Setiap orang pasti pernah bertanya-tanya kenapa seorang raja selalu memiliki seorang permaisuri dan memiliki begitu banyak selir, yang nggak kalah cantiknya. Dewasa ini, sebagian besar orang pasti merutuki sikap raja yang melakukan poligami ini. Sementara beberapa orang, terutama cowok, akan terkagum-kagum dengan sang raja karena sanggup ‘menghadapi’ begitu banyak cewek dalam hidupnya. Nggak ada yang salah, semua orang berhak menyikapi sejarah itu dengan demokratis.
Tapi kali ini Hipwee Boys akan menanggapi pertanyaan dari para cowok terkait keperkasaan sang raja yang memiliki banyak selir dalam hidupnya. Sebenarnya, selir pada zaman dulu itu bukan hanya mengenai masalah seksualitas bagi sang raja. Lebih dari itu, selir juga dijadikan sebagai alat politik. Penasaran? Nah, langsung simak aja nih, ulasan berikut ini!
ADVERTISEMENTS
Mungkin karena raja memiliki kekuasaan dan kekayaan. Jadi, siapa sih yang nggak mau dinikahi oleh seorang raja, meski nggak secara resmi?
Hal pertama yang sudah pasti mungkin terpikirkan ketika seorang raja memiliki banyak selir adalah karena kekayaan dan kekuasaan sang raja. Memang nggak bisa dipungkiri, begitulah adanya. Bahkan sampai saat ini pun hal itu masih berlaku. Memangnya ada, seorang cewek yang bisa menolak pinangan dari seorang cowok kaya raya dan memiliki jabatan tinggi? Mungkin ada, tapi pasti mereka memiliki alasan lain di luar kekayaan dan kekuasaan tersebut. Kemapanan seorang cowok nggak akan bisa dengan mudah ditolak oleh cewek manapun yang membutuhkan kepastian akan masa depannya.
ADVERTISEMENTS
Yang menjadi sorotan adalah betapa perkasanya raja zaman dulu yang mampu memuaskan begitu banyak selir
Kebayang nggak sih, betapa hebatnya seorang raja yang memiliki seorang permaisuri dan sederet selir? Bahkan, di tanah air pernah mencatatkan rekor seorang Pakubuono X yang memiliki selir terbanyak, tepatnya 40 orang selir, dan memiliki anak lebih dari 60. Sementara Hamengkubuwono II memiliki empat permaisuri dan 26 selir. Tugas mereka jelas melayani raja secara psikologis dan biologis.
Ternyata raja pada saat itu memiliki sebuah cara tersendiri untuk menjadi sekuat itu dalam bertempur, khususnya dalam hal biologis. Menurut buku Gatholoco, Rahasia Ilmu Sejati dan Asmaragama karangan Dhamar Sasangka, raja-raja zaman dulu memiliki sebuah resep keperkasaan yang harus dikonsumsi untuk memberikan kekuatan dalam hal seksual. Raja harus mengonsumsi minuman yang terbuat dari 40 butir merica, 40 lembar daun sirih, dan 40 bawang lanang yang disaring kemudian disaring. Setelah itu, ramuan tersebut harus diembunkan selama semalam, dan pagi siap tenggak. Konon dengan minuman inilah raja biar lebih perkasa di ranjang dengan puluhan selir, sebelum akhirnya berhubungan dengan sang permaisuri.
ADVERTISEMENTS
Sebelum menjadi selir, para gadis ini harus melewati beberapa tahapan yang cukup sulit. Karena nggak semua cewek bisa melakukannya
Seperti halnya mencari istri, raja nggak bisa dengan sembarangan memilih selir untuk dirinya. Biasanya, ketika anak-anak sudah memasuki usia 10-12 tahun, mereka akan membawa anak-anak ke istana untuk mengikuti berbagai rentetan ‘ujian’. Pertama adalah menari Bedhaya, membatik, sopan santun, hingga pemahaman budaya keraton dan masyarakat. Mereka diberikan waktu hingga beberapa tahun, sampai dirasa sudah cukup pantas untuk dijadikan selir oleh raja. Tapi nggak menutup kemungkinan, baru beberapa tahun, raja sudah memilihnya. Ini bukan hanya karena fisiknya yang cantik, melainkan kompetensi dia sebagai calon selir.
ADVERTISEMENTS
Selir bukanlah sekadar simbol keperkasaan belaka. Lebih dari itu, selir dipercaya sebagai langkah untuk menaikkan derajat keluarga
Untuk menjadi seorang selir, nggak semudah yang kita kira. Banyak cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan perhatian dari raja. Seperti sebuah simbiosis, raja dan selir adalah sebuah ikatan yang saling menguntungkan. Oleh raja, meminang atau menjadikan perempuan sebagai selirnya bertujuan agar bisa memperluas daerah kekuasaannya alias ekspansi melalui ikatan darah. Bagi keluarga si calon selir, hal ini bisa meningkatkan derajat keluarga di kalangan masyarakat. Selain itu, memberikan putri mereka dinilai sebagai bukti kesetiaan hamba pada rajanya, serta dapat meningkatkan perekonomian keluarga mereka. Sebab konon, jika selir memiliki seorang anak, dan anak tersebut cowok, mereka akan mendapatkan hadiah dari sang raja. Bahkan, raja pun ‘menafkahi’ mereka setiap bulannya. Orang zaman dulu yang memiliki anak cewek, menjadikan hal ini sebagai peluang untuk “membangsawankan” keluarga mereka. Apalagi kalau dari selir itu memiliki keturunan cowok dari sang raja.
Nah, jadi nggak cuma soal seksualitas aja, ya. Zaman dulu memang, cewek selalu dijadikan sebagai objek dalam masalah apapun. Hanya ‘bungkusnya’ aja yang berbeda-beda. Maka dari itu, nggak heran kalau mulai banyak gerakan yang menentang sikap dan budaya seperti itu. Selir salah satu contohnya.