Tiga setengah abad lamanya rakyat Indonesia berjuang dan melawan penjajah untuk mendapatkan kemerdekaan. Dari lamanya waktu tersebut, kisah perjuangan bangsa Indonesia dalam usahanya meraih kemerdekaan tentu bukanlah cerita yang bisa habis diceritakan semalaman. Dan bisa jadi juga bahasan lengkap tentang peristiwa Sumpah Pemuda tak akan bisa habis diceritakan semalaman.
Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, sebenarnya banyak yang bisa dibahas tentang peristiwa yang jadi titik krusial perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan tersebut. Namun sebenarnya ada satu hal menarik yang luput dari perhatian kita. Pernah nggak sih berpikir, “Kenapa Sumpah Pemuda? Kenapa nggak Sumpah Pemudi?”
Nah kali ini Hipwee Boys mau ajak kalian untuk sedikit mengulasnya. Mulai dari sudut pandang sejarah sampai sudut pandang gender yang memang pada saat itu perempuan Indonesia belum mendapatkan ruang yang cukup luas di kancah politik nasional. Yuk segera kita simak aja gimana pembahasan yang sudah dihimpun oleh Hipwee Boys.
ADVERTISEMENTS
Menurut Sejarah, minimnya jumlah perempuan yang terlibat pada kongres menjadi alasan kenapa nggak ada nama ‘Pemudi’ di ‘Sumpah Pemuda’
Banyak yang bertanya: kenapa tak Sumpah Pemudi atau minimal penggabungan keduanya Sumpah Pemuda-Pemudi? Seorang sejarawan asal Universitas Padjajaran, Agung Nugroho, telah memberikan analisisnya dan berusaha menjawab pertanyaan tersebut. Dia mengatakan bahwa perempuan memang nggak terlalu menonjol soal perannya pada Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928.
“Peran perempuan belum terlalu menonjol pada saat itu, karena itulah mengapa cenderung disebut Kongres Pemuda ataupun Sumpah Pemuda, bukan pemudi,” ungkapnya kepada Antara News.
Lebih lanjut Agung menjelaskan, bukan berarti tak ada peran perempuan dalam peristiwa tersebut. Setiap orang, termasuk para pemudi yang ikut kongres, memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya di sebuah rapat umum (vergadring) dalam kongres.
Dalam sebuah buku resmi Panduan Museum Sumpah Pemuda, tak banyak orang yang tertulis namanya di memoar tersebut. Dari sekitar 700 orang yang hadir pada kongres tersebut, yang tercatat hanya 82 orang. Dan dari 82 orang tersebut, hanya ada enam orang perempuan. Mereka adalah Dien Pantow, Emma Poeradiredjo, Jo Tumbuan, Nona Tumbel, Poernamawoelan, dan Siti Soendari.
ADVERTISEMENTS
Kondisi pada masa itu beda dengan sekarang. Perempuan tak seluas sekarang ruang geraknya. Pidato para pemudi di Kongres Pemuda II ini jadi bukti
Minimnya kontribusi di zaman perjuangan dahulu diyakini karena adanya ketidakadilan pandangan. Kesetaraan gender pun belum dijunjung tinggi seperti pada masa sekarang. Kita bisa merasakan kenyataan tentang minimnya peran perempuan pada pidato yang terjadi di kongres kedua.
Dari enam perempuan yang disebutkan tadi, hanya tiga orang – Emma Poeradiredjo, Poernamawoelan, dan Siti Soendari – yang ikut menyampaikan pendapatnya lewat pidato. Sebagian besar dari mereka mengajak perempuan terus ikut andil dalam upaya persatuan dan kesatuan Indonesia dalam rangka meraih kemerdekaannya.
“Siti Soendari berbicara dalam bahasa Belanda yang diterjemahkan oleh Muhammad Yamin. Dia menanamkan bahwa rasa cinta tanah air terutama pada wanita harus ditanamkan sejak kecil dan bukan untuk pria saja,” tulis Mardanas dalam memoar yang ditulisnya, ‘Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda’.
