Bagi beberapa orang, tiada bulan yang paling romantis ketimbang bukan Februari. Nuansa kasih sayang begitu melekat. Wajar jika produser film Fifty Shades Darker, sebuah film sekuel Fifty Shades of Grey, memilih momen hari kasih sayang sebagai waktu launching filmnya tersebut. Namun sayangnya, banyak orang di Indonesia pesimis film tersebut bakal tayang di Indonesia. Pasalnya, Fifty Shades Darker diprediksi memiliki banyak adegan seksual di dalamnya, sehingga wajar jika banyak pihak yang meragukan Lembaga Sensor Film (LSF) bakal mengizinkan film tersebut ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia.
Namun kali ini, Hipwee Boys mau ngasih alasan ah kenapa film Fifty Shades Darker harusnya tayang di Indonesia. Setuju atau nggak, ya, nanti tergantung individu masing-masing saja. Daripada panjang lebar, langsung simak aja yuk, pembahasannya!
Yakin, film ini bikin penasaran banyak orang. Masa harus menunggu sampai ada bajakannya. Pelarangan justru jadi efek buruk, lho
Film pertama, Fifty Shade of Grey, sebenarnya bisa saja tayang di Indonesia, tapi kala itu Lembaga Lulus Sensor (LSF) tak mengizinkannya. Namun minat pecinta film untuk menonton film tersebut tak hilang. Beberapa orang bahkan sampai ada yang terbang ke Singapore demi menyaksikan Fifty Shades of Grey. Sisanya, mereka menonton film tersebut secara ilegal, termasuk menonton via layanan nonton film secara streaming.
Berdasarkan data yang Hipwee Boys peroleh dari situs Bioskop Keren, ada sekitar 289 ribu orang yang telah menonton film tersebut secara ilegal. Bayangkan, itu baru satu situs, belum situs-situs penyedia nonton film streaming. Nah, nasib serupa diprediksi bakal menaungi perjalanan Fifty Shades Darker. Takkan diizinkan LSF tayang, tapi bakal tetap memancing orang untuk menonton, termasuk secara ilegal. Ini jelas jadi tindakan yang paradoks. Katanya memerangi pembajakan, tapi malah menikmati hasil pembajakan.
Sudah saatnya berhenti melihat film cuma dari satu sisi saja. Film adalah sebuah karya seni, termasuk Fifty Shades of Grey. Lagipula ini bukan film porno kok
Persis seperti film pada umumnya, Fifty Shades Darker adalah sebuah karya seni. Para produser jelas tak ujug-ujug dalam menciptakannya. Ada beberapa elemen yang turut membangun sebuah film, seperti narasi, dialog, artistik, teknik kamera, sampai teknik pencahayaan yang membuat film tersebut layak disebut karya seni. Jadi salah jika kamu hanya memandang Fifty Shades Darker sebagai film yang cuma menonjolkan adegan porno. Lagipula, jika dibandingkan dengan film-film semi lain, seperti Blue is The Warmest Color atau The Dreamer, film Fifty Shades of Grey (film sebelumnya dari Fifty Shades Darker) bisa dibilang tak terlalu syur. Lalu, bukankah setiap film biasanya punya pengkategorian soal batas umur? Jadi nggak terlalu bermasalah juga jika yang nonton itu mereka yang wajib telah memenuhi batasan umur.
Menanti cerita yang bakal disuguhkan. Film jelas akan terasa lebih mengena ceritanya jika didukung oleh fasilitas keren di bioskop
Fifty Shades of Grey berhasil membuat banyak penonton di seluruh dunia tertarik. Kisah romansa yang dibarengi oleh kelainan seksual sadomasokis membuatnya jadi berbeda dengan film-film lainnya. Sejumlah pihak bahkan berani menilai bahwa film tersebut lebih baik dari novelnya. Sebuah anomali yang jarang ditemukan dalam film adaptasi. Sebuah media internasional, The Guardian, jadi salah satu pihak yang setuju, dan mengatakannya, “Lebih baik daripada adaptasinya (novelnya)”.
Hal ini tentu bikin orang-orang yang pernah menonton film Fifty Shades of Grey penasaran dengan sekuel filmnya. Membuat sekuel sebuah film merupakan sebuah pertaruhan, lantaran banyak contoh film sekuel yang tak sebagus film pertamanya. Tak heran jika banyak orang menunggu cerita selanjutnya dengan dukungan visual dan audio yang mengesankan lewat fasilitas bioskop. Ini jadi salah satu alasan urgensi film Fifty Shades Darker tayang di Indonesia. Bayangkan jika film La La Land tak ditayangkan di bioskop Indonesia. Kita takkan merasakan pengalaman menonton bioskop rasa drama teater yang mengesankan.
Pada akhirnya, keputusan ada pada pihak yang berwenang soal Fifty Shades Darker. Kami cuma mau mengungkapkan apa yang ada di pikiran saja soal pesimisme para pecinta film tentang kemungkinan tayang Fifty Shades Darker di Indonesia. Lagian, memangnya orang Indonesia ini makhluk tak punya otak yang pasti akan melakukan kejahatan seksual setelah melihat film ini apa? Nggak juga, ‘kan? Selain itu, dalam beberapa sisi, padahal film-film superhero dari Marvel yang kental dengan doktrin superioritas barat malah justru lebih bahaya dibanding film ini. Kalau menurutmu gimana? Ditunggu pendapatnya di kolom komentar, ya!