Seperti kepergian, kematian memanglah sesuatu yang susah untuk diterima. Tapi mau tidak mau, kita harus merelakan. Sebab hanya dengan begitu, kita bisa belajar bagaimana menjadi pribadi yang tabah dan sadar, bahwa segala yang kita miliki hanyalah sebuah titipan.
Seperti kepergian ibu dua bulan lalu yang harus kita ikhlaskan. Aku tak yakin bisa melewati hari tanpa ibu, hanya bertiga dengan adik perempuan dan ayahku. Apa yang bisa kami lakukan? Belum lagi, ayah, mengatakan pada kami untuk menikah lagi. Dua bulan kepergian ibu, ayah ingin menikah lagi. Jelas, ini hal yang tak bisa kuterima begitu saja!
ADVERTISEMENTS
Ayah, kau pria yang sangat tidak menghargai kepergian ibu. Ketika kami masih berat mengikhlaskan, kau malah asyik pacaran
Kalau boleh dibilang, ayah memang bukanlah seorang pria yang bisa menghargai kepergian ibu. Jelas, kami marah besar dengan keputusanmu; menikah dengan wanita lain dua bulan setelah ibu meninggal. Apa kau tak mengerti bagaimana hancurnya perasaan kami? Seperti jatuh, tertimpa tangga, tertimpa nelangsa. Sementara kami berkutat dengan kesedihan, kau malah asyik pacaran.
ADVERTISEMENTS
Kau pikir ibu tak tak sedih dengan semua perbuatanmu seperti itu? Begitu mudahnya kau berpindah hati!
Mungkin kalau ibu bisa melihat perbuatanmu dari dunianya sana, pasti ibu sangat terpukul. Baru dua bulan kepergian ibu, kau telah mendapatkan penggantinya, dan memutuskan untuk menikahinya. Mungkin juga kecewa yang ibu rasakan. Sebab perhatian dan kasih sayang ayah harus terbagi lagi, untuk anak-anaknya dan untuk kekasih barunya. Begitu mudah mendapatkan pengganti ibu, ya?
ADVERTISEMENTS
Tapi kini kami sadar, memosisikan diri seperti Ayah. Pria memang akan selalu membutuhkan wanita, terlebih di usia senja
Setelah beberapa saat amarah kami meluap pada ayah, aku menyadari satu hal tentang kehidupan seorang pria. Di usia yang tak lagi muda, seorang pria memang akan selalu membutuhkan pendamping untuk menjalani hari-harinya. Aku juga sadar, apa yang dibutuhkan seorang pria ketika usia telah senja? Hanya duduk di teras rumah bersama seseorang yang memiliki kedekatan emosional dengan berbincang berbagai persoalan. Entah membicarakan anak-anaknya, atau pula membicarakan masalah politik dalam negeri yang tak ada habisnya. Aku sadar itu, Ayah.
ADVERTISEMENTS
Aku pun sadar, meski ada kami di sisimu, tapi tak selamanya kami bisa menjagamu. Ada keluarga kecil yang juga harus kami jaga sendiri
Kini aku bisa menerima keputusanmu, Yah. Meminta izin pada kami untuk kau menikah lagi dengan wanita pilihanmu setelah kepergianmu adalah hal yang logis, masuk akal, dan sangat berterima. Ya, ya, ya, aku sangat paham dan bisa menerima itu.
Sebab, mau bagaimana juga, kami tak akan bisa selalu menjagamu. Meski kami akan ada di setiap langkahmu, tapi kami kelak akan memiliki keluarga sendiri yang juga perlu kami jaga. Terlebih aku lelaki, harus menjaga istri dan anak-anakku kelak, seperti kau menjaga kami waktu lalu.
ADVERTISEMENTS
Tapi pesan kami, cobalah cari pendamping yang serupa ibu, sosok wanita sederhana yang sangat sayang pada keluarga
Sebelum kuakhiri surat ini, Ayah, izinkan kami menyampaikan sebuah doa untukmu. Sejatinya kami hanya mengharapkan satu hal padamu, tentang wanita pilihanmu yang akan segera kau nikahi itu. Besar harapan kami, dia bisa menjadi sosok serupa ibu. Paling tidak, dia bisa menjadi wanita sederhana yang penuh cinta pada keluarga. Paling tidak, dia bisa mencintaimu dengan sangat sederhana, sebagaimana ibu melakukannya untukmu sepanjang hayatnya.
Kurasa terlalu berlebihan kalau beberapa waktu lalu kami begitu menentang dan mengecam keputusanmu untuk menikah lagi. Tapi kini kami sadar, setiap pria akan selalu membutuhkan wanita di sampingnya hingga usia senja. Maafkan kami yang telah menaruh kecewa karena emosi semata. Semoga kau tetap bahagia di sisa waktu ini, Ayah.
Dari,
Anak lelakimu yang beranjak dewasa