Nona<3
Miko?
Lagi sibuk nggak?
Kalau nggak, bisa ke rumah nggak?
Jantung Miko serasa jatuh dan berguling ke lantai sesaat dia membaca pesan tersebut. Gadis itu akhirnya menghubungi lebih dulu setelah sekian lama mengabaikan semua pesan dan teleponnya. Tanpa berpikir panjang, lelaki itu langsung bangun dari duduknya dan membuat semua atensi di ruangan tersebut berpusat padanya.
“Mau kemana lo?” tanya Gibran dengan sebelah alis terangkat.
“Ada something urgent. Sori nggak bisa ikut sampai kelar. Gimana-gimana kabarin aja. Gue cabut.”
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!
Untuk yang pertama kalinya Miko benar-benar meninggalkan ruangan rapat itu untuk sesegera mungkin menemui Joana. Lelaki itu kemudian memacu motornya dengan secepat yang ia bisa.
Setelah menempuh perjalanan selama dua puluh menit, Miko pun tiba di rumah Joana. Begitu pintu dibuka, Miko mendapati wajah Joana tampak kuyu, dan sembap. Tidak secerah biasanya. Terlihat kacau.
“Hai …” sapa Joana kikuk.
“Joana …”
Miko meraih pergelangan tangan Joana saat gadis itu mempersilakannya masuk. Saat gadis itu menatapnya, Miko langsung menariknya ke dalam dekapan. Didekapnya gadis itu seerat yang dia bisa.
“Aku minta maaf,” bisik Miko lirih. “Maafin aku.”
Mendengar itu, sontak saja tangis Joana pecah. Gadis itu kemudian balas memeluk Miko tak kalah erat. Meski kaget, Miko tetap berusaha tenang agar dapat menenangkan gadisnya itu. Tangan kanan lelaki itu menahan bagian belakang kepala Joana, semenetara tangan kirinya mengusap punggung Joana.
Tak lama kemudian, Joana menarik diri, menghapus jejak air mata di kedua pipinya, lalu membawa Miko ke sofa. Keduanya duduk berdampingan. Keduanya pun tampak sama gugupnya.
“Ada yang mau aku omongin.”
“Ada yang mau aku omongin.”
Kalimat itu keluar berbarengan dari mulut keduanya. Sontak, mereka bertukar pandangan. Baik Joana maupun Miko sama-sama merasa debaran jantung mereka mengencang beberapa kali lipat dari batas normal. Ada ketakutan yang perlahan mempengaruhi atmosfer ruangan tersebut.
“Kamu duluan,” kata Miko, masih dengan debaran yang terus menggila. “Ladies first.”
Joana menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ia merasa lelah karena terus saja menekan dirinya sendiri, menyalahkan semuanya atas perasaannya sendiri, serta ia lelah karena terus berusaha menyamakan langkahnya dengan Miko. Joana merasa kalau hubungan ini sudah tidak sehat. Dia semakin tertekan, dan kesulitan untuk bernapas setiap harinya. Jadi meski gugup, Joana harus tetap menyelesaikan semuanya hari ini. Gadis itu sudah membulatkan tekad.
Sekarang atau tidak selamanya.
“Awalnya aku pikir kamu yang selalu sibuk itu keren, dan bisa bikin aku ngerasa baik-baik aja …” Joana menjeda kalimatnya selama beberapa detik. Gadis itu menyempatkan untuk melirik Miko sekilas, sebelum dia kembali menatap lurus ke depan. “Tapi lama-lama aku ngerasa itu semua salah. Aku ngerasa kamu jadi jauh. Aku ngerasa aku ketinggalan jauh di belakang. Aku ngerasa aku bukan apa-apa. Aku ngerasa aku nggak ada dalam daftar prioritas kamu. Sampai di suatu titik, aku ngerasa aku nggak pantas untuk kamu. Aku sedih karena nggak punya tempat di kesibukan kamu. Karena aku nggak bisa mengimbangi kamu, akhirnya aku sadar kalau jadi pacar orang sesibuk kamu itu bisa menguras hati dan pikiranku.”
Mendengar itu, Miko merasa seakan ada palu besar tak kasat mata menghantam dadanya sehingga membuat hatinya terasa nyeri. Tak pernah disangkanya kalau Joana punya pikirian seperti itu. Maka diarahkannya satu tangannya untuk menggenggam tangan Joana.
“Selain itu, aku iri sama teman-teman seorganisasi kamu karena mereka bisa bareng kamu terus. Jujur, aku insecure sama kamu yang jadwalnya selalu padat, Miko. Aku payah,” tutur Joana susah payah. Matanya kembali berkaca-kaca, dan memanas.
Ada sesak yang tak terdefinisikam bergumul di dalam dada Miko. Pun dia merasa marah pada dirinya sendiri karena telah membuat Joana merasakan semua hal tersebut. Miko tak mampu berkata-kata. Juga Miko merasa sangat bersalah pada Joana karena tidak pernah sadar akan hal itu.
