Buy Me a Boyfriend #4 - Rain After the Rainbow by Desy Miladiana | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Hari demi hari berlalu, konten demi konten pun diunggah. Masalah cowok-cowok yang mendekati Amira memang selesai, tetapi muncul masalah lainnya. Bisakah Amira bertahan dari pesona Andro yang terlalu sempurna sebagai pacar konten semata?
***
Untuk pertama kalinya Amira beranjak dari kursi, kemudian berlari kencang menuju lift saat jam makan siang. Kalau saja Andro tidak tiba-tiba menelepon dan mengatakan bahwa pria itu tengah menunggunya di lobi, sudah dipastikan Amira hanya memakan apa saja yang ada di pantry. Akhir bulan, satu-satunya temannya di kantor saat ini adalah deadline.
“Andro!” panggil Amira begitu menemukan Andro. Pria yang sedang berdiri di dekat area resepsionis itu langsung berbalik. Senyumnya merekah saat pria itu melambaikan tangan.
“Lo ngapain di sini, Ndro?” lanjut Amira. Napasnya agak tersengal saking buru-burunya.
Tahu-tahu saja Andro menyodorkan sebuah kantong plastik bening. Nama salah satu restoran kwetiau kesukaan Amira ada di sana, menjadikan mata wanita itu berbinar. “Ini … kok lo tahu gue pengin banget makan ini, Ndro?”
“Bukannya kemarin malam lo bilang, ya?”
Untuk sesaat Amira termenung seraya meraih kwetiaunya. Hingga dia ingat pesan instan yang seharusnya dia kirimkan ke Elara, tapi berujung nyasar ke Andro. “Itu … bukannya udah gue tarik pesannya, ya?”
“Kebaca, Ra.” Andro terkekeh. Tangan pria itu dengan santainya mengusap puncak kepala Amira. Hal yang sukses membuat Amira berdebar, terlebih saat tanpa sengaja mata mereka bersirobok di udara. “Terus gue memastikan lagi ke Elara kalau lo beneran pengin kwetiau apa hanya salah baca. Kapan-kapan kalau emang lo mau makan sesuatu, bilang ke gue. Seandainya nggak bisa makan bareng karena sibuk, gue dengan senang hati mengantarkannya buat lo, Amira.”
Amira mengangguk singkat. Meskipun hubungan mereka tidaklah nyata, Andro selalu menepati janjinya selama sebulan terakhir sebagai pacar kontennya. Amira tersentuh, hingga kadang-kadang lupa bahwa segala hal yang dia miliki dengan Andro hanyalah kebohongan.
Namun, siapa yang peduli? Lebih baik menikmati apa yang ada sekarang tanpa perlu mengkhawatirkan masa depan.
“Andromeda, terima kasih,” Amira kembali bersuara.
“Sama-sama.” Andro mengangguk singkat. “Dimakan ya, Ra. Gue juga sengaja antar langsung makanan ini ke kantor lo biar lo merasa bersalah kalau nggak makan atau menghabiskan ini. Gila kerja boleh kok, Ra, tapi jangan sampai mengabaikan hal paling penting, kesehatan lo. Sampai ketemu nanti, Amira.”
Sekali lagi Andro mengusap puncak kepala Amira, sebelum akhirnya beranjak pergi. Wanita itu tidak menampik, kini perutnya seperti penuh dengan kupu-kupu berterbangan. Kedua pipinya juga menghangat, dia tersipu.
Andro mengusap puncak kepala Amira | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Amira.”
Hingga sapaan seseorang mengembalikan Amira ke dunia nyata. Mata wanita itu seketika terbelalak saat menemukan Eka sudah berdiri di dekatnya. Bosnya itu melirik ke arah pintu utama lobi. “Pacar kamu, ya?”
Amira mengangguk lambat-lambat.
“Dia baik, Ra.” Eka tersenyum kecil. “Saya turut berbahagia untuk kamu dan pacar kamu. Semoga langgeng, ya.”
Tanpa sadar Amira mengaminkan doa sederhana Eka. Hanya saja, bagaimana bisa hubungan mereka bertahan lama, mengingat tidak pernah ada hubungan yang nyata? Dia dan Andro bersama demi konten sosial media saja.
***
Sedikit malas-malasan Amira berjalan keluar lift. Tanpa sadar dia menguap lebar. Hari ini ia harus lembur sampai malam. Tahu-tahu saja saat pekerjaannya sudah selesai, jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 8 malam. Untungnya, Andro membawakan makan siang yang cukup banyak, jadi tidak terlalu lapar walaupun sudah melewatkan jam makan malam.
“Amira.”
Sebuah panggilan seketika menghentikan langkah Amira. Sontak wanita itu menoleh ke sumber suara. Mulutnya sedikit menganga saat menemukan Andro tengah berdiri di depan sofa yang ada di lobi.
