Pernikahan memang sebuah hal yang cukup sensitif untuk dibicarakan. Selain karena memang ini sangat personal, pernikahan adalah sebuah bentuk hubungan yang pastinya berbeda antara satu dengan lainnya. Variabel yang terlibat dalam pernikahan sangat banyak dan oleh karena itu akan sangat sulit untuk membicarakan pernikahan secara utuh. Jangan mengkritik, membicarakan saja sudah sangat sulit. Jadi artikel ini bukan tentang mengkritik pernikahan siapapun, hanya tentang melihat sesuatu dari sudut pandang yang cukup awam, karena saya sendiri belum menikah.
Berbicara masalah tradisi pernikahan di Indonesia, banyak yang bisa kita jadikan tema. Mulai dari biaya pesta yang bisa dibilang sangat besar hingga usia pernikahan. Berbicara masalah usia pernikahan, akhir-akhir ini ada dua buah fenomena pernikahan muda yang muncul di media massa. Alvin sang anak kiai yang menikah muda dan Dian Pelangi seorang tokoh fashion Indonesia yang bercerai setelah sebelumnya menikah muda juga. Tapi ini bukan tentang mengkritik atau menyalahkan keputusan apapun yang mereka ambil, artikel ini berisi ketakutan dan sekaligus imbauan pada orang-orang untuk melihat fenomena tersebut dengan bijaksana.
ADVERTISEMENTS
Menikah muda tidak buruk, asalkan yang menikah sudah cukup dewasa untuk bertanggung jawab
Hukum di Indonesia menyarankan batas bawah usia pernikahan adalah 23 untuk cowok dan 21 untuk cewek. Hukum ini pastinya dibuat bukannya tanpa alasan. Mungkin, salah satu alasannya adalah rata-rata anak zaman sekarang baru matang di usia itu. Mungkin hukum ini bisa jadi berubah nanti saat usia kematangan orang-orang Indonesia juga berubah. Aturan ini mungkin dibuat untuk membuat pernikahan tidak diserahkan pada faktor keberuntungan saja.
Banyak orang yang berhasil menikah muda, tapi apakah semua orang seberuntung mereka? Tidak ada jaminan bahwa menikah muda pasti berhasil dan bahkan secara psikologis lebih baik dari yang menikah di usia matang. Sebaliknya, tidak ada jaminan juga kalau yang menikah di usia matang pasti berhasil. Namun, usia itu dibuat untuk meminimalisir faktor keberuntungan. Karena nggak semua orang seberuntung itu.
ADVERTISEMENTS
Lihatlah fenomena Alvin secara utuh. Apakah kita semua benar-benar bisa melakukannya?
Pernikahan yang dilakukan oleh Alvin si anak pak kiai itu sudah pasti sangatlah bagus jika dilihat dari sudut pandang psikologis. Tetapi orang juga tidak bisa dengan serta merta menirukan itu demi keselamatan akhirat. Dia bisa menikah muda, dan mungkin saja akan bahagia selamanya, karena dia punya modal untuk itu. Mungkin secara mental dia memang sangat dewasa. Secara finansial jelas dia sudah sangat kuat karena sokongan orangtuanya.
Yang mengkhawatirkan adalah bahwa orang Indonesia sering melihat sesuatu secara parsial. Mereka mungkin akan melihat ini hanya sebagai fenomena teologis, padahal di sisi lain, bisa jadi pernikahan dini ini adalah sebuah tragedi publikasi yang bisa disalahartikan oleh banyak sekali orang. Gimana kalau ada orang yang ingin menirunya tanpa memikirkan background finansial mereka? Mau dikasih makan apa keluarganya. Iya tahu bahwa segala rezeki sudah diatur Tuhan, tapi apakah itu bisa dijadikan alasan untuk seenaknya sendiri mengambil keputusan sebesar ini. Di lain sisi, katakanlah ada keluarga yang baik-baik saja saat berangkat dari situasi nol, bukankah secara logika keluarga tersebut akan lebih baik lagi saat berangkat dari kondisi yang lebih baik. Beragama tidak harus membuat orang berhenti berpikir lho. 😀 😀
ADVERTISEMENTS
Pernikahan dan masa depan bangsa ini sangat terkait. Jangan dilihat secara terpisah
Akan sangat baik jika orang tidak bersikeras menikah muda hanya karena menjaga nafsu saja karena pernikahan tidak berhenti pada pemenuhan nafsu saja. Seperti kata Dian Sastro bahwa ibu haruslah cerdas karena mereka dibutuhkan untuk mendidik anak-anaknya, apa jadinya jika seseorang yang secara mental belum cukup mampu mendidik anak tapi sudah punya anak? Kalau hanya satu dua yang seperti itu sih nggak masalah, tapi gimana jika ada 100 ribu pasangan yang melakukan itu dan tiap pasangan punya 2 anak, berarti akan ada 200 ribu generasi setelah kita yang tidak dididik dengan benar oleh orang tuanya.
Ketakutan ini tentu saja akan bisa dipandang sebagai sebuah parnoia yang tak beralasan, namun apakah hal yang ditakutkan di atas benar-benar tidak mungkin terjadi? tentu saja ada kemungkinan seperti itu. Lagian, jika takut tidak bisa menjaga nafsu, maka hina sekali makna pernikahan, hanya untuk menjaga nafsu manusia. Apa iya fungsi pernikahan sesepele itu?
Artikel ini bukan dibuat untuk mengkritik atau menakut-nakuti. Artikel ini dibuat untuk menjadi pendamping dalam melihat fenomena pernikahan muda di Indonesia. Jangan takut nikah muda, namun juga jangan buru-buru nikah muda. Kuncinya adalah kematangan pola pikir dan kesadaran sekaligus kesiapan untuk membentuk generasi berikutnya yang lebih bagus. Dian Pelangi tidak bercerai karena menikah muda, jadi jangan takut. Hanya saja, tolong jika ingin menikah muda, jangan menjadikan ajaran teologis sebagai satu-satunya pertimbangan dalam melakukan itu. Pertimbangkan juga lainnya seperti kematangan mental, finansial, tanggung jawab dan lainnya. Karena menikah tidak sebercanda itu. 😀