Bittersweet by Ciinderella Sarif chapter 1 via www.hipwee.com
Joana sedang berleha-leha sambil menonton acara varietas-realitas Korea Selatan yang berjudul The Return of Superman, saat tiba-tiba ponselnya berbunyi dengan sangat nyaring. Terkejut sendiri, hampir saja ