Buy Me a Boyfriend chapter 6 by Desy Miladiana | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Tak ingin menjadi penghalang kisah cinta Andro, Amira bertekad untuk mengakhiri kesepakatan mereka. Bagaimana dengan Andro?
***
Satu jam setelah teleponnya dengan Andro, Amira terus menangis sesenggukan tanpa henti. Dia yang mengakhiri hubungan, dia juga yang merasa begitu menyedihkan. Padahal kalau dipikir-pikir mereka memang tak pernah memiliki hubungan apa pun, hanya kerja sama yang tidak dilanjutkan.
Niat Amira baik, membebaskan Andro demi kebahagiaan pria itu. Tidak mau juga hubungan mereka terjalin semakin dalam, lalu sulit dilepaskan saat pada akhirnya Andro memutuskan untuk pergi. Jadi, perpisahan ini adalah yang juga baik untuknya di masa yang akan datang.
Suara ketukan keras menahan isakan Amira. Tak lama disusul teriakan, “Amira, buka pintunya!”
“Andro,” bisik Amira.
Untuk sesaat wanita itu terdiam. Diliriknya jam dinding, pukul satu malam. Bertanya-tanya dalam benaknya bagaimana Andro bisa sampai ke depan unitnya? Hingga akhirnya ia mengingat bahwa Amira memang pernah memberikan kartu akses cadangannya pada Andro, karena ia butuh bantuan pria itu mengambil barang.
“Amira, gue tahu lo belum tidur.” Andro kembali meninggikan suara, berikut gedoran di pintu. “Ra, buka, Ra. Kita harus bicara.”
Buru-buru Amira menghapus air matanya, kemudian beranjak. Dia tidak mungkin membiarkan Andro di luar, bisa-bisa dirinya terkena masalah dengan para penghuni lain. Kehidupan percintaannya sudah rumit, jadi tidak mau menambah masalah di kehidupan sosialnya.
Baru saja membuka pintu, tahu-tahu saja Andro menerjang Amira untuk pria itu peluk erat-erat.
“Andro,” bisik Amira. Dia terlalu bingung dengan tindakan Andro saat ini. “Lo … gue pikir lo nggak jadi ke sini.”
Andro berhambur memeluk Amira ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Andro melepaskan pelukannya. Salah satu tangannya menutup pintu, sementara tangan lain pria itu meraih tangan Amira ke dalam genggamannya. Pria itu menuntun Amira menuju area ruang tamu.
“Maaf butuh waktu satu jam untuk sampai,” ungkap Andro. “Tiba-tiba ban kempes di saat yang nggak tepat, untungnya ada tambal ban yang buka.”
Penjelasan Andro semakin membuat dirinya bingung. Pria itu bahkan memilih terus pergi padahal ada saja kendala yang menghalangi.
“Ra, lo habis nangis?” tanya Andro lirih.
Tangan pria itu dengan beraninya menyentuh kedua pipi Amira, membuatnya Amira membeku di tempat. Jantungnya pun berdegup kencang, terlebih mata Andro mengunci tatapannya lekat-lekat.
Keheningan langsung menyelimuti keduanya. Tidak ada yang memulai berbicara, hingga desahan dalam Andro membuyarkan kesunyian yang tercipta. “Gue nggak mau putus, Amira. Itu alasan kenapa gue datang ke sini malam-malam.”
“Andro,” panggil Amira lemah. Sikap Andro yang begitu manis padanya seperti sanggup menghancurkan pertahanannya. Namun, dia terus mencoba bertahan pada pilihannya sebelumnya. “Gue nggak mau merasa bersalah sama elo. Hubungan kita memang nggak nyata, tapi hubungan ini tetap akan menjadi penghalang untuk lo bersama dengan orang yang lo suka.”
Andro menggeleng kuat-kuat. “Ketika lo memutuskan untuk membeli gue, Amira, maka sepenuhnya gue adalah milik lo.”
“Andro, please. Lo bukan barang dan gue nggak pernah membeli lo,” ujar Amira. Tangannya mati-mati bergerak untuk menjauhkan sentuhan Andro. “Andro, dengerin gue, lepasin hubungan palsu ini dan kejar cewek yang lo suka. Gue ingin lo bahagia dan hubungan ini jelas nggak kasih itu ke lo, bukan?”
Untuk sesaat Andro terdiam. Pria itu termenung sambil menatap Amira lekat-lekat. “Lo suka sama gue, ya, Amira?”
Pertanyaan Andro membuat mata Amira memelotot. Bagaimana bisa pria itu menodongnya tepat pada sasaran. Saking bingungnya merespons, Amira memilih diam saja.
“Gue anggap lo mengiakan bahwa lo suka sama gue, Amira.”
“Ndro, apaan sih?” Amira mulai kesal, lebih tepatnya berpura-pura kesal karena dia ketahuan. “Fokus kita bukan gue apalagi perasaan gue, melainkan elo! Andro, kita jangan main-main lagi, waktunya serius. Bisa, ‘kan?”
Andro menghela napas dalam. Kembali dia mencoba untuk mengunci tatapan Amira. “Amira, kalau lo memutuskan hubungan kita, lo sama aja menghalangi gue untuk mengejar dia! Jadi, jangan pernah mutusin gue.”
Pembicaraan dari hati ke hati | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Seketika Amira melongo. “Apa hubungan antara kita bubar dengan cara lo mengejar cewek yang lo suka?”
Tiba-tiba saja Andro memegang kedua bahu Amira, kemudian meremasnya pelan. “Ra, lo itu cewek paling pintar, sekaligus orang paling tidak peka yang gue kenal. Paham nggak sih, Ra, gue itu suka sama elo?”
Kali ini Amira tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Matanya melebar, begitu pula mulutnya. Jantungnya berdegup kencang dengan ribuan kupu-kupu yang berterbangan di perutnya.
Sayangnya, pikiran dan perasaan Amira seolah beradu, antara percaya atau tidak. Selama mereka saling mengenal, Andro selalu mengisenginya. Setiap kali berada di satu ruangan yang sama, keduanya pun lebih sering adu mulut. Meskipun akhir-akhir ini, setelah hubungan konten mereka, sikap Andro jauh lebih menyenangkan sampai-sampai Amira tanpa sadar jatuh ke pesona pacar kontennya itu.
“Lo bercanda ‘kan, Ndro?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Amira.
Kening Andro berkerut. “Bagaimana bisa lo menyimpulkan pernyataan cinta gue sebagai candaan, Amira?”
“Banyak faktor, Ndro, banyak.” Amira geleng-geleng. “Pertama, kita nggak pernah akur, lo selalu aja bikin masalah yang bikin kita berdua adu mulut. Kedua, lo selalu isengin gue, nyuruh gue ini-itu, bahkan kadang neror gue kalau pengen dibuatin puding stroberi itu. Terakhir, gimana bisa lo suka sama gue kalau tiap kita kumpul sama Elara, lo kadang bahas cewek-cewek yang lagi dekat sama lo?”
“Lo cemburu, Sayang, karena gue bahas cewek-cewek?” Godaan Andro sukses membuat Amira memberikan sebuah cubitan keras di lengan pria itu. “Bercanda, bercanda, Ra. Gue jelasin satu-satu, oke?”
Amira mengangguk cepat. Buru-buru dia membuang muka agar tidak terlalu terlihat sangat penasaran dengan penjelasan Andro.
“Lo pernah dengar istilah menyembunyikan perasaan nggak, Ra?” Amira menggeleng menjawab pertanyaan Andro. Padahal, wanita itu sadar dia sedang melakukannya dengan bersikap tidak peduli. “Jadi, menyembunyikan perasaan itu semacam melakukan hal yang berkebalikan demi menutupi hal sebenarnya. Gue ngajak lo ribut dan isengin elo karena gue nggak mau lo sadar bahwa gue itu … suka sama elo.”
Sontak Amira menoleh. Andro memasang senyum geli.
“Terus untuk masalah cewek-cewek itu ya ….” Andro meringis. Tangannya menggaruk belakang kepalanya. “Gue sebenarnya pengen lihat reaksi lo pas gue cerita tentang cewek-cewek itu, tapi ternyata nggak mempan sih. Senggaknya sampai saat ini. Ya ‘kan, Ra?”
“Kenapa sama sekarang? Kayaknya sama-sama nggak mempan,” dusta Amira. Kembali dia membuang muka demi menutupi rona samar di wajahnya dan juga rasa gugup.
“Amira, lo seratus persen cemburu saat gue bilang gue suka cewek lain, ‘kan?” todong Andro. “Sampai-sampai lo jauhin gue dan tahu-tahu minta putus.”
Amira tidak juga merespons, menjadikan Andro bergerak. Kemudian, pria itu berdiri kembali tepat di depan Amira. “Kalau gitu gue kasih penjelasan terakhir, alasan gue mau jadi pacar konten lo karena gue suka sama elo, Amira. Sangat suka. Kenapa harus dibayar sama puding? Karena itu satu-satunya hal yang terlintas saat itu, nggak dibayar pun sebenarnya nggak masalah asal gue bisa sama-sama dengan elo. Meski lo hanya menganggap ini pura-pura, gue selalu berusaha serius saat melakukannya.”
“Ingat saat awal-awal kita bersama, gue datang ke sini hanya duduk-duduk sambil nungguin elo kerja? Amira, gue hanya mau kasih tahu lo bahwa gue nggak masalah kok kencan di apartemen ini setiap weekend sambil nemenin elo kerja. Terpenting gue bisa bareng elo, mastiin lo makan, dan ngobrol sekalimat atau dua kalimat. Semua itu cukup buat gue.”
Penjelasan Andro kali ini berhasil membuat Amira menoleh dan memberikan seluruh fokusnya pada pria itu. Amira tersanjung. Tidak banyak orang yang memahami kesukaannya yang gila kerja ini. Semua orang selalu menuntutnya untuk keluar rumah saat weekend, padahal kesenangannya hanya di rumah. Dan Andro, pria itu memang selalu melakukannya, datang dan hanya duduk bersamanya di dalam ruangan yang sama.
“Ra, kalau lo memaksa untuk menghentikan pacaran palsu ini, gue nggak masalah. Asal, lo mau jadi pacar beneran gue. Gimana, tertarik dengan tawaran barunya?”
Amira mengangguk lambat-lambat dan Andro langsung memamerkan senyum penuh kelegaan.
Sekali lagi Andro merentangkan kedua tangannya, lalu merengkuh Amira ke dalam pelukannya. Diciumnya kening Amira, lalu berbisik, “Aku suka sama kamu, Amira. Barang yang sudah dibeli, nggak bisa dikembalikan lagi, Ra. Jadi, jangan minta putus lagi, ya.”
Amira dan Andro jadian | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Tanpa bisa dicegah air mata Amira kembali menitik dengan senyum geli di wajahnya. Dia terharu dan masih tidak menyangka bahwa hubungan konyolnya dengan Andro akan berakhir seperti ini. Siapa sangka, dari keisengannya membeli Andro sebagai pacar, kini Amira memiliki pria itu seutuhnya.