Ada dua hal yang saya sadari ketika menulis artikel ini:
- Novel Bumi Manusia ternyata sangat sulit untuk difilmkan
- Saya penulis resensi yang buruk.
Kita mulai dari nomor dua. Bagaimanapun mencoba, saya gagal menulis resensi film ini tanpa menjaga jarak dengan novelnya. Padahal, kudu dipahami bahwa film yang diangkat dari novel sebenarnya perlu dilihat sebagai karya yang berdiri sendiri. Bluestone (1957) mengatakan bila studi komparasi antara novel dan film akan tiba pada kesimpulan bahwa keduanya berbeda. Film punya bentuk dan prinsip artistik tersendiri yang ukurannya lain dengan kesenian lainnya. Seperti membandingkan Jakarta Selatan dan Jakarta Fair.
Film tak sanggup menyampaikan unsur-unsur kebahasaan yang menjadi tulang punggung karya sastra. Dalam sastra kita mampu mengekspresikan lamunan, nafsu, atau kesadaran pikiran, begitu pun deskripsi yang lebih berandai-andai. Contoh, ungkapan “kecerdasannya melampaui usianya” menjadi sesuatu yang bernilai puitis untuk menggambarkan tokoh Minke di novel Bumi Manusia. Nilai bahasa itu tak bisa disuguhkan dalam film, masa Iqbaal ke mana-mana harus bawa-bawa rapor dan KTP?
Itu kenapa menilai film dengan ukuran kualitas novel atau bukunya adalah sebuah pelanggaran pikir, toh hampir pasti kamu akan kecewa sebelum berharap. Saya bisa menyebutkan cukup banyak film yang lebih sukses dibanding bukunya (Fight Club, The Notebook, Jurassic Park, The Godfather), namun belum berarti pembaca novelnya terpuaskan dari sanubarinya.
Hanung Bramantyo selaku sutradara Bumi Manusia pun mafhum akan hal itu. “Pasti. Pembaca novel akan bilang tidak suka. Tapi mereka sudah menonton, jadi tidak masalah. Ada juga pembaca novel yang tidak menonton karena tidak suka atau tidak percaya. Tetapi setidaknya 50 persen pembaca novel akan menonton, dan setidaknya saya mendapatkan 15 persen di antaranya yang akan mengatakan bahwa film ini bagus—meskipun ada catatan-catatannya. Saya butuh 15 persen itu saja,” tukasnya dalam salah satu wawancara dengan Warning Magazine.
Dan karena saya bukan jemaahnya Iqbaal, maka saya akan mencoba mewakili 50 persen pembaca novel yang menonton, siapa tahu saya termasuk 15 persen yang menyelamatkan film ini.
Tapi sayang sungguh disayang, ternyata bukan.
Sebagai orang yang mengabadikan kata terakhir di novel itu menjadi tato di lengan, saya gagal move on. Saya patah hati dengan film ini.
Problem utama: Film Bumi Manusia sibuk mengisahkan peristiwa, tanpa menyisakan cukup ruang untuk pemikiran tokoh Minke
Bumi Manusia adalah keluaran perdana dari kuartet seri novel yang dikenal dengan nama Tetralogi Buru. Keempatnya punya konsep yang menitikberat, yakni menggambarkan kebangkitan nasional di Indonesia setelah masa politik etis, antara akhir abad 19 ke awal abad 20. Masa ini yang menelurkan nama-nama seperti Tan Malaka, HOS Tjokroaminoto, dan Sukarno nantinya. Dari mulai kesadaran terjajah (Bumi Manusia), kehendak melawan (Anak Semua Bangsa), kesadaran berorganisasi (Jejak Langkah), dan proses perlawanan itu sendiri (Rumah Kaca).
Keempat tahap kesadaran itu diejawantahkan dalam tokoh Minke. Tokoh yang terinspirasi dari seorang tokoh pergerakan yang tak sempat tenar-tenar amat, yakni Tirto Adhi Soerjo. Ibarat influencer, follower beliau tak ada sepertiganya Soekarno, tapi prestasinya tak kalah mengundang decak kagum:
Pada 1907, Tirto Adhi Soerjo menjadi orang Indonesia (belum bernama) pertama yang menerbitkan surat kabar, namanya Medan Prijaji dan bisa dianggap berperan menggugah harkat politik kaum pribumi. Selain juga sempat membantu menerbitkan majalah pertama untuk wanita dan mendirikan perseroan terbatas milik pribumi, Tirto juga berkontribusi besar dalam pendirian Syarekat Islam.
