tentu bisa jadi orang kaya. Kenapa? Contoh kecil saja, kalau kalian mau bayar angkot pakai recehan sebesar Rp 4.000,-. Waktu itu kamu punya pecahan dua ribuan, seribuan, gopek, dan lima buah cepek. Seandainya saat itu aku terpeleset jatuh ke belakang kursi angkot, kamu pasti panik, kan? Ngaku deh, yang pernah punya pengalaman seperti itu, pasti awkward banget kalau uang recehmu jatuh di angkot. Antara mau nyari di bawah kursi atau nggak karena malu. Hingga pada akhirnya kamu akan pura-pura nggak tahu sambil tetap menyerahkan uang yang hanya senilai Rp 3.900,- ke abang sopirnya, ya kan?
Dari contoh tadi bisa disimpulkan bukan? Tanpa aku atau teman-teman sesamaku, kamu nggak bisa mendapatkan nilai bulat. Kamu nggak bisa punya uang Rp 1.000 tanpa aku, kamu nggak bisa dapetin Rp 10.000 tanpa aku, nggak bisa juga mendapatkan si Om Lembaran Merah tanpa aku. Nilainya nanggung banget, kan? Itu pula yang menjadi alasan kenapa aku bisa berguna buat para pedagang. Nilai sekecil aku ini, bisa memberikan efek pada keuntungan mereka, lho.
ADVERTISEMENTS
Kehadiran (dan ketidakhadiranku) membawa pengaruh besar pada keputusan membeli seorang pelanggan…
Tak hanya itu, aku pun menyadari betapa bergunanya ketidakberadaanku di toko-toko. Coba deh, tengok ke beberapa ritel besar dan mini market di sekitarmu. Kamu akan melihat beberapa label harga pada barang yang terpampang di etalase, bertuliskan—misalnya—Rp 13.900,-; Rp 22.900,-;Rp 199.900,- dan seterusnya. Kok nggak bulat, ya? Kalau kalian menambahkan aku di harga-harga tersebut, pasti jadi bulat deh, ya kan? Harga-harga itu yang disebut sebagai harga psikologis. Sebagian besar toko menggunakan label seperti itu sebagai strategi penjualan mereka. Tuh, terlihat kan bagaimana berharganya aku?
Hal-hal yang kuceritakan di atas, hanyalah sedikit, yang kuingat, tentang berharganya aku yang kecil ini. Sebagian besarnya, aku tak tahu, di mata orang masa kini, apakah aku masih ada harganya atau tidak, apakah aku masih diinginkan atau tidak, atau apakah aku masih diharapkan atau tidak. Yang jelas, saat ini aku membutuhkan kamu semua untuk terus mengingatku dan jangan dengan mudah membuang atau mengabaikanku. Setidaknya, sampai saatnya nanti aku benar-benar menghilang, kemudian kamu menemukanku lagi entah di mana, ingat-ingatlah aku.
“Aku pernah jadi bagian hidupmu.”