Bittersweet chapter 5 by Ciinderella Sarif via www.hipwee.com
Gadis berpiyama hitam keluar dari kamar mandi dengan rambut terlilit handuk. Dia berjalan santai mendekati temannya yang sedang sibuk di dapur. Hari itu, Joana memutuskan untuk menginap di rumah Nanda, berhubung rumah sahabatnya itu sedang kosong karena anggota keluarganya yang lain sedang bepergian ke luar kota.
“Ada yang bisa gue bantu nggak, Nda?” tanyanya. Gadis itu celingak-celinguk memindai sekeliling, mencari tahu apa yang bisa ia bantu.
Sebagai anak dari chef di salah satu hotel bintang lima, jelas kepiawaian Nanda dalam urusan masak-memasak tidak perlu diragukan lagi. Benar saja, tak lama setelah Joana mendudukkan diri di salah satu kursi di ruang makan, Nanda menyusul membawakan dua piring nasi goreng spesial buatannya. Nanda tak langsung duduk. Dia kemudian beralih ke kulkas, mengeluarkan sebotol besar air dingin untuk dijadikan teman makan.
Keduanya kemudian makan tanpa ada satu pun yang membuka suara. Benar-benar yang terdengar hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Tak butuh waktu lama, kedua perempuan itu selesai dengan makan malamnya.
“Jadi pengen yang manis-manis nggak, sih?” Nanda mengobrak-abrik isi kulkasnya untuk menemukan sesuatu yang bisa dijadikan pencuci mulut. “Kalau bikin, kelamaan. Pesan aja, deh.”
Joana tak menyahut.
Nanda melirik Joana kesal. “Jo, lo dengar nggak, sih?”
“Iya, dengar.”
Gadis itu sontak berdecak dan menarik wajah masam. “Lo pengen apa? Gue mau pesan Gofood.”
“Apa aja boleh. Nggak nolak.”
“Gue pesan Miko, ya?”
Nanda lantas menarik sebelah sudut bibirnya membentuk seringaian jahil yang berhasil membuat Joana menoleh padanya dengan kecepatan tinggi, dibarengi pelototan lebar.
“Gue lempar juga lo, ya!”
***
Usai dengan pesta makan-makan, kedua gadis itu langsung mengambil posisi nyaman di atas kasur. Sesi curhat akan segera di mulai.
Seperti biasa, Joana membiarkan Nanda untuk memulai sesi curhat mereka. Dengan lugas perempuan itu bercerita panjang lebar mengenai apa yang ia alami dan ia rasakan selama beberapa waktu terakhir. Entah itu tentang perkuliahan, asmara, bahkan keluarga. Nanda memang selalu seterbuka itu pada Joana. Joana pun mendengarkan semua yang diluahkan Nanda sambil sesekali menimpalinya dengan beragam reaksi.
“Sesi gue udah abis. Sekarang giliran lo.” Nanda memiringkan tubuh, menghadap lurus ke Joana yang kala itu tengah terlentang menghadap langit-langit kamar.
“Bingung mesti mulai dari mana …,” keluhnya setelah mengembuskan napas panjang.
“Mulai dari kenapa lo uring-uringan terus beberapa hari ini?”
“Karena gue bingung sama diri gue sendiri. Gue nggak ngerti—”
“Kalau gitu, gue yang tanya, deh. Kenapa lo nggak pernah mau balas chat atau angkat telepon dari Miko?” Nanda menatap tajam lawan bicaranya.
Joana menoleh. Dahinya berkerut mendengar pertanyaan Nanda. “Kok lo tahu? Bukannya lo cuma liat sekali doang?”
“Cowok lo DM gue,” jawab Nanda sembari memutar kedua bola mata.
Miko mengirim DM pada Nanda | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
“Hah? Ngapain sampai DM lo segala?” Kali ini Joana melotot. Bola matanya bisa saja copot.
Nanda tak mau kalah. Dia ikut mendelikkan matanya lebar-lebar. Menatap sang sahabat dengan garangnya. “Ya nyariin lo lah! Lo nggak bisa dihubungin. Sekalinya bisa dihubungin, nggak pernah mau respons. Nggak biasanya lo nge-stalk dia pakai akun gue. Sekarang mending lo jujur deh sama gue, lo kenapa sama Miko?”
