Dear Pak Ketut,
Senin, 27 Juni 2016, sewaktu lagi asik-asiknya berselancar di dunia maya, saya menemukan sebuah berita yang pasti bikin setiap orang tergelitik. Sebagai salah satu petinggi negara di negeri ini, Pak Ketut, merasa dilecehkan gara-gara sebuah movement yang dilakukan oleh anak-anak muda di Yogyakarta.
Seperti dikutip dari Kompas.com, Bapak I Ketut Darmawahana sebagai Kepala Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah menunjukan pada saya kenapa harus tetap tertawa di tengah macetnya lalu lintas mudik. Pak Ketut mengaku terlecehkan akibat ulah komunitas Jogja Nyah Nyoh (JNN) yang mendahului mereka dalam hal menambal jalanan yang berlubang. Kok bisa terlecehkan gara-gara ini, Pak?
ADVERTISEMENTS
Bahan yang digunakan komunitas penambal jalan dipermasalahkan. Duh, Pak, daripada berlubang ya mending ditambal.
Selain merasa terhina, dalam statement-nya, Pak Ketut juga menekankan kalau bahan-bahan yang komunitas penambal jalan gunakan tak sesuai dengan standar keselamatan. “Saya jamin jalanan yang ditambal komunitas tidak memenuhi syarat. Kami lebih ahli, mereka tidak pakai alat, asal campur beton saja. Padahal, beton itu kaku, sementara aspal fleksibel sehingga tidak nyambung,” kata Pak Ketut dilansir Kompas.com.
Aduh, gimana, ya?! Jujur, saya heran sama Bapak kalau ngomong masalah ini.
Pak, tidakkah bapak melihat banyak jembatan penguhubung desa hasil swadaya masyarakat di daerah-daerah terpencil terbuat dari bambu dan kayu? Meskipun bahan-bahan tersebut gampang rapuh, tapi setidaknya mereka bisa menjalankan aktivitas mereka dengan lancar. Pemerintahnya nggak responsif. Dan ketimbang kudu nunggu lama – plus janji-janji palsu dibangunkan jembatan beton, di tengah matinya aktivitas ekonomi sampai pendidikan, ya, mending pakai bahan yang mudah didapat di desanya dong.
ADVERTISEMENTS
Pak Ketut juga bilang, komunitas-komunitas tersebut hanya mencari sensasi. Supaya banyak orang menilai pemerintah telat.
“Mereka hanya cari sensasi agar kami dibilang terlambat dalam menangani jalan berlubang,” kata Pak Ketut.
Saya juga terkekeh-kekeh mendengar sindiran Pak Ketut terhadap komunitas JNN sebagai pencari sensasi. Bukan cari sensasi sih kalau kata saya, tapi mencari cara menggampar Pak Ketut dan kawan-kawan biar lebih responsif dengan permasalahan jalan.
Saya boleh tanya, Pak? Bolehin ajalah ya. Apakah Pak Ketut punya grup Whatsapp yang berisikan anggota-anggota dan bawahan bapak di Kementerian PU? Kalau nggak punya, pantes aja nggak responsif sama masalah jalan berlubang.
Pemantauan komunitas JNN untuk menambal jalanan yang berlubang sangat simpel, Pak. Mungkin bisa diikuti caranya. Mereka punya cara yang membuat mereka lebih responsif ketimbang Pak Ketut dkk dalam menanggapi jalanan berlubang. Sesimpel ada anggota JNN yang sedang berkendara di jalanan Yogyakarta, kemudian menemukan jalan berlubang langsung dilaporkan ke grup WhatsApp dan beberapa hari kemudian melakukan aksi.
Bapak juga meminta laporan dari masyarakat untuk melapor. Kejauhan, Pak. Mereka pasti pernah punya pengalaman dahulu sehingga malas merengek-rengek minta jalan dibenerin kalau akhirnya sia-sia. Nggak perlu jauh-jauh aduan dari masyarakatlah, Pak. Bawah-bawahan Pak Ketut yang tinggal di tiga provinsi yang bapak maksud – Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur – mungkin ada yang jadi penikmat jalanan berlubang. Hanya saja mereka mungkin malu buat menyampaikannya.
Nih, Pak, kalau Bapak menuduh JNN sebagai pencari sensasi, emang kenapa? Mungkin salah satu indikator keberhasilan mereka, selain membuat jalan menjadi tak berlubang, adalah menyampaikan keresahaan masyarakat lewat aksi hingga menggaet perhatian media massa. Media massa tahu dan mengatakan sebenarnya apa yang terjadi di masyarakat.
Pantaslah, saya ucapkan selamat untuk para penggiat komunitas JNN karena aksinya berhasil menampar pemerintah. Tak lupa, selamat juga untuk media massa karena telah berhasil menjalankan salah satu fungsi penting sebagai media, yaitu kontrol sosial.
ADVERTISEMENTS
Pak Ketut, coba deh tiru pemerintah Yogyakarta. Mereka merangkul komunitas penambal jalan, bahkan hingga diberi bantuan kendaraan operasional.
Jangan gampang terlecehkan, Pak. Buat referensi Pak Ketut, saya kasih punya contoh perlakuan baik pemerintah provinsi DI Yogyakarta terhadap komunitas yang peduli dengan permasalahan jalan berlubang. Siapa tahu Pak Ketut bisa lebih terbuka ‘kan pikirannya?
Beberapa waktu yang lalu, sebuah komunitas Jogja Nyah Nyoh (JNN) mendapat apresiasi dari pemerintah provinsi DI Yogyakarta. Komunitas JNN punya sebuah kegiatan rutin yang mereka namai Rabu Krowaks. Isi dari kegiatan tersebut adalah penambalan jalan berlubang di kota secara swadaya setiap Rabu Malam.
Kalau ada pembaca surat ini yang kebetulan orang Yogya, lalu melihat ada jalan berlubang dan besoknya sudah tertambal dengan semen, berarti itu bekas jejak aksi dari komunitas JNN. Tujuannya tak lain agar pengguna jalan bisa menikmati jalan dengan lancar dan terhindar dari kecelakaan akibat gigi jalan berlubang.
Eh, jangan pergi dulu, Pak Ketut. Belum selesai nih nulisnya. Jadi beberapa waktu lalu komunitas tersebut diundang Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan mendapat bantuan kendaraan operasional dari gubernur, berupa motor niaga.
Jadi jangan merasa dilecehkan, Pak Ketut. Sri Sultan Hamengku Buwono X juga menyarankan komunitas JNN supaya menjalin kerjasama dengan Dinas PU setempat dan melakukan bimbingan teknis kepada komunitas JNN. Tuh ‘kan, disuruh kerjasama dengan anak buah Pak Ketut. Eh, Pak Ketutnya malah merasa tersinggung. Harusnya bersyukur, Pak. Itu tandanya ada yang mau bantu Pak Ketut buat mengatasi salah satu masalah perbaikan jalan.
Buat menangkap pencuri yang lagi beraksi di kampung sendiri, kita juga bisa kok, Pak. Daripada nunggu polisi datang buat nangkap dia, ya, keburu kaburlah. Intinya sih jangan sensitif Pak jadi orang. Terlalu sensitif memang bikin orang gampang terlecehkan atau tersinggung. Dan pada akhir surat ini, saya hanya bisa mengucapkan minta maaf kalau banyak redaksional yang saya gunakan di sini bikin Pak Ketut terlecehkan~
Salam.