Bittersweet - Chapter 2 by Ciinderella Sarif via www.hipwee.com
Joana mencepol rambutnya asal-asalan sebelum tangannya bergerak menyalakan keran air, dan membasuh wajahnya. Berkali-kali dan dengan keras. Setelah merasa perasaannya jadi lebih membaik, gadis itu langsung mengangkat wajah sehingga sejajar dengan kaca yang menempel indah di atas wastafel dengan kedua tangan yang bertumpu di sana.
Dia menarik napas dalam-dalam sebelum membuka mata dan menatap bayangan diri sendiri yang tercetak di cermin di hadapannya. Lewat cermin tersebut, Joana bisa melihat bagaimana dirinya terlihat sangat menyedihkan. Kantong matanya bengkak dan gelap. Wajahnya pun terlihat kusam, bagaikan tiada rona.
Menyeramkan. Menyedihkan. Mengenaskan.
Sepeninggal Miko tadi malam, Joana memang menumpahkan semua kekesalannya dengan menangis semalaman. Ia baru terlelap setelah azan subuh berkumandang. Kini Joana menyesal karena hal itu membuat wajahnya saat ini terlihat sangat mengenaskan.
Joana menghela napas panjang. Dia pikir, setelah menangis semalaman, pagi ini perasaannya akan membaik, akan terasa lebih ringan dan plong. Nyatanya tidak. Perasaannya masih kacau. Masih ada sakit yang bercampur nyeri. Tak berkurang sedikit pun, malah terasa semakin bertambah.
Tekad Joana sudah bulat. Dia harus mengakhiri hubungannya dengan Miko, guna menyelamatkan dirinya dari perasaan yang terus mengikis setiap sudut hatinya.
Ia keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai. Joana meraih botol berisi air mineral yang selalu tersedia di nakasnya, lalu menenggak isinya yang tinggal setengah hingga tandas tak bersisa. Setelahnya, Joana melirik ponselnya yang kala itu layarnya menyala karena ada notifikasi masuk.
Tuan<3
19 missed calls
24 unread messages
Joana memang sengaja mengabaikan semua pesan dan telepon dari Miko sejak tadi malam. Benda pipih tersebut telah diatur dalam mode senyap, jadi, tidak akan ada yang merasa terganggu dengan dering nyaringnya.
Masih mengabaikan apa pun yang berkaitan dengan Miko, Joana menggerakkan jempolnya untuk membuka galeri. Dia berniat untuk mengunggah foto ke story Instagram. Namun, saat sedang memilih foto, tanpa disengaja jempolnya tergelincir dan malah berselancar jauh ke foto-foto yang diambil beberapa bulan lalu.
Di foto itu tampak seorang pemuda berompi abu tua memegang megafon, berdiri tegak di sebelah seorang perempuan berompi cokelat muda yang tampak memegang buku dan spidol. Dua orang itu yang adalah Miko dan Joana, tersenyum kikuk kepada kamera. Joana ingat betul, itulah pertemuan pertamanya dengan Miko, dan itulah mengapa mereka terlihat sangat canggung di foto.
Pertemuan pertama Joana dan Miko | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
Foto itu berhasil menenggelamkan Joana dalam kenangan tentang hari foto tersebut diambil.
***
“Meka!”
“Kenapa lagi, sih, Mbak?” Pemuda dengan rompi cokelat muda itu memasang wajah sebal saat mendengar namanya terus saja diserukan oleh si perempuan berkuncir kuda.
“Ini yang dari komunitas sebelah mana, sih? Kok belum pada datang?”
Meka menatap jam di pergelangan tangan, lalu mendesah malas. Demi apa pun, ia sudah tak kuasa menahan celotehan demi celotehan yang dilontarkan oleh kakak sepupunya padanya.
“Mbakku yang tersayang, yang tercantik setelah Bunda, dan Gizka. Joana Prasasti … Plis deh, acaranya masih dua jam lagi, lho.”
Perempuan itu kontan berdecak seraya merotasikan kedua bola matanya. “Ya tetap aja … Harusnya mereka inisiatif buat extra miles, dong.”
“Nyenyenye ….” Meka memasang wajah mengejek. Tak mau ambil pusing lagi. Toh, yang bersangkutan dari komunitas sebelah sudah menginformasikan tentang keterlambatannya.