Joana sadar bahwa sudah tidak ada celah untuk dirinya berkilah atau bahkan menghindar dari Nanda.
“Gue capek sama Miko,” ujarnya perlahan.
Nanda memasang ekspresi bingung.
“Gue capek ngertiin dia terus. Gue capek dinomorduakan. Gue juga pengin kayak teman-teman seorganisasi Miko yang bisa sesering itu bareng dia. Diprioritasin. Selalu disiagain. Ya memang, mayoritas lelaki tapi tetap aja … gue iri, Nda.”
Nanda terdiam beberapa saat. Dia sedang berusaha menyusun kata yang tepat.
Sebelum Nanda sempat membalas perkataan Joana, gadis itu sudah kembali berkata-kata, “Bukan sekali dua kali Miko telat atau bahkan lupa kalau dia udah ada janji sama gue. Telatnya nggak pernah nanggung-nanggung, dan dia nggak pernah minta maaf untuk itu. Dia nggak pernah ngerasa kalau perbuatan dia itu salah.”
“Tapi, Jo, lo tahu dari awal kalau Miko itu memang always se-hectic itu, kan?” tanya Nanda. Joana mengangguk, dan Nanda langsung lanjut berkata, “Kalau lo pengen selalu ada di dekat Miko, ya itu artinya lo bisa sekadar jadi teman sekomunitas atau apalah itu. Bukan jadi lo yang sekarang. Lo yang sekarang ini Joana Prasasti, pacarnya Miko, dan lo bukan teman satu komunitasnya.”
Joana mengerjapkan mata. “Maksud lo gimana sih, Nan?” tanyanya belum sepenuhnya mengerti.
“Gue yakin lo dan mereka punya tempat tersendiri. Menurut gue, alasan Miko nggak pernah minta maaf atau ngerasa salah atas kesalahan dia adalah karena lo yang selalu secepat itu memaafkan dia. Bahkan lo udah memaafkan dia sebelum dia minta maaf secara langsung sama lo. Lo sendiri yang selalu serba nggak apa-apa. Harusnya lo ngomongin ini sama Miko. Bukan dipendam. Bukan juga kucing-kucingan kayak gini. Ini nggak bikin masalah lo selesai, Jo.”
Joana terdiam. Dia tidak banyak bereaksi. Kepalanya sibuk mencerna arti dari setiap kata yang dituturkan Nanda. Kalimat demi kalimat tersebut pun ia cermati dan itu berhasil membuat Joana benar-benar tertohok.
Perlahan tapi pasti, matanya mulai terasa panas.
“Kita udah bukan anak belasan tahun, Jo. Udah bukan waktunya buat lempar-lempar kode tipis, sengaja kabur biar dikejar terus. Straight to the point aja. Lo juga tahu Miko itu bodoh dalam urusan nangkap kode.”
Melihat diamnya Joana, Nanda pun kembali melanjutkan bicaranya.
“Lo ingat nggak, lo pernah ceritain gimana toksiknya Mahen dulu?”
Meski bingung karena tiba-tiba terlontar nama yang sebenarnya sudah tidak asing lagi itu, Joana tetap menganggukkan kepalanya perlahan. “Kenapa?”
“Lo yang sekarang, mirip kayak Mahen.”
“Maksud lo, gue toksik, gitu?” Joana menatap Nanda sengit. Ada rasa tak terima yang tumbuh dalam dirinya.
Mahen adalah lelaki yang dulunya pernah mengisi hati Joana. Lelaki yang mengangkat Joana setinggi-tingginya, dan mengempaskan Joana begitu saja. Lelaki yang meninggalkan banyak luka di hati Joana, juga meninggalkan banyak kenangan buruk dalam benak Joana.
Lelaki yang membuat Joana hampir tak tersembuhkan.
“Iya, kan? Selalu minta dinomorsatukan dalam hubungan, nggak rela kalau pacarnya punya kegiatan lain di luar sama dia. Lo nyaris kayak gitu juga sekarang. Padahal di umur-umur kita sekarang, malah bagus nggak sih, Jo, kalau aktif di banyak organisasi?”
Kata-kata itu membuat sukses Joana merasa seolah dia baru saja tersambar petir. Seketika, semua tindakan kekanak-kanakannya terhadap Miko terbayang dalam benaknya. Perasaan tidak terimanya atas pernyataan Nanda tadi sedikit menguap. Apa yang dikatakam Nanda benar, tetapi hati kecilnya tetap belum sepenuhnya menerima.
Joana curhat pada Nanda | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Ya gue ngerti, Nda, gue paham. Tapi masalahnya Miko itu sering banget telat kalau kanjian. Kalau memang sibuk, ya mendingan nggak usah bikin janji, kan? Mana nggak pernah minta maaf.”
“Nah, itu juga.” Nanda mengangguk-angguk, seolah baru saja memahami sesuatu.”Masalahnya lo nggak pernah ngomongin isi hati lo ke Miko. Lo pilih diam aja dan makan hati daripada ngomongin masalah kalian berdua dan nyari solusi. Bener nggak sih?”
Gadis itu refleks menggigit bibir bawahnya sambil berusaha menahan agar air mata yang sudah mulai menggenang tidak terjun bebas. Joana tak pernah menyadari kalau dirinya perlahan berubah menjadi sama seperti orang yang selama ini ia benci setengah mati.
“Maaf, ya, Jo. Tapi kadang gue lihat lo ngerasa seolah lo yang paling tersakiti, padahal lo sendiri yang menarik diri, memilih buat pendam semuanya sendirian, ngerasa kuat simpan semuanya sendirian dan menutup semua celah buat Miko. Dia udah berusaha buat nge-reach lo, Jo. Kenapa nggak coba diomongin baik-baik, biar dia juga tahu kalau sikapnya itu salah? Tapi lo yang lebih milih buat tenggelam sendirian dalam luka yang lo buat sendiri,” kata Nanda dengan tegasnya.
Joana menelan ludah dengan susah payah. “Gitu ya ….”
“Bukan sepenuhnya salah Miko kalau lo akhirnya ngerasa insecure. Kuncinya ada dalam diri lo, Joana. Lo yang harus bertindak untuk itu, bukan orang lain.” Nanda mengulum bibir, lalu mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Joana. Nanda jelas merasa sangat bersalah, tetapi dia tahu kalau dia sudah melakukan hal yang benar untuk membawa Joana kembali ke jalur yang seharusnya. “Gue minta maaf kalau kata-kata gue jahat. Tapi gue nggak mau lo kayak gini terus, Jo. Lo harus sadar. Gue ngomong gini demi kebaikan lo. Demi kebaikan hubungan kalian berdua juga. Apa gunanya kalian bareng kalau hal yang kayak gini aja nggak dikomunikasikan? Memangnya kalian pacaran cuma buat status doang? Nggak, kan?”
Lagi-lagi kata-kata yang diuntai Nanda berhasil menohok Joana sampai ke jauh ke dalam. Joana kemudian mengangguk dengan air mata yang sudah membasahi kedua belah pipinya. Dia berusaha menahan isakannya agar tidak pecah.
Apa yang dikatakan Nanda sepenuhnya benar. Joanalah yang menutup dirinya sendiri, serta menutup akses bagi Miko. Joana-lah yang telah menyakiti dirinya sendiri. Joana-lah yang memilih untuk bergumul dengan semua perasaan dan pikiran negatifnya sendiri. Sedangkan Miko hanyalah tameng yang Joana gunakan untuk melampiaskan ketidakpuasan yang bercokol di dalam hatinya. Seandainya Miko tidak terlambat pada hari itu, mungkin Joana pun masih bersikeras menyimpan semuanya sendiri sembari terus hanya menyalahkan Miko atas perasaan insecure yang menderanya.
“Nanda… Makasih.”
Joana meluru memeluk Nanda, dan menumpahkan tangisnya di sana. Nanda hanya bisa mengulum bibir guna menahan air mata yang sudah mendesak di pelupuk mata. Tangannya bergerak perlahan mengusap punggung sang sahabat penuh sayang.
“Gue mau yang terbaik buat lo, Jo,” kata Nanda. “Nah, buruan hubungi Miko, gih! Jangan dianggurin lama-lama. Ntar diambil cewek lain, lo mewek lagi.”