3 Alasan Kenapa Kita Harusnya Mencaci Timnas Kita yang Juara Dua. Demi Kebaikan Indonesia Juga!

Pagelaran sepak bola dua tahunan antarnegara di ASEAN, Piala AFF, telah usai. Lagi-lagi, rakyat Indonesia dibuat sakit hati karena tim andalannya hanya jadi nomor dua. Tanya saja setiap orang, apakah ada orang yang suka jadi nomor dua? Pasti nggak bakal ada.

Bayangkan saja, lima kali final yang berhasil ditembus Indonesia, lima kali pula kita harus puas dengan status runner-up. Piala AFF sendiri baru 11 kali digelar. Itulah faktanya. Alih-alih kata-kata bernada kekecewaan yang terlontar, orang-orang di negeri ini, terutama para netizen, malah berlomba-lomba memberikan pujian. Media massa pun melakukan hal yang sama. Banyak media besar juga memberikan pujian atas perjuangan tim nasional Indonesia. Dalam sebuah data yang Hipwee Boys peroleh dari laman Tirto.id, 71 persen dari 664 artikel yang beredar memiliki sentimen positif. Sebanyak 12 persen sentimennya netral, sedangkan sisanya jadi jatah sentimen negatif. Nah, alih-alih memberikan pujian, kali ini Hipwee Boys ingin membahas tentang dampak negatif dari pujian berlebihan yang diberikan oleh masyarakat Indonesia dan media nasional. Yuk, langsung simak aja pembahasannya!

 

ADVERTISEMENTS

Masyarakat Indonesia terlalu berlebihan dalam memberikan apresiasi atas penampilan timnas yang kalah dari Thailand. Padahal mainnya jauh dari kata bagus

Terima kasih mah tetep, tapi juga jangan lupa kita bantu kontrol

Terima kasih kasih dan besok lagi harus main lebih bagus! via kendaripos.fajar.co.id

Semenjak pertandingan semifinal melawan Vietnam, penampilan Indonesia bisa dibilang di bawah penampilan lawannya. Dari segi penguasaan bola sampai hal yang paling umum seperti konsep permainan, performa Indonesia jauh sekali dari yang diharapkan. Sebelumnya, permainan timnas di babak grup pun cukup mengerikan. Kalau Filipina bisa menang lawan Thailand, laju Indonesia bisa terhenti.

Gol-gol timnas pun rata-rata diciptakan dari serangan balik, bola mati dan bumbu-bumbu keberuntungan. Saat final leg pertama, dan utamanya leg kedua, Indonesia bermain dengan kreasi yang minim. Sejak peluit pertama ditiup, Indonesia lebih memilih bertahan total. Boaz – orang paling depan dalam formasi tim – kerap ikut bertahan. Sehingga ketika pemain belakang melepas bola ke depan, bola sering hilang begitu saja, karena yang menerima bola adalah tim lawan.

Celakanya, masyarakat Indonesia ini terlalu berlebihan dalam mengapresiasi sehingga lupa memberi kritikan yang seharusnya dilontarkan. Budaya toleran terhadap sebuah keburukan sudah terlanjur melekat dalam diri kita. Padahal kalau boleh dibilang, permainan timnas Indonesia pada ajang AFF tahun ini, jauh dari kata bagus. Konsep permainan Indonesia bisa dibilang jauh di bawah Vietnam dan Thailand.

ADVERTISEMENTS

Seorang mantan pemain yang kini sudah menjadi pakar sepak bola mengakui kalau dia bisa lebih terlecut karena adanya makian dari suporter

Cacian dapat menjadi lecutan

Cacian dapat menjadi lecutan via assets.kompas.com

Dalam kasus ini, Indonesia tak ubahnya Inggris. Sebuah negara yang katanya besar dalam sepak bola, tapi minim prestasi. Indonesia dan Inggris memang pernah berjaya, tapi itu cerita di masa lalu. Beberapa pakar sepak bola, baik itu mantan pemain sampai pelatih, menghubungkan kemunduran prestasi timnas Inggris dengan bentuk dukungan suporter yang ada di Inggris. Marcel Desailly, Pemain Perancis yang pernah bermain di Chelsea mengkritik cara pandang suporter Inggris dalam menunjukkan rasa cintanya terhadap tim. Inilah yang terjadi di Indonesia ketika timnas bermain.

“Di Inggris ketika kamu melakukan tendangan dari jarak 36 meter dan tendangan itu melenceng dari gawang, para penonton akan tetap bersorak dan memberikan tepuk tangan. Kenapa? Karena fans Inggris mengapresiasi sebuah usaha dan selalu berterima kasih atas apapun usaha yang dilakukan oleh pemain,” katanya.

Keadaan berbeda terjadi di Italia. Suporter di sana tak segan-segan untuk mencaci para pemain, pelatih, hingga pemilik klub, ketika keterpurukan terjadi di timnya. Di Italia, kata Desailly, jika kamu menembak dari jarak 36 meter meskipun itu gol, kamu akan dikritik oleh fans dan rekan kamu sendiri.

“Lho ’mengapa kamu tak mengoper? Mengapa kamu begitu egois? Bla-bla-bla.’ Fans di Italia selalu merasa lebih tahu dibandingkan pemain itu sendiri. Mereka tak berhenti mengkritik,” ucap Desailly seperti dikutip Pandit Football .

Namun atas dasar preferensi pribadi, Desailly lebih memilih budaya fans Italia ketimbang banjir puja-puji di kultur sepak bola Inggris. “Sejujurnya saya lebih memilih cara Italia. Di Inggris, selalu menyenangkan jika dielu-elukan sepanjang pertandingan. Berbeda dengan Italia, ketika fans menyoraki siapa pun itu bukan hal yang sama. Ketika fans Italia mengelu-elukan, kamu tahu itu berarti hal yang spesial, karena mereka berpengetahuan,” sambung Desaily.

ADVERTISEMENTS

Dukungan memang dibutuhkan demi moral tim, tapi kalau pujian menjadi sesuatu yang berlebihan, lama-lama bisa jadi penyakit

Jangan terlalu mengelu-elukan

Jangan terlalu mengelu-elukan via assets.kompas.com

Mumpung masih hangat, Hipwee Boys mengajak segenap masyarakat Indonesia untuk mengkritik, atau kalau perlu mencaci, timnas Indonesia yang kembali kalah di final Piala AFF. Toh bukankah tak selamanya kritik itu bisa membuat tim kita menjadi lebih baik karena ada kontrol yang didapat dari pihak eksternal, seperti suporter?

Kadang ungkapan “If you can’t support us when we lose, you can’t support us when we win” tak selalu relevan jika kita artikan secara harfiah. Sebab memberikan dukungan berupa kritik dan cacian pun itu bisa jadi sebuah dukungan. Bukankah marahnya orangtua – yang bahkan bisa terlontar dalam bentuk caci maki hingga kontak fisik – saat kita berbuat nakal merupakan sebuah bentuk rasa sayang?

Harusnya timnas Indonesia meniru timnas Italia, bukan timnas Inggris. Suporter Inggris sering menyamakan pertarungan di lapangan layaknya pertarungan yang mereka pergi dengan prinsip lebih baik mati dari pada menyerah di medan perang. Meskipun tumbang, para pemain akan mati dengan tenang. Sebab dia tahu telah berjuang dengan jujur dan memberikan segalanya.

Sementara Italia, dan banyak negara Latin lainnya, mereka memandang sepakbola sebagai pertarungan di hutan rimba — seperti film The Hunger Games, di mana survive dinilai lebih penting ketimbang menjaga nilai-nilai. Mereka akan menggunakan segalanya untuk tidak kalah.

Kita — sebagai penonton — memang tak tahu caranya bermain, tapi setidaknya kita tahu lewat mata dan pikiran kita sendiri bahwa ada sesuatu yang salah dalam diri timnas. Terlalu banyak dipuji malah bisa membuat seseorang, atau lebih dari seorang dalam hal ini, lalai dan malah keenakan. Para pemain khususnya bisa berpikir, “Ah, aku juara dua aja dipuji-puji. Santai aja.”

Di samping rasa terima kasih yang memang patut kita lontarkan pada para pemain, jangan lupa juga kalau kita punya tanggung jawab untuk mengingatkan mereka.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

A brocoli person.