Pokoknya, ia penting.
Dan kesadaran Minke adalah kesadaran bangsa Indonesia kala itu, apa yang dipikirkan Minke adalah apa yang dipikirkan rakyat Indonesia.
Bisa dibilang Pram punya semangat yang sangat politis dalam penulisan Tetralogi Buru, tak sekadar gelegak emosi atau upaya menggaet pembaca mbak-mbak lucu untuk berceletuk, “uuh cute sekali Minke, nyosor duluan tapi malu-malu”. Pram ingin menjernihkan sejarah, agar kita bisa mengambil pelajaran dan sekaligus meluruskan, salah satunya untuk mengoreksi kepercayaan bahwa kebangkitan nasional dimulai dari Boedi Utomo.
Maka, Pram begitu fokus pada realitas, “kalau saya menulis, saya kumpulkan dulu realitas. Baik itu yang tersembunyi di dalam bawah sadar maupun yang saya sadari. Itu seakan-akan satu gelas air materi saya. Saya tetesi ideologi pribadi saya ke dalamnya, lantas ia berproses. Proses ini yang saya tulis.”
Lantas Bumi Manusia adalah tentang alam pikiran Minke, tentang intelektualitasnya. Lumrahlah berpuluh persen isi Bumi Manusia ialah perihal apa yang ada di kepala Minke. Dan jika saya harus merangkum kelebihan novel Bumi Manusia dalam satu kalimat, maka itu adalah “bagaimana kita bisa memahami perubahan pemikiran Minke dari awalnya ‘aku terjajah karena aku pribumi, kesal deh~’ menjadi ‘aku pribumi, aku terjajah, aku harus melawan’ secara halus dan mengalir, dari satu konflik ke konflik yang lain”
Tapi, untuk bisa mengantarkan gagasan itu, tentu Pram butuh peristiwa dan kisah sebagai kendaraannya. Maka ia memilih kisah cinta sebagai peristiwanya. Sebagai perekat fakta demi fakta yang ingin disampaikan. Setiap peristiwa adalah sebab, dan akibatnya adalah perubahan pemikiran itu.
Dan mereka tiba: Minke dan Annelies yang saling jatuh cinta.
Tersayangkan, Bumi Manusia dalam film semata peristiwanya saja. Film berbujet melangit ini hanya menampilkan apa yang dilakukan dan dialami oleh Minke, tapi tidak apa yang dipikirkannya. Tatkala Annelies dirampas ke Belanda, yang dilakukan dan dialami oleh Minke adalah sesenggukan sambil berkata “Kita kalah, Ma”. Maka itulah yang ditampilkan, tapi tidak ada ruang untuk mengilustrasikan apa yang dipikirkan oleh Minke yang dalam novelnya bisa berlembar-lembar itu. Bagaimana ia serasa ditampar oleh kenyataan, bahwa pribumi sedemikian payah di hadapan kulit putih, pahitnya dikhianati oleh ilmu pengetahuan yang sempat dipelajarinya dengan kebanggaan, serta derita kehilangan kepercayaan dengan Eropa maupun Jawa.
Kala Bumi Manusia dibiarkan telanjang tanpa ide-ide Pram menyoal kebangsaan, kisah ini memang drama percintaan
Saya termasuk satu kepala yang semufakat dengan Hanung bahwa Bumi Manusia adalah kisah cinta Minke dan Annelies. Memang fondasinya begitu, kentara andai aspek geopolitiknya dilucuti. Pertanyaannya, sejauh mana Hanung mampu mempertahankan geopolitik itu dalam medan sinema yang butuh cara kerja berbeda.
Dan Hanung memilih tampil seaman mungkin. Aspek geopolitik yang ada sebatas apa yang melekat langsung pada plotnya belaka. Praktis saja, yang runyam ditinggalkan.
Padahal bagi saya, Bumi Manusia tanpa gonjang ganjing alam pemikiran Minke dan tanpa gaya bahasa Pram hanyalah cerita tebal yang melelahkan. Sebuah kisah yang sejak dalam novelnya bahkan sempat dikritik karena beberapa karakter yang terlalu mirip. Nyaris seluruh karakter selain Minke, Annelies, dan Nyai Ontosoroh punya watak yang tak imajinatif, seakan hanya terbagi menjadi protagonis dan antagonis.
