Buy Me a Boyfriend chapter 3 by Desy Miladiana | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Sudah kenal lama dan sama-sama bersepakat, ternyata situasi tetap saja canggung antara Amira dan Andro. Bagaimana caranya membuat skenario pacar konten ini berjalan dan masuk akal?
***
Walau sudah dekat, perubahan status hubungan yang mendadak membuat Amira dan Andro canggung. Sulit bagi wanita itu untuk membayangkan adegan mesra dengan kakak sahabatnya itu. Alhasil, mengungsi ke kafe terdekat bukannya langsung membuat konten, mereka malah duduk diam saling berhadapan.
“Jadi ….” Amira bingung memulai pembicaraan, terlebih Andro menatapnya dengan kening mengernyit. “Ndro, gue bingung harus ngapain sekarang?”
Andro terkekeh. “Gue paham. Sepertinya sebelum bahas konten atau apa pun, bukankah kita harus bikin beberapa kesepakatan?”
“Kesepakatan?”
Pria itu mengangguk cepat. “Lo mungkin ada usul seperti batasan-batasan buat gue dekat atau mungkin menyentuh lo? Atau sebagainya, kita diskusi.”
Seketika Amira mendengkus. Sosok Andro yang biasanya jahil saat bersamanya mendadak berubah menjadi serius seperti tengah menghadapi klien kantornya. “Oke kalau kita harus membahas kesepakatan mengingat gue di sini adalah pembeli lo. Tapi sebelum itu, gue mau tanya sekali lagi, lo … serius mau jadi pacar gue dengan bayaran puding aja?”
“Serius. Puding itu wajib lo buat setiap kali gue ingin,” jawab Andro cepat. Senyumnya mengembang lebar. “Sejak kita kenal, lo tahu benar kesukaan gue itu puding strawberry buatan lo. Berkali-kali gue minta lo bikinin, tapi nggak pernah lo lakukan. Sekarang ada kesempatan dibikinin kapan aja gue mau, kenapa harus gue sia-siakan?”
“Lo aneh,” simpulAmira. Dia geleng-geleng kepala. “Biasanya jadi pacar bayaran tuh mintanya uang, harta benda, atau materi lainnya, ini malah puding.”
Bukannya menjawab, Andro hanya mengedipkan mata, menjadikan Amira mendengkus geli. “Satu lagi, Ndro, gue mau memastikan apakah lo sedang memiliki pasangan saat ini? Karena kalau iya, gue nggak bisa terima.”
“Amira, gue benar-benar single.” Andro mendesah panjang. “Lo tahu sebagai seorang manajer keuangan perusahaan besar, di kantor isinya hanya angka dan angka. Jadi, mana sempat cari cewek apalagi tertarik sama mereka untuk dipacari?”
Amira manggut-manggut. Cukup iri dengan Andro, sesibuk apa pun dirinya dan juga abai masalah hubungan, dia bisa berhati dingin untuk wanita-wanita yang mengejarnya. Sedangkan Amira, dia sudah mencoba dingin, tapi malah membuat pria-pria itu tertantang semakin mendekat.
“Oh ya, Mir, gue akan mengusulkan beberapa hal. Kita boleh foto sepuasnya dengan berbagai pose, pegangan tangan, rangkulan, cium pipi oke, sebebas lo. Mau lo lihatin wajah gue atau taruh nama gue di sosial media nggak masalah. Dan gue minta setidaknya seminggu satu atau dua kali ketemu buat update konten. Nggak masalah juga kalau hanya di rumah lo atau di rumah gue. Terakhir paling penting, meski ini hanya sekadar konten, tapi kita harus saling tahu di mana dan sedang apa. Kenapa? Karena kadang foto aja nggak bisa membuktikan kebenaran hubungan ini kecuali lo bisa menunjukkan hubungan intens kita ke orang-orang.”
Untuk sesaat Amira menganga dengan segala permintaan Andro. Bagaimana tidak? Terkesan justru pria itulah yang paling berusaha keras membuat hubungan konten ini bekerja dengan baik.
Hingga Amira sadar, Andro sejak dulu memang selalu baik padanya. Setiap dia sakit dan sendirian di apartemen, Andro selalu berusaha untuk menjenguknya dan membawakan cokelat hangat kesukaannya. Dan sekarang Amira juga mengerti, usulan Andro juga demi kebaikan dirinya.
Pada akhirnya, Amira mengangguk. Sama sekali tidak memiliki sanggahan. “Jadi … kita mulai bikin kontennya kapan?”
“Sekarang gimana?”
Tiba-tiba saja Andro beranjak dari kursinya, lalu berpindah ke sisi Amira. “Sori, gue rangkul, ya.”
Perlahan Andro merangkul Amira, sementara tangan pria itu meraih ponselnya sendiri di saku celana. Mengarahkan kamera depan untuk mengabadikan kebersamaan mereka.
Andro dan Amira mengambil selfie | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Awalnya, keduanya terlihat canggung. Amira juga susah menampakkan senyuman tulus. Namun, Andro yang selalu terus mengambil banyak pose membuat keduanya semakin lama semakin terbiasa.
Pacaran konten ternyata tidak terlalu buruk bagi Amira.
***
Setelah foto-foto bersama Andro terpublikasi, satu per satu orang-orang mundur. Ponselnya juga semakin sepi dari notifikasi yang menjengkelkan. Eka yang awalnya kesal karena Amira seperti memainkan statusnya pun bisa menerima kenyataan.
Minggu pagi kali ini untuk pertama kalinya Amira merasa sangat damai. Tidak ada keributan di ponsel atau tiba-tiba seseorang mengirimkan makanan maupun bunga. Fokusnya sepenuhnya pada pekerjaan lepas yang dia ambil.
Suara bel apartemen menyentak Amira. Refleks, wanita itu melirik jam dinding terdekat. Pukul sebelas siang dan siapa yang mengganggu ketenangannya.
“Jangan-jangan kiriman makanan lagi,” keluh Amira seraya beranjak.
Bel kembali berbunyi, membuat wanita itu berlari cepat untuk membuka pintu. Hanya saja ketika benda itu terbuka, Amira terbelalak. Alih-alih ojek online, dia malah mendapati Andro berdiri di hadapannya. Tangannya langsung memamerkan sebuah kotak makanan dengan nama restoran kesukaannya.
“AYAM!” pekik Amira senang. Dia ingin merebut makanan itu, tapi Andro lebih cepat menyembunyikannya. “Andromeda!”
Andro terkekeh. Segera dia menerobos masuk, lalu mengempaskan dirinya ke sofa. “Minta minum, Ra, haus.”
Bukannya menurut, Amira malah berkacak pinggang di hadapan Andro. “Lo ngapain ke sini, Ndro? Gue sibuk hari ini buat lo ajak main-main.”
“Elara ada kerjaan di luar kota dan gue sendirian,” keluh Andro. “Kebetulan gue punya pacar, ya udah gue datangin pacar pake sesajen ayam goreng kesukaannya. Kalau lo mau kerja, silakan, tapi biarin gue nongkrong di sini. Oke?”
Melihat ekspresi Andro yang tampak sedih, membuat Amira mau tak mau mengangguk. Lagi pula pria itu selalu baik padanya, dia harus berbalas budi. “Fine. Kalau mau sambil nonton juga nggak masalah, TV gue berlangganan kok. Gue balik kerja dulu.”
Amira segera kembali duduk di kursi kerjanya yang membelakangi jendela ruangan. Sementara di depannya ada ruang tamu mini yang dikuasai Andro. Keduanya hanya duduk bersama, sibuk dengan dunia masing-masing, anehnya tidak ada kecanggungan yang terjadi.
“Amira, lo bilang kalau penghasilan lo di kantor udah sangat banyak, tapi kenapa masih terima freelance?”
Pertanyaan Andro membuyarkan keheningan mereka. Amira mendongak, lalu terkekeh. “Gaji di kantor cukup banget memang, tapi gue nggak pernah puas. Berusaha setiap hari bekerja keras menghasilkan uang karena … gue suka, makanya nggak lelah. Lagi pula, gue menganggap pekerjaan lepas ini sebagai ajang latihan buat skill gue dikerjaan yang sesungguhnya.”
Andro manggut-manggut. Kemudian, melirik jam dinding. “Sejam lagi gue gangguin buat makan siang bareng. Gue tahu lo nggak lelah, tapi lo harus tetap makan. Jangan berdebat, anggap aja ini fasilitas dari pacar bayaran lo untuk ingatin makan.”
Amira mendengkus geli. Dia mengangguk karena Andro benar.
Bermenit-menit berlalu, hingga suara shutter kamera terdengar. Refleks, Amira mendongak. Sekali lagi shutter kamera terdengar. Wanita itu mengerutkan kening saat menemukan Andro sedang mengarahkan kamera ponselnya kepada Amira.
“Lo ngapain foto gue?” tanya Amira.
“Pose lo bagus, mau gue jadiin konten.”
“Lo juga bikin konten di sosial media lo sendiri?”
Andro mengangguk cepat. “Iya, sengaja. Orang-orang tahu ‘kan kita ini pasangan, jadi harus ada timbal-balik agar mereka percaya bahwa hubungan kita itu nyata.”
Andro memotret Amira yang sedang bekerja | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Rasanya Amira sangat tersanjung dengan perbuatan Andro. Wanita itu memang yang mengusulkan masalah pacaran konten ini, tapi Andro yang selalu berusaha keras dan berinisiatif.
Tanpa bisa dicegah, senyum hangat Amira merekah. Kedua pipinya merona samar. Jantungnya pun berdegup kencang saat menatap pria yang sedang sibuk memotretnya di kejauhan sana. Dia senang memiliki Andro walaupun ini semua hanya sekadar konten sosial media.