“Andro,” bisik Amira. Kedua kakinya kembali bergerak mendekati Andro. “Kok lo … di sini?”
“Jemput lo.” Andro melirik ke arah parkiran di luar gedung. “Tadi pagi lo bilang nggak bawa kendaraan, ‘kan? Daripada naik MRT, mending gue jemput sekalian. Pulang, yuk!”
Untuk sesaat Amira hanya termangu menatap Andro. Jantungnya lagi dan lagi berdegup kencang. Diantarkan makan siang sudah menyentuh hatinya, apalagi Andro kini rela menunggunya hanya untuk sekadar menjemput Amira pulang kerja.
“Ra, kok ngelamun?”
Panggilan Andro mengembalikan Amira ke dunia nyata. Wanita itu berpura-pura terkekeh demi menutupi gugup yang tiba-tiba menyerang.
Bergegas Amira menyamai langkah Andro. Kedua berjalan beriringan menuju mobil yang terparkir di parkiran. Tidak ada obrolan, bahkan setelah mobil mulai memasuki jalan raya. Anehnya, Amira menyukai keheningan ini. Seperti meski sama-sama sibuk dan pusing dengan kehidupan pekerjaan masing-masing, mereka tetap selalu ada untuk satu sama lain.
Andro menjemput Amira | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Gue kenapa sih? Amira buru-buru menggeleng. Otaknya mulai mengacau hanya karena perhatian-perhatian kecil Andro yang semakin lama semakin banyak.
“Ndro,” panggil Amira. Dia mencoba memecah kesunyian dan menanyakan apa saja yang muncul dalam kepalanya. “Gue tahu gue nggak bawa mobil, tapi kenapa lo rela menerjang macet hanya untuk jemput gue yang notabennya bukan pacar sungguhan lo?”
Senyum Andro yang sempat tersungging sedikit, tiba-tiba saja lenyap. Amira yang menyadari itu cukup terkejut. Ada apa?
“Anggap aja bonus pembelian barang setelah dibayar.”
Jawaban Andro entah mengapa mengecewakan Amira. Padahal jelas-jelas dirinya sendiri yang mengingatkan posisi mereka.
Gue maunya apa, sih?
Tiba-tiba saja Andro menyalakan radio. Suara penyiar yang saling bersahutan mulai mengisi seantero mobil, menenggelamkan kecanggungan yang baru saja muncul ke permukaan.
“Kata orang, hujan selalu membawa kenangan kembali dalam ingatan,” ucapan penyiar selayaknya penyihir, hujan tahu-tahu saja mulai menetes di luar sana. “Mereka semua lupa, kadang hujan adalah penjara terbaik untuk dua orang yang selalu ingin bersama. Di luar stasiun radio ini sedang hujan, apakah kalian tengah atau pernah terjebak dengan orang yang kalian sukai? Coba tanya ke teman sebelah kalian!”
Orang yang disukai? Kepala Amira tanpa sadar menoleh ke pria di sebelahnya. Andro tengah serius menatap jalanan padat di depannya.
“Ndro.” Amira kembali memanggil. Iseng ingin mengikuti perintah penyiar. “Lo … pernah terjebak hujan sama cewek yang lo suka?”
Andro menoleh singkat kepada Amira, lalu kembali fokus pada jalanan. Tak lama pria itu mengangguk. Dan hati Amira semakin tak keruan dibuatnya. Seperti ada seseorang menggoreskan luka di sana. Sakit.
“Gue suka dia dari dulu,” jawab Andro seraya kembali melirik Amira sekilas. Pria itu memberikan informasi yang Amira tidak ingin dengar. “Sayangnya, dia nggak suka gue.”
“Kenapa?” Amira terkejut, tapi sedikit memunculkan harapan dalam hatinya.
Andro mengedikkan bahu.
“Terus hubungan lo sama dia gimana sekarang?”
“Kami dekat banget.” Andro kembali menjawab. Kali ini bersamaan dengan lampu merah yang menyala. Pria itu memiringkan badan menghadap Amira. Keduanya saling menatap satu sama lain. “Sayangnya, kadang jarak yang terlalu dekat membutakan mata seseorang untuk melihat. Bener ‘kan, Ra?”
Amira hanya mengangguk singkat. Terlalu bingung bagaimana merespons ataupun bersikap.
Untungnya lampu hijau yang menyala membuyarkan obrolan mereka. Buru-buru Amira mengalihkan tatapannya pada jalanan. Dia tidak bisa menampik bahwa kini hatinya remuk redam. Merasa bodoh menanyakan pertanyaan yang tidak ingin dia ketahui jawabannya.
Amira juga bertanya-tanya, mengapa perasaannya bisa sekacau ini hanya karena Andro menyukai wanita lain? Bukankah hubungan mereka hanya sekadar konten semata?