“Aku takut kalau kamu gunain itu sebagai alasan buat—”
“Buat ninggalin kamu?” sela Miko cepat.
Joana mengangguk sembari tersenyum getir. Hal itu membuat hati Miko kian remuk.
Lelaki itu menggeleng lemah.
“Aku nggak akan pernah ninggalin kamu, Joana. Aku nggak pernah ngerasa kalau kamu jauh di belakangku. Nggak pernah sekali pun aku ngerasa kalau kalau kamu itu payah. Aku selalu ngerasa kamu hebat, Joana. Kamu pun sebaik itu. Kamu selalu memaklumi kesalahanku. Kamu selalu maafin keteledoranku yang baru aku sadari kalau itu ternyata nyakitin kamu segini hebatnya.” Ada geletar dalam suara Miko, tapi sebisa mungkin Miko menahannya agar tidak membuat Joana semakin sedih.
“Maaf tindakanku kekanak-kanakan …” ujar Joana lirih.
“Nggak. Aku yang minta maaf karena nggak pernah sadar dengan perasaan kamu.” Lelaki itu menangkup wajah Joana dengan telapak tangannya. “Maaf karena aku selalu berpikir kalau kamu beneran baik-baik aja. Maaf karena aku selalu menyepelekan perasaan kamu. Kamu lebih dari yang kamu sebutin tadi. Bagi aku, kamu lebih berharga dari apa pun.” Penyesalan itu terdengar pekat dalam geletar suara Miko. Dengan melihat raut wajah Miko, Joana bisa tahu kalau lelakinya itu pun merasa bahwa hal ini tidak mudah.
Joana tidak pernah tahu kalau kelapangan, kelembutan dan ketulusannya lah yang membuat Miko jatuh hati padanya. Seperti kupu-kupu, Joana selalu bisa melihat indahnya sayap orang lain, tetapi tak pernah menyadari bahwa sayapnya pun sangatlah indah.
Miko menatap Joana lekat-lekat. Tatapan itu berisi kerinduan dan kelegaan yang mendalam terhadap Joana. Perlahan, detik terasa melambat, dan bumi terasa seolah berhenti berputar. Dalam keheningan itu, dan lewat tatap matanya, Miko menyampaikan perasaannya yang tak pernah sedikit pun berkurang pada Joana.
“Perasaanku ke kamu nggak pernah berubah, Joana.” Kalimat itu terlontar dengan segenap ketulusannya. “Kita perbaiki ini sama-sama, ya?”
Joana mematung, membuat hening menguasai mereka. Tanpa disadari, air mata Joana malah kembali merembes. Gadis itu menatap Miko sendu. Dia tidak bisa berbohong, ada rindu, dan hangat yang menyebar dalam dadanya.
“Kamu nggak pergi?” tanya Joana di sela isakannya.
“Kan aku udah bilang, aku nggak akan pernah ninggalin kamu. Lagian, aku mau ke mana lagi coba? Tujuanku Cuma kamu, Joana.” Lelaki itu mengacak puncak kepala kekasihnya itu lembut. Menyalurkan secuil kehangatan.
“Aku udah jahatin kamu, Miko.”
Miko menggeleng. Bibirnya menyunggingkan senyum yang selalu berhasil membuat Joana jatuh hati. “Kamu cuma ngasih aku pelajaran, Joana. Buktinya, dengan itu aku akhirnya sadar dengan kesalahanku, kamu juga. Anggap aja ini jadi momen evaluasi buat kita. Kita ambil pelajaran dari sini supaya ke depannya bisa lebih baik. Mau, kan?”
Sambil tergugu Joana mengangguk. “Maaf karena aku nggak ngerti cara kamu mencintai aku.” Gadis itu bergumam lirih saat Miko mengusap air matanya.
“Aku yang minta maaf karena nggak mengerti bagaimana kamu ingin dicintai.” Lelaki itu membawa Joana dalam rengkuhannya. Membiarkan gadis itu menyandarkan kepala di dadanya, meski itu bisa membuat bajunya basah akan air mata.
“Kamu nggak marah?”
“Aku cuma khawatir. Gimana nggak, kamu susah dihubungin. Giliran disamperin malah ngajak main letak umpet.” Selorohan Miko sukses membuat Joana yang tadinya tergugu, mau tak mau tergelak. “Omong-omong, apa rencana kamu ke depannya?”
“Aku mau lebih fokus sama Pekan, dan volunteering. Mungkin dengan itu aku bisa sayang dengan diriku sendiri.”
“Aku bakal selalu ngedukung kamu untuk terbang tinggi, Joana,” kata Miko sembari mempererat rengkuhannya dan menyandarkan dagunya di puncak kepala Joana. “Sebagaimana kamu yang selalu ngedukung aku.”
-TAMAT-
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
Tim Dalam Artikel Ini
Penyendiri yang nggak suka sendirian. Sukanya bulan, tapi nggak suka jadi bulan-bulanan.