Sedangkan Emma Poeradiredjo, aktivis Jong Islamieten Bond cabang Bandung, diceritakan berpidato tentang andil perempuan. Menurut Mardanas, Emma Poeradiredjo mengajak perempuan agar terus ikut andil dalam pergerakan.
“Ia menganjurkan kepada para wanita agar tidak hanya terlibat dalam pembicaraan, tetapi harus disertai perbuatan,” lanjut Mardanas.
Pada keesokan harinya, tepatnya sidang kedua, Poernamawoelan mendapatkan kesempatan berpidato. Berbeda dengan dua perempuan sebelumnya, Poernamawoelan yang memang seorang guru, berbicara tentang pendidikan.
Dari pidato Emma Poeradiredjo dan Siti Soendari, kita bisa melihat bahwa peran perempuan memang masih sangat minim pada masa itu. Poernamawoelan tak kalah garang lewat sorotannya dari sisi pendidikan. Lalu kira-kira kenapa bisa, di masa perjuangan, perempuan tak banyak andilnya?
ADVERTISEMENTS
Domestikasi perempuan pada zaman itu membuat para perempuan nggak punya kesempatan buat ikut berjuang
Ketidaksetaraan gender di masa itu sudah dimulai dari dalam rumah semua orang. Para orangtua pada masa itu kerap memposisikan perempuan jauh di belakang laki-laki. Jika kembali ke masa lalu, mungkin perempuan akan mendengar ucapan dari orangtuanya seperti, “Sudah kamu di rumah saja! Tak usah kau ikut-ikut urusan laki-laki.”
Lho? Padahal merebut kemerdekaan ‘kan sudah jadi tugas semua rakyat Indonesia?
Pernah mendengar istilah ‘dapur, sumur, kasur’? Itulah tiga hal yang diidentikan dengan kaum perempuan di zaman dahulu. Perempuan hanya diberi wewenang untuk mengurusi tiga hal tersebut. Hal-hal lain seperti pendidikan atau pekerjaan dianggap tak penting bagi perempuan. Biar laki-laki saja yang mengurus itu. Mungkin hal inilah yang membuat R.A. Kartini jengah dan tak pernah lelah memperjuangkan kebebasan dan persamaan hak perempuan dengan laki-laki.
Kalau ini terjadi pada zaman egaliter seperti sekarang ini, domestikasi atau nasihat perempuan agar hanya mengurusi urusan ‘dapur, sumur dan kasur’ bisa langsung dikecam aktivis.
Kebebasan perempuan dan persamaan hak dengan laki-laki pada masa sebelum kemerdekaan mungkin masih menjadi hal tabu. Kalau tak percaya, baca saja memoar tentang R.A. Kartini. Ada banyak cerita tentang ketidakadilan pada perempuan, seperti pergaulan dan pendidikan yang dibatasi. Beberapa catatan sejarah menjelaskan kaum lelaki bisa lebih mudah mendapatkan pendidikan di Sekolah Rakyat dan membiarkan perempuan terkubur dalam kebutahurufan.
Itulah yang jadi alasan kenapa tak ada nama pemudi di kata Kongres Pemuda atau Sumpah Pemuda yang jadi tonggak penting perjuangan kemerdekaan. Namun yang pasti, kita tak bisa mengelak bahwa perempuan punya andil penting dalam beberapa peristiwa yang terkait dengan perjuangan kemerdekaan. Selain R.A. Kartini, ada nama Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, Martha Christina Tiahahu dan lain-lain yang pernah ikut berjuang untuk Indonesia.
Pada masa kini, perempuan lebih bebas. Tak ada batas ruang gerak bagi perempuan untuk terlibat di dunia pendidikan, politik, ekonomi maupun budaya. Perempuan sudah bisa sejajar dengan laki-laki. Andai saja kongres pada masa itu terjadi di zaman sekarang, bisa jadi bakal banyak perempuan yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Dan ketika hanya ada nama pemuda dalam ‘Kongres Pemuda’ atau ‘Sumpah Pemuda’, sangat mungkin banyak kaum perempuan yang protes kenapa tak ada nama kaumnya di nama sumpah tersebut.