“Me—”
“Mbak Tari! Mbak Tari, tolong dong singa betina yang satu ini ditenangin. Dibius juga nggak apa-apa. Efek keseringan diselingkuhin jadinya—ADUH SAKIT!”
Meka mengaduh kencang saat merasakan ada tangan yang menjambak rambutnya dengan kekuatan penuh. Tak perlu repot merasa penasaran, karena hanya ada satu orang yang akan melakukan hal tersebut kepada Meka, dan orang itu adalah Joana.
“Mbak, ampun, Mbak!”
“Ulang kata-kata lo tadi,” desak Joana sambil membelalakkan matanya.
“Ampun, Mbak! Lepasin dulu … Kasian gue kalau tiba-tiba pulang dari sini malah botak.”
Suara berat yang memanggil nama Meka itu berhasil membuat Joana spontan melepaskan cengkeramannya di rambut Meka. Sementara Meka langsung dengan cekatan merapikan rambutnya dan menoleh ke arah sumber suara.
“Oh, Mas Miko!” Meka bergegas menghampiri lelaki yang mengenakan rompi berwarna abu-abu tua tersebut. Joana yang kebingungan hanya mengekor perlahan.
“Mbak, kenalin ini Mas Miko, founder dari komunitas Juang Kasih. Mas Miko, ini Mbak Joana, tangan kanan gue.”
“Miko.” Pemuda dengan rompi abu-abu tua itu mengulurkan kepalan tangan kanannya pada Joana sembari memasang senyum ramahnya.
Kepalan tangan itu disambut juga dengan kepalan tangan dan dibarengi senyum kikuk. “Joana.”
Tak pernah terlintas di benak Joana kalau sepulang dari acara tersebut, dia akan menemukan nomor asing yang mengatasnamakan Miko di ponselnya.
Padahal saat acara berlangsung, mereka tak banyak berbicara, hanya saat pertama kali bertemu, saat diminta oleh Meka untuk berfoto bersama di pertengahan acara dan saat acara dibubarkan. Namun, tidak sekali pun pemilik netra cokelat kayu itu menyinggung perihal nomor ponsel. Oleh karena itu, Joana bisa menarik kesimpulan kalau Meka lah yang memberikan nomornya kepada Miko.
Berawal dari tanya-tanya soal kegiatan, obrolan antara Joana dan Miko pun perlahan-lahan terus berlanjut, melebar sampai ke mana-mana. Keduanya lantas sepakat bahwa mereka sama-sama nyambung dan nyaman saat berbincang satu sama lain. Setelah hari demi hari berlalu hanya dengan ngobrol via pesan dan telepon, kini tibalah pada hari di mana mereka akan pergi bersama untuk yang pertama kalinya.
Joana menyerahkan pemilihan tempat tujuan mereka pada Miko, dan Miko memilih untuk bersantai di angkringan milik temannya yang kebetulan berlokasi tidak jauh dari kompleks perumahan Joana.
Perempuan itu harus berkali-kali harus mengalihkan pandangan atau menundukkan kepala guna menghindari tatapan Miko yang kala itu terasa mengulitinya.
“Kenapa? Malu, ya?” goda Miko lalu terkekeh.
Kali ini Joana menutup wajahnya dengan telapak tangan. Sebelum Miko sempat angkat bicara, pesanan mereka sampai dan diantar langsung oleh teman Miko, Haris.
“Miko … Miko … Mimpi apa lo tadi malam tiba-tiba hari ini bawa cewek ke tempat gue?” Haris mengambil tempat di antara Miko dan Joana. Miko hanya melepas senyum santai sementara Joana mengulum senyum mendengar penuturan Haris tadi.
“Bawel lo. Bagus gue ke sini,” timpal Miko sambil mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tas bawaannya. Pemuda itu menoleh pada Joana. “Aku ngerokok nggak apa-apa? Atau apa-apa?”
Joana tergelak. “Nggak apa-apa, santai aja.”
Miko mengangguk lalu menyulut api pada rokoknya.
Kencan pertama Joana dan Miko | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“By the way, kenalin ini Haris, temen futsalku.”