Clifford Geertz, antropolog asal Amerika sempat menyebut novel itu kebanyakan mengandung “percakapan yang terlalu serius” sampai ia bingung memahami pokoknya. Sejumlah kritikus Barat pun kelimpungan mencerna gaya tulisan Pram yang menggurui dan mengulang-ulang, seperti guru sekolah yang merasa bijak tak terukur. Kisah abal-abal Livi Zheng boleh jadi lebih menarik hati.
Selain itu, metode penulisan yang berawal dari kisah-kisah yang dihaturkan secara lisan di penjara, dan ambisi memerikan lagi sejarah memang membuat novel Bumi Manusia secara gaya pun unik, tapi juga tak terlalu nyaman dibaca. “Sebuah kisah yang dituturkan secara lisan dahulu baru kemudian dituliskan tentu mengalir dengan cara yang berbeda dari suatu kisah yang sejak awal sudah dikonstruksi sebagai teks tertulis. Pembaca yang terbiasa menghadapi cerita tentang krisis kemudian penyelesaiannya, mencerna perubahan-perubahan pada tokohnya, atau mengikuti aliran sebab akibat secara urut dari hulu ke hilir, mungkin akan merasa cerita-cerita Pram seperti diam di tempat”
Teruntuk novelnya, saya punya seribu kalimat untuk membelanya atas kadar substansi yang disampaikan. Untuk film, saya sulit membela karena memang substansi itu terlalu sekadarnya.
Mencoba arif memaklumi bahwa novel Bumi Manusia memang sulit untuk difilmkan. Namun, Hanung mungkin seyogianya bisa lebih bersiasat untuk itu
Sutradara punya pilihan dan kuasa akan filmnya, novel bukan kitab suci yang menuntut kepatuhan. Hanung bisa mencari bentuk penceritaan yang lebih leluasa menampung saripati novel Bumi Manusia. Misalnya, ia boleh saja menggunakan pendekatan narator yang lebih dominan serupa film Gie (2005), atau merakit ulang guna menunjukan penafsiran baru.
Pilihan yang diambil Hanung terlalu terpaku pada kronologi peristiwa, sehingga waktu tiga jam ludes untuk menaati novelnya. Itupun mengorbankan sederet hal, baik pengembangan karakter pendukung seperti Robert Mellema, Panji Darman, Darsam, dan sebagainya, atau konflik-konflik yang sekilat usai sebelum kita merasakan ancamannya. Sehingga yang kita dapat hanyalah plot dan sebagian quotes penting tanpa kepercayaan terhadap karakter-karakter yang mengutarakannya.
Praktis, film Bumi Manusia tampak kaku dan terdikte di sana sini. Hanung seakan hanya menyalin ulang garis besar novel, tanpa urun sudut pandang dan pemaknaan. Tak ada kontribusi intelektual yang mampu mengundang diskusi lebih jauh bagi mereka yang sudah membaca novelnya. Kalaupun ada, mungkin kami seketika sepakat tanpa debat bahwa lagu “Ibu Pertiwi” tak padu sama sekali dengan adegan-adegannya.
Pertanyaannya, apabila Falcon tetap kaya raya, dan ingin melanjutkan sekuel film ini, akan seperti apa jadinya? Asal tahu saja, Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dinilai sebagai yang terbaik lantaran punya plot lebih kuat, serta keseimbangan porsi antara peristiwa dan ide. Sementara pada Jejak Langkah dan Rumah Kaca, Pram sudah cenderung egois dan asyik dengan pendapat-pendapat politiknya (dan saya suka itu), sehingga hanya menyisakan sepotong demi sepotong peristiwa yang bisa diikuti. Gaya penceritaan film Bumi Manusia bakal kian sulit diandalkan, tantangannya lebih besar untuk diminta takluk.
Sebagai pembaca novelnya, saya senang andai makin banyak orang yang kenal cerita Bumi Manusia, agar bisa lebih banyak teman ngobrol. Dan koalisi antara Hanung-Iqbaal-Falcon amat ideal untuk menyebarkan itu. Alangkah disayang apabila momentum ini tersia-siakan oleh rasa takut untuk berpendapat dan menyumbang tafsir dalam film.
Kesetiaan berlebih Hanung terhadap novelnya justru seakan mengundang tanya, apakah ia sendiri lupa bahwa film mustahil persis dengan novelnya. Kita tak pernah bisa benar-benar setia pada Bumi Manusia. Dan terkadang lebih baik kita sedikit fuckboy sedari awal, daripada mengaku setia tapi tak sampai.