Buy Me a Boyfriend chapter 2 by Desy Miladiana | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Akibat asal comot foto pacaran di internet, Amira nggak cuma dicap pembohong, tetapi juga kembali repot menghadapi cowok-cowok yang mendekat. Satu-satunya cara adalah benar-benar mencari cowok untuk dijadikan pacar konten yang aman. Tapi di mana Amira bisa membeli pacar?
***
Kesialan seperti mengikuti Amira sejak kemarin sore hingga pagi ini. Kemarin dia ketahuan berbohong oleh teman kantornya dan juga Eka. Bosnya itu langsung memberondongnya dengan pesan instan memastikan apakah benar Farish hanya asal berbicara atau tidak. Amira tidak punya pilihan lain selain mengaku. Bertahan dengan kebohongan hanya akan menambah masalah di kantor terlebih dengan Farish dan Eka.
Paginya, Amira terbangun dengan notifikasi ponsel yang kembali berbunyi tanpa henti. Kemudian, tiba-tiba saja keran airnya tidak berfungsi. Membuatnya harus menunggu selama satu jam untuk diperbaiki. Dan ketika dia dalam perjalanan ke rumah Elara, sahabatnya sejak SMA, dia harus terjebak macet yang tak ada habisnya.
“Dewi fortuna gue ke mana sih?” keluh Amira. Dipukulnya setir mobil dengan frustrasi.
Perjalanan yang biasanya setengah jam malah menjadi satu jam, Amira pun berhasil sampai di rumah tiga lantai milik keluarga Elara. Begitu mobil terparkir di semi carport, wanita itu bergegas mengambil paper bag di sisi kursinya. Ada satu kotak makan berisi puding strawberry andalannya khusus dibuat untuk sahabatnya itu.
Bergegas didekatinya pintu masuk, lalu mengetuknya. Tak lama benda itu terbuka, bukan Elara yang menyambut melainkan Andro, kakak Elara yang dua tahun lebih tua dari mereka.
Andro mengernyitkan kening, lalu menodongkan pertanyaan, “Kayaknya ini masih pukul 10 pagi. Kesurupan apa lo pagi-pagi udah ke rumah?”
“Iya, gue kesurupan setan di kantor. Mana Ela, Ndro?” balas Amira asal. Meskipun Andro adalah kakak Elara, mereka cukup akrab. Masalah pelabelan nama di depan nama Andro, pria itu sendiri yang meminta dipanggil nama agar tidak terkesan tua.
“Apa tuh?” Andro malah balik bertanya. Matanya melirik paper bag yang Amira tenteng. “Puding strawberry kesukaan gue, ya? Asyik!”
Andro sudah siap merebut paper bag Amira, tapi wanita itu lebih cepat menyembunyikannya. Tangannya langsung mencekal lengan Andro. Amira menggeleng, lalu berkata dengan tegas, “Sori, puding ini sesajen untuk Elara. Minggu ini, gue banyak masalah dan adik lo harus dengerin curhatan gue yang udah sepanjang sungai Kapuas. Gue masuk!”
Segera saja Amira menerobos badan tinggi Andro. Baru saja wanita itu berjalan menjauhi pintu, terdengar suara pria berkata dengan ketusnya, “Dia di ruang keluarga.”
“Thanks, Bro!” jawab Amira tanpa menoleh, hanya melambaikan tangan. Tapi kenyataannya, senyum geli wanita itu terpasang di wajahnya. Andro sudah 27 tahun, tapi kalau sedang merajuk terlihat seperti anak 7 tahun.
Amira terus berjalan melewati ruang tamu, lalu menaiki tangga pendek yang di atasnya digunakan untuk ruang keluarga. Terlihat Elara tengah duduk di sofa. Mengenakan kaos putih kebesaran dan celana jeans super pendek. Rambutnya dicepol tinggi. Di pangkuannya ada semangkuk besar berondong jagung. Sementara fokusnya adalah TV puluhan inci yang tengah menayangkan film barat.
“Elara,” sapa Amira. Ditaruhnya kotak makannya di meja kopi, kemudian melemparkan tas tangan berikut dirinya di sisi Elara. “Gue capek.”
Elara melirik sekilas Amira, lalu kembali fokus pada tontonnya. “Kok lo udah di sini, Mir? Bukannya semalam lo bilang kalau mau ke sini siangan? Masih kurang dua episode lagi nih!”
“Urgent, La, urgent!” Amira mendesah panjang. “Fokus ke gue sejam deh, habis gitu gue bebasin lo buat kelarin tontonan.”
Sahabatnya itu mengangguk singkat, sebelum akhirnya meraih remote di meja kopi. Bersamaan itu pula, keduanya menemukan Andro mengambil paper bag yang Amira bawa.
Puding stroberi buatan Amira | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Andromeda!” teriak Amira. “Kok lo embat sih?”
“Makanan lezat nggak boleh dibiarkan menganggur terlalu lama, Amira.” Andro memamerkan senyuman jahilnya. “Lagi pula, kalian kan mau curhat ya curhat aja. Masih ada popcorn sebanyak itu, pake itu aja buat cemilan.”
Amira mendelik. Bersiap untuk menyemprot kakak Elara tersebut. Namun, Elara dengan cepat berdiri di tengah-tengah keduanya. Sambil berkacak pinggang, dia berkata, “Kalian udah sama-sama gede, jadi tolong jangan berantem terus kayak kita masih SMA. Udah, Mir, biarin aja pudingnya dimakan Andro, lagian sayang juga popcorn caramel yang gue buat. Oke? Kita fokus aja ke masalah lo.”
