Beberapa hari yang lalu, seorang bernama Chan Tudus di Facebook mengunggah sebuah foto dengan caption yang akan menggugah hati banyak orang. Unggahan tersebut menampilkan foto Riyanto dengan dengan sebuah tulisan berbunyi, “Dia tak perlu fatwa hukum mengucapkan Natal. Dia sudah melampaui semua itu. Yang dia tahu: ini tugas kemanusiaan.”
Melihat unggahan tersebut, saya langsung ingat dengan film “?” garapan Hanung Bramantyo. Sebuah film yang mengisahkan Soleh (Reza Rahadian) sebagai tokoh utama yang memiliki kisah akhir hidup tragis. Dia yang bekerja sebagai Banser NU mempertaruhkan nyawanya demi melindungi banyak nyawa yang sedang beribadah di gereja. Namun setelah saya cari tahu lebih lanjut, Hanung Bramantyo memang terilhami aksi heroik Riyanto untuk film “?”. Daripada penasaran dengan kisah seorang pahlawan kemanusiaan, Riyanto, mending langsung simak aja yuk ulasan yang telah Hipwee Boys kumpulkan dari beberapa sumber!
ADVERTISEMENTS
Kegiatan Misa Natal di Gereja Eben Haezer Mojokerto diganggu kekhusyukannya gara-gara sebuah bungkusan bom. Seorang pemuda lalu ambil tindakan
Malam itu, 24 Desember 2000, Misa Natal berjalan khusyu seperti biasanya. Namun kekhusyukan tersebut hanya berlangsung separuh setelah seorang jemaat menemukan bingkisan di salah satu sudut gereja. Seorang pemuda berseragam hijau loreng memberanikan diri mengecek isi bungkusan tak bertuan tersebut. Tak berbeda jauh dengan kisah yang diceritakan Hanung dalam filmnya.
Dengan sigap, pemuda tersebut membongkar bingkisan yang dilapisi plastik hitam tersebut. Tindakan tersebut dilakukan di depan petugas pengamanan gereja Eben Haezer lainnya, termasuk seorang polisi yang kabarnya berasal dari Polsek sekitar. Riyanto jadi orang pertama yang kaget, sebab ketika membuka bungkusan tersebut, ia menyaksikan juluran sepasang kabel.
Kebetulan, sebuah percikan api muncul dari dalam bungkusan tersebut. Keyakinan sang pemuda, bahwa bungkusan tersebut adalah bom, semakin menjadi terhadap bungkusan tersebut. Pemuda yang belum banyak diketahui namanya oleh para jemaat yang hadir dengan sigap berteriak, “Tiaraaappp!”. Kepanikan terjadi di dalam gereja. Semua orang di sana menganggap hari itu bisa jadi hari terakhirnya hidup.
ADVERTISEMENTS
Pemuda tersebut berinisiatif mengamankan bungkusan bom supaya tak ada korban jiwa. Sayang, Tuhan berkehendak lain
Kepanikan tak luput dari diri pemuda tersebut, apalagi ketika dia keluar ruangan dan langsung melemparkan bungkusan ke tong sampah. Bungkusan tersebut terpental, tapi pergolakan batin mengatakan dia harus berani mempertaruhkan nyawanya demi menyelamatkan banyak nyawa.
Dengan inisiatifnya, pemuda tersebut lalu mengamankan bom dengan memungutnya kembali. Setengah berlari , dia hendak melemparkan bom tersebut ke tempat yang lebih jauh dari keramaian. Namun, Tuhan punya kehendak lain.
“BAM!”
Bom yang masih dalam pelukan pemuda tersebut mendadak meledak sebelum sempat dilempar ke tempat yang lebih aman. Dia meninggal seketika.
ADVERTISEMENTS
Kondisi jenazah begitu memprihatinkan dengan potongan tubuh yang berhamburan. Kepalanya sampai terlempar ratusan meter
Eksplosivitas bom ini tak main-main. Pagar tembok di seberang gereja roboh, kaca-kaca lemari dan etalase sebuah studio yang berada di depan gereja Eben Haezer pun hancur semua. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi pemuda tersebut. Tubuh pemuda tersebut tak hanya terpental, tapi berhamburan. Tiga jam pasca kejadian, beberapa sisa tubuh pemuda tersebut ditemukan berceceran hingga sekitar 100 meter dari pusat ledakan. Sungguh menyedihkan!
Hanya satu hal yang bisa membuat pemuda itu dikenal, yaitu bagian tubuh yang masih terbalut seragam. Pada seragam yang sudah compang-camping dan penuh darah tersebut tertulis nama Riyanto. Nama yang akhirnya kelak pantas mendapatkan gelar pahlawan.
Pada malam Natal itu, Riyanto merupakan satu dari empat orang Banser NU yang ditugaskan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) untuk ikut menjaga keamanan Natal di Gereja Eben Haezer, Mojokerto. Pemuda yang waktu itu masih berusia 25 tahun tersebut memang harus kehilangan nyawanya. Namun kisahnya begitu melegenda di Mojokerto, dan di kalangan NU.
Untuk mengenang pengorbanannya, sisa seragam Riyanto jadi salah satu pengisi diorama di Museum NU Surabaya. Seragam lorengnya memang tampak pucat dengan kondisi compang-camping dan berbekas darah mendiang Riyanto yang masih menempel, tapi bagi siapa pun yang menyaksikan langsung, mereka pasti akan merasakan spirit kemanusiaan sosok Riyanto.
Tentu saja keyakinan orang boleh saja berbeda-beda. Pastinya ada orang yang tak setuju dengan artikel ini dan menganggap apa yang dilakukan Riyanto sebuah hal bodoh karena menyelamatkan orang-orang kafir. Tapi, marilah kita berhenti sejenak dan melihat segala sesuatu dari sudut pandang kita sebagai manusia. Jangan memakai sudut pandang Tuhan yang kita sudah pasti tidak tahu. Apapun itu, Riyanto menyelamatkan banyak nyawa. Dari sudut pandang manusia biasa, tidak ada yang buruk dan tidak ada yang salah dengan apa yang dilakukannya.
Akhir kata, walaupun banyak media yang tak ikut mengangkat kisah ini, Riyanto tetaplah junjungan yang harus ditanamkan spirit-nya di dalam jiwa kita. Dia tak hanya jadi pahlawan bagi nyawa-nyawa selamat dalam kejadian tersebut, tapi juga pahlawan Pancasila dan pahlawan kemanusiaan.