Setiap kota punya istilah-istilah atau slang lokal yang unik dan mungkin tidak ditemukan di daerah lain. Begitu juga di kota Malang. Kota di dataran tinggi Jawa Timur ini dikenal dengan bahasa walikannya yang khas. Tapi, ternyata tidak hanya bahasa walikan saja yang jadi identitas Malang. Banyak istilah yang entah dari mana asal-usulnya dan apa makna sebenarnya, tapi sering banget diucapkan. Beberapa istilah ini juga tidak asing di telinga kamu, Arek Malang yang besar di era 90-an.
ADVERTISEMENTS
1. Candak-candakan sampai nggak tahu nama teman kamu sebenarnya siapa.
Kamu : “Selamat siang, Bambangnya ada, Om?”
Bapaknya teman : “Saya Bambang, ada apa?”
Teman dari jendela kamarnya : “Haduh, itu kan nama bapakku!”
Waktu kecil sering banget manggil teman dengan nama orang tuanya atau kamu mengenalnya dengan istilah ‘candak-candakan’. Arti candak sendiri dalam bahasa jawa adalah serupa dengan menyangkut pautkan atau mengubungkan. Mungkin maksudnya di sini menghubungkan teman tersebut dengan orang tuanya karena ada kemiripan wajah atau perilaku.
ADVERTISEMENTS
2. Ada teman yang suka sok nasehatin kamu, bilang aja “pi’i de poeng!”
“Heh, kamu belum ngerjain PR? Nanti kena hukum lho!”
“Ah pi’i de poeng!”
Atau
“Jangan mainan tanah, kotor!”
“Pi’i de poeng!”
Ini istilah paling unik yang kamu ingat. Entah apa artinya atau dari mana asal muasalnya, kata-kata ini sangat familiar di telinga anak Malang 90-an. Kata-kata ini diucapkan ketika ada teman yang sok ngurusin urusan kamu dan sok nasehatin. Mungkin kalau dikait-kaitkan, artinya semacam ‘bodoh amat, nggak aku ambil pusing’ gitu ya.
ADVERTISEMENTS
3. Berhasil bohongin teman, bilang aja, “Kecelek bolo pitik”.
Kamu yang suka iseng ngerjain teman, pasti akrab dengan kalimat ‘kecelek bolo pitik’. Kalimat itu yang sering kamu ucapkan dengan lonjak-lonjak gembira ketika temanmu berhasil kamu bohongin. Kecelek dalam bahasa jawa memang berarti kena tipu, sementara ‘bolo pitik’ artinya berteman dengan ayam. Jadi, hubungannya kena tipu dengan berteman sama ayam apa, ya?
ADVERTISEMENTS
4. Musim hujan, paling enak main sepak bola sambil Ote-ote.
Buat kamu cowok-cowok (meski tidak menutup kemungkinan cewek juga pernah), waktu kecil, musim hujan selalu kamu manfaatkan untuk main sepak bola sambil ‘ote-ote’. Apa itu ‘ote-ote’? Dalam istilah Malangan, ‘ote-ote’ ini artinya bertelanjang dada atau tidak pakai baju. Istilah ‘ote-ote’ ini merupakan kata yang berhomonim. Dalam arti lain, ‘ote-ote’ juga dikenal dengan jajanan khas Jawa Timur berwujud gorengan yang sangat enak.
ADVERTISEMENTS
5. Bahasa Walikan yang sekarang juga hits di kalangan anak gaul Jakarta. Tapi kalau Walikan khas Malang, nggak semua kata dibalik.
Ini nih yang menjadi kebanggaan arek Malang: bahasa walikan. Konon, bahasa walikan ini digunakan arek-arek Malang pada saat zaman penjajahan. Ketika itu mereka yang ingin membuat pergerakan menggunakan bahasa walikan agar percakapan mereka tidak dipahami oleh penjajah. Bahasa walikan sekarang juga sudah cukup hits di kalangan anak gaul Jakarta. Perbedaannya, bahasa walikan Malang tidak punya tata bahasa atau aturan yang jelas.
Kata-kata yang dibalik atau bagaimana cara pembalikannya berdasar pada suka-suka dan enak untuk diucapkan. Kadang bahasa yang dibalik berasal bahasa Jawa kadang juga bahasa Indonesia. Contoh saja pada kata genaro ngalam, yang artinya orang malang. Satu ‘ng’ dibalik dan dibaca ‘gen’, sedangkan satu ‘ng’ tetap dibaca ‘ng’. Pokoknya gimana enaknya aja deh!
ADVERTISEMENTS
6. Kata ‘jancok‘ bukan berarti memaki bisa juga sebagai tanda keakraban.
Makian ‘jancok’ juga selalu identik dengan Arek Malang. Kata ini juga muncul karena zaman penjajahan, tepatnya pada saat zaman penjajahan Jepang. Waktu itu, Jepang menerapkan sistem kerja paksa dengan pekerjanya yang disebut romusha. Kepala pengawas romusha ini disebut dengan danco. Saking sebalnya romusha dengan perlakuan pengawas romusha tersebut maka dibuatlah kata ‘danco’ sebagai sesuatu yang menjijikan dan tidak pantas disebut. Semua hal dianggap kurang ajar dan menyebalkan, dimaki dengan kata tersebut. Hingga ada pergeseran kata awalan yang semula ‘d’ menjadi ‘j’. Hasilnya, umpatan tersebut banyak didengar saat ini.
Namun, seiring berjalannya waktu, kata-kata makian tersebut tak lagi berarti memaki. Kata makian tersebut kadang kala malah jadi simbol keakraban. Ibaratnya karena akrab banget jadilah begitu biasa memanggil dengan sebuah kata umpatan. “Hey, yo opo kabare, cok?”
7. Pas bertandang ke rumah saudara di luar kota, pertanyaanmu yang diakhiri dengan ‘a?‘ selalu menjadi bahan tertawaan.
“Kamu kemarin jadi makan bakso a?”
“Jadi pergi besok a?”
“Enggak makan a?”
Pertanyaan yang sifatnya yes-no question selalu kamu tanyakan dengan akhiran ‘a’ tinggi. Ini benar-benar menjadi dialek khas Arek Malang. Ketika sedang main ke rumah saudara, atau waktu awal-awal merantau dari Malang, pasti dialekmu ini selalu jadi bahan tertawaan. Mulanya kamu bingung apa ada yang salah dengan ucapanmu, sampai kamu sadar dialekmu memang berbeda dari teman-teman lain. Tapi, karena dialek itu lah kamu jadi dikenal oleh teman-teman di lingkunganmu yang baru.
8. Saat puasa, kamu suka curi-curi mokel bareng teman-teman.
Kamu selalu tidak tahan menahan haus dan lapar saat puasa, pasti akrab dengan istilah ‘mokel’. Istilah ini artinya membatalkan puasa dengan diam-diam. Jadi, kalau di rumah atau di depan papa mama kamu puasa, tapi waktu keluar rumah sama teman-teman eh kamu makan, nanti sampai rumah pura-pura puasa lagi. Dasar kelakuan!
Beragam istilah Arek Malang yang mungkin pernah menghiasi masa kecilmu. Walaupun nggak benar-benar ngerti apa arti sebenarnya, tetap saja kamu ikut-ikut melakukannya. Kera ngalam, mana suaranya?!