Pada akhirnya, Amira hanya bisa mendesah panjang, lalu mengangguk. Elara kembali menduduki sofa. Seluruh fokusnya kini sepenuhnya kepada Elara.
Segera saja seluruh keluh kesah Amira tumpah ruah detik itu juga. Dimulai dari betapa menyebalkan orang-orang di kantor ataupun teman-temannya di luar pekerjaan yang mendekatinya dengan berbagai cara. Mengirimi makan siang atau makan malam bahkan terkadang barang-barang tidak penting. Hingga keisengannya memasang foto-foto seolah dia berkencan. Berakhir dengan ketahuan dan dipermalukan habis-habisan serta manajernya yang kembali mengejar-kejarnya.
“Gue butuh beli pacar, Elara,” rengek Amira. “Gue nggak butuh romansa, gue hanya butuh pacar untuk konten di sosial media agar orang-orang itu ngejauhin gue.”
Elara mendengkus. “Kalau orang-orang di kantor lo terlebih punya manajer super annoying kayak gitu, kenapa nggak resign aja?”
Amira menoleh pada Elara, lalu menggeleng kuat-kuat. “Sebenarnya orang-orang di kantor termasuk Pak Bos nggak akan gangguin gue kalau lagi jam kerja, tapi begitu makan siang atau pulang kerja udah deh mereka langsung menyerbu kayak laler. Terus yang bikin gue bertahan adalah lingkungan kerja gue di sana nggak toxic, jobdesk pun jelas, dan juga gaji dua digit untuk seorang website designer.”
“Hm ….” Elara merenung, sedangkan Amira malah asyik memperhatikan langit-langit. Lampu gantung kristal di atasnya terlihat menarik. “Kenapa nggak lo pacarin aja salah satu dari yang ngejar elo, Mir? Daripada sekadar konten, buat kenyataan aja. Masalah selesai.”
“Pacar itu masalah yang jauh lebih serius, Elara.” Amira mendesah panjang. “La, lo tahu ‘kan fokus gue sekarang itu bangun karir, kelarin cicilan, nabung buat hari tua, dan mewujudkan impian gue untuk pensiun dini? Kalau gue pacarin orang-orang itu, yang ada fokus gue terbelah. Mereka nggak akan mengerti bahwa gue nggak suka pegang ponsel, pulang malam, weekend masih harus ngerjain freelance, dan waktu 24/7 gue nggak ada untuk mereka.”
“Ta—”
“Lo mau beli pacar, Mir?” Tahu-tahu saja Andro memotong omongan Elara.
Amira dan Elara serentak menoleh ke sumber suara. Tahu-tahu saja Andro sudah berdiri di depan mereka, lalu menduduki meja kopi di hadapan keduanya.
“Bisa dibilang gitu,” jawab Amira. Wanita itu mencondongkan badannya pada Andro. “Lo tahu tempat di mana gue bisa beli pacar, Ndro?”
“Gue nggak tahu lo bisa beli pacar di mana, Amira.” Jawaban Andro membuat Amira cemberut. “Tapi … lo bisa beli gue untuk lo jadikan pacar konten lo.”
Andro tiba-tiba menawarkan bantuan | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“HA?” Amira dan Elara kompak memekik bersamaan, membuat Andro meringis di tempatnya.
“Kalian lebay!” cibir Andro. “Sebagai temannya Amira yang udah kenal sepuluh tahun lamanya, kenapa enggak gue bantuin elo? Jadi pacar konten nggak susah lah!”
Kata-kata Andro membuat Amira tertarik. Pria itu benar, mereka sudah mengenal selama sepuluh tahun. Meski sering ribut, tapi Amira yakin Andro bisa diajak kerja sama dan kebohongan mereka akan sulit terdeteksi.
“Lo … mau dibayar pake apa, Ndro?” tanya Amira pada akhirnya. “Berapa duit?”
“Berapa, ya?” Andro melirik ke kanan-kiri. Tangannya berpangku dagu. Keningnya bekerut. Cukup lama pria itu berpikir, dia pun kembali bersuara, “Lo wajib bikinin gue puding strawberry kapan pun gue ingin. Gimana? Gampang kan bayaran buat gue?”
“Mir.” Elara menarik lengan Amira. “Lo yakin mau jadi kakak ipar gue? Andro tuh barang jelek, banyak aibnya, jangan ya, Mir.”
Amira kembali termenung mendengar pernyataan Elara. Kemudian, menatap penampilan Andro dari puncak kepala hingga ujung kaki. Pria itu tinggi, Amira hanya sedagunya. Badannya cukup berotot mengingat dia rajin ke tempat fitness tiga kali seminggu. Tampangnya juga cukup menarik dengan bibir merah, lesung pipi di kedua pipinya, senyum menawan yang membuat dia digilai banyak orang-orang.
Masalah sifat, di luar sikap Andro yang suka mengusili Amira, pria itu baik dan sering membantunya. Andro juga cukup menghibur kalau dia sedang sedih. Meskipun kadang suka bawel, kalau dipikir-pikir juga omongan pria itu banyak benarnya.
Pada akhirnya, Amira memutuskan. Dia mengangguk cepat. “Gue bersedia jadi kakak ipar lo demi konten, Elara.”
“Berarti mulai detik ini kita pacaran kan, Amira?” tanya Andro.
“Tentu saja.”
Amira menyodorkan tangan, begitu pula dengan Andro. Keduanya berjabat tangan seolah baru menyetujui kerja sama bisnis alih-alih baru saja menjadi sepasang kekasih. Wanita itu yakin, kekompakannya dengan Andro akan menyelesaikan satu masalahnya, terbebas dari lalat-lalat berbentuk pria-pria yang sedang menebar jala.
Amira dan Andro bersepakat | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com