Pemuda dengan kaos hitam kebesaran itu mengulurkan tangan di hadapan Joana. “Gue Haris.”
“Joana.” Gadis itu menyambut uluran tangan Haris.
“Lo harus hati-hati sama Miko. Takutnya makan hati. Suka susah dibilangin nih anaknya,” kata Haris pada Joana sambil ikut menjamah rokok yang Miko ulurkan.
Kala itu, Joana hanya tertawa. Kata-kata Haris tak pernah Joana masukkan dalam hati karena dia beranggapan kalau apa yang diucapkan tadi hanyalah sebatas gurauan belaka. Tak pernah tebersit di benaknya bahwa apa yang dikatakan Haris pada hari itu adalah sebuah fakta.
“Lo tuh ya… Daripada ngerusuh di sini, mending lo jaga kasir, deh. Duduk yang manis. Jangan mentang-mentang owner, lo jadi seenak jidat ongkang-ongkang kaki di mari. Gue kan juga customer. Mana nih privasi gue?” gerutu Miko sebal yang disambut dengan godaan oleh Haris.
Sepeninggal Haris, Joana dan Miko pun mulai membicarakan tentang banyak hal. Dari hal yang paling penting, sampai hal yang paling tidak penting. Semua topik obrolan mereka jelajahi, dan lagi-lagi ternyata nyambung.
Setelah menghabiskan waktu berjam-jam lamanya, Miko akhirnya memutuskan untuk melirik ponsel.
“Cabut, yuk?” ajaknya.
“Pulang?” Joana memastikan.
“Kalau keliling bentar, gimana?”
Joana tersenyum dan menyetujuinya dengan anggukan. “Boleh.”
Senyum lebar pun terkembang di wajah Miko. Dia segera bangkit, cepat-cepat ke kasir dan menyelesaikan pembayaran. Sebelum benar-benar pergi, keduanya berpamitan terlebih dahulu pada teman-teman Miko.
“Jangan diculik anak orang,” goda Haris yang disusul dengan celetukan jail lainnya dari teman-teman yang lain.
“Iye, iye, bawel amat, sih.”
Begitu menjalankan motor, Miko langsung berkata, “Tenang, aku nggak bakal culik kamu kok.”
Meski sempat berlomba-lomba dengan suara angin, kata-kata itu tetap berhasil sampai ke indera pendengaran Joana dengan jelas dan lengkap. Joana spontan tergelak.
“Iya, tahu kok. Lagian, mana bisa kamu nyulik aku yang segede ini,” balas Joana dengan sisa tawanya.
“Bisa aja kalau aku mau.”
***
“Joana, kamu mau dengerin aku ngebacot nggak?”
“Hah? Ngebacot?”
“Iya, yang wawancara radio.”
Ah! Joana baru teringat kalau hari ini lelaki itu diundang oleh salah satu stasiun radio lokal untuk diwawancara sebagai tokoh remaja yang menginspirasi.
Miko Prasetya, selain founder dari Juang Kasih, juga aktivis yang bergerak di bidang kemanusiaan, membela hak-hak rakyat kecil. Mengagumkan. Superkeren. Begitulah Miko Prasetya di mata Joana.
“Mau dong. Kemarin radio apa namanya?”
“Dengerin langsung di tempat. Temenin aku wawancara pukul empat. Sekalian abis wawancara, kita malam mingguan.”
Joana melirik jam yang tergantung di dinding kamar. “Satu jam lagi, Miko … Aku siap-siap dulu kalau gitu.”
“Okey. Aku juga mau siap-siap dulu. Nanti aku kabarin lagi ya?”
Miko tiba tepat setelah Joana selesai memasang sepatunya. Begitu motor dijalankan, Miko berujar, “Maaf ya, kayaknya aku bakal ngebut. Kamu pegangan.”
Sepulang wawancara, Miko membawa Joana ke sekolah Juang Kasih. Miko dimintai tolong oleh salah satu temannya untuk mengurus sesuatu di sana.
“Maaf, ya, jadi harus mampir ke sekolah.”
“Nggak apa-apa, Miko. Santai aja.”
Setibanya di lokasi, mereka dikejutkan dengan kehadiran wanita yang Miko sebut Bunda.
“Loh? Kok Bunda di sini?” Miko menatap wanita itu dengan tatapan bingung.
