Miko keluar dari ruang rapat dengan wajah tak puas hati. Tertekuk masam. Beberapa hari belakangan, banyak hal yang terjadi dan semua tidak berjalan sesuai harapannya. Dia berharap setidaknya ada satu yang bisa sesuai dengan harapannya. Namun, nihil. Seolah semesta memang tidak mau mendukungnya.
“Ko, Bintaro, yuk!” ajak Gibran, teman seorganisasi Miko —yang entah datang dari mana— sambil menyikut lengan Miko.
Miko mengerjapkan kelopak matanya lambat seraya menggaruk kepala. “Skip dulu deh. Masih mau ada diskusi sama Bang Opik.”
“Abis diskusi, ngapain?”
Miko terdiam beberapa detik. Berusaha mengingat jadwal kegiatannya hari ini. “Ada rapat, sih.”
Mendengar jawaban Miko, temannya itu spontan berdecak. “Yaelah, Ko … Ya kali, lo dua puluh empat per tujuh ngurusin organisasi mulu, sih? Santai dikit ngapa? Kalau gini terus, bisa-bisa lo ditinggalin tuh sama si Joana.”
“Heh! Mulut lo emang nggak ada asuransinya apa gimana, sih?” protes Miko dengan kelopak mata yang terbuka lebar. “Cewek gue mah pengertian. Jangan disamain sama mantan-mantan lo, dong.”
“Ya, gue ngomong kan berdasar pengalaman, Bro. Jam terbang gue lebih tinggi daripada lo. Gue ingetin sama lo, sepengertian apa pun cewek, dia nggak bakal betah lama-lama sama cowok yang sibuk dua puluh empat per tujuh. Cewek tuh butuh cowok yang selalu siap dua puluh empat per tujuh buat dia.” Gibran menepuk pundak Miko beberapa kali. Pemuda itu menggeleng perlahan. Merasa miris sendiri dengan minimnya kepekaan Miko akan perasaan perempuan.
Miko menepis tangan Gibran dari pundaknya. “Gaya lo, Gibran …” Dia kemudian balas menepuk pundak temannya itu beberapa kali seraya berujar, “Cewek gue suportif. Selama yang gue lakuin itu positif, dia selalu ngedukung apa pun yang gue lakuin. Nggak pakai protes, apalagi ngeluh.”
“Duh, sumpah …” Gibran menjeda kalimatnya, lalu menatap Miko dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pemuda itu tak bisa menahan kepalanya untuk tidak menggelengkan kepala lagi. “Gue akui, lo emang jago dalam urusan organisasi, tapi lo nol besar dalam urusan cinta-cintaan. Kalau ada ujiannya, gue jamin lo bakal remedial terus.”
Miko refleks berdecak mendengar kata-kata Gibran. Satu tangannya bergerak meninju lengan si lawan bicara. “Apaan, sih, Gib? Ah, mending lo cabut deh.”
“Gue serius, Ko. Mending lo belajar bagi waktu deh. Keburu si Joana minggat. Ya, kecuali lo mau kejadian sama Septi keulang lagi.”
“Gue yang cabut nih,” ancam Miko seraya memutar kedua bola mata malas.
“Coba ingat-ingat lagi, deh. Lo ditinggal Septi gara-gara lo sibuk terus, ‘kan?”
“Kenapa jadi bawa-bawa dia, sih?”
Miko adalah tipe yang malas membahas masa lalu. Menurutnya, apa yang sudah berlalu, biarlah berlalu. Tak perlu diingat lagi. Tidak ada untungnya. Kecuali hal itu memang menyenangkan untuk diingat-ingat lagi.
“Jawab aja,” Gibran mendesak.
“Nggak ada, ya. Gue yang ninggalin dia gara-gara dia ngajak nikah terus,” elak Miko acuh tak acuh.
“Menurut lo, kenapa dia ngebet ngajakin lo nikah?”
“Ya, karena dia capek sama kuliahnya,” jawab Miko enteng.
Gibran berdecak keras sambil menoyor kepala Miko geram. “Dia capek sama lo, belalang sembah!”
“Dih! Kenapa jadi gue?” Miko menatap temannya itu dengan tatapan garang. Jelas merasa tidak terima dengan apa yang dikatakan Gibran.
“Ya karena lo sibuk terus! Kalau kalian nikah, dia ngerasa kalian bakal bisa punya banyak waktu bareng.”
“Otak dangkal.” Miko tertawa mendengkus. Dia menepuk pundak Gibran, kemudian berpamitan, “Dah, gue beneran cabut.”
***
“Joana?”
Suara yang dibarengi dengan tepukan di pundak itu berhasil membuat gadis berkemeja putih itu berjengkit kaget. Cepat-cepat dia menoleh ke arah sumber suara.
“Hah? Kenapa, Nda?”
Sudah beberapa hari belakangan, Joana tampak kehilangan fokus, dan lebih sering melamun. Tetapi, gadis itu tak kunjung menumpahkan isi hatinya. Lebih memilih untuk memendamnya sendirian, seperti biasanya. Joana memang tipe orang yang jarang mengungkapkan apa yang sedang mengganggu pikirannya, kalau tidak benar-benar dipancing dengan sedikit paksaan.
Kini, lawan bicara Joana itu mengulas senyum. “Lagi mikirin apa, sih? Dari kemarin cemberut mulu, udah gitu uring-uringan terus.”
Yang ditanya langsung menghela napas panjang. “Biasalah.”
“Miko?”
Joana tersenyum hambar sebagai jawaban. Gadis itu lalu merogoh kantong jaket almamaternya, mengeluarkan ponsel dan mengecek semua notifikasi yang masuk. Tanpa sengaja, Nanda yang ingin mengambil tempat di sebelah Joana malah menyenggol lengan Joana sehingga membuat jari gadis itu salah memencet notifikasi yang akan dia buka.
“Nanda!” pekik Joana dengan mata yang terbelalak lebar. Hal itu tentu membuat Nanda ikut terkejut.
“Apa? Kenapa?”
“Duh, chat-nya kebuka…” Joana menatap Nanda dengan tatapan memelas.
ADVERTISEMENTS
Kamu sedang membaca konten eksklusif
Dapatkan free access untuk pengguna baru!