“Iya, Bunda pesan kelapa sama Dion.” Wanita itu menatap Joana dengan tatapan penasaran. Tatapan itu membuat Joana, mau tak mau, maju dan mendekati keduanya.
Miko mengikuti arah pandang sang Bunda, lalu menepuk dahinya sendiri. “Bun, kenalin ini Joana. Joana, kenalin ini Bunda.”
“Joana, Tante.” Joana menyalami wanita berparas ayu itu dengan sopan.
“Bunda Hanna. Bundanya Miko. Panggilnya Bunda aja, biar sama kayak yang lain.” Alih-alih melepas genggamannya di tangan Joana, Bunda malah melirik Miko sekilas. “Gimana kalau kita pergi ngopi ke tempatnya Miss Husnul? Sama Joana juga. Mumpung ini malam Minggu.”
“Justru karena ini malam Minggu, aku mau jalan sama Joana, Bunda. Ini saatnya untuk anak muda bersenang-senang.” Pemuda itu menepis mentah-mentah ajakan sang Bunda.
Bunda lantas menatap Joana dengan lensa yang berkaca-kaca, seolah berharap gadis itu bisa membuat Miko berubah pikiran.
“Kayaknya ngopi bakal seru, deh,” kata Joana takut-takut.
Miko mengernyitkan dahi. Dia menatap Joana tak percaya. “Kamu serius?”
“Iya, serius.”
“Nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa. Emangnya kenapa? Kamu nggak suka?”
Miko menggeleng cepat. “Suka kok!”
Mendengar itu, Bunda langsung mengalungkan kedua lengannya di lengan Joana, menggamitnya dengan hati yang senang. Senyum puas tampak terkembang apik di wajah ayunya. Sementara Joana hanya bisa mengulum senyum malu-malunya, tak menyangka bahwa dirinya bisa membuat perempuan setengah baya di sebelahnya akan sesenang itu.
“Fine… Bunda menang.”
***
Lagi-lagi, hal yang tidak disangka-sangka terjadi. Miko menyatakan perasaannya pada Joana di perjalanan pulang setelah selesai dengan agenda nongkrong bersama Bunda dan temannya.
“Joana, aku suka sama kamu.”
“Hah?”
Tidak. Bukannya suara Miko terbawa angin, tetapi Joana hanya ingin memastikan bahwa pendengarannya tidak salah. Gadis itu lantas mengerjapkan kelopak matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi.
Miko menyatakan cinta pada Joana | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Mau jadi pacarku nggak?”
Joana tertawa salting. Dia merasa seakan ada jutaan kupu-kupu yang berterbangan ke sana kemari di dalam perutnya, menggelitikinya dengan lembut.
“Kalau kamu ketawa, berarti jawabannya iya. Kita pacaran.”
***
“Joana, aku berangkat ya! Temen-temen udah pada nungguin. Nanti aku kabarin lagi.”
Dua minggu setelah resmi berpacaran, Miko diminta oleh seniornya untuk turun melancarkan aksi demonstrasi di kantor dewan perwakilan rakyat. Sebenarnya, tanpa diminta pun Miko tetap akan turun melancarkan aksi bersama teman-temannya yang lain. Dia sudah merencanakan hal ini sejak jauh-jauh hari.
“Miko?”
“Iya, Sayang?”
Joana menggigit bibirnya. Dia ingin meminta Miko untuk tidak pergi, tetapi mulutnya seakan terkunci. Joana takut terjadi sesuatu pada lelaki itu, terlebih setelah dia melihat sendiri bagaimana buntut dari aksi demonstrasi yang pernah ia ikuti kemarin bersama teman-teman sekelasnya. Namun, Joana tahu, Miko bukan tipikal orang yang bisa dilarang. Semakin dilarang, justru itu akan membuat dia semakin bersemangat untuk melakukannya.
Joana mengusaikan putaran kenangan di benaknya. Lewat semua ingatan itu, Joana menyadari bahwa sebenarnya dia masih sangat menyukai Miko, masih sangat menyayangi Miko dengan segenap hati dan perasaannya. Namun tetap saja, di sudut hatinya dia merasa sedih karena tidak punya tempat di hari-hari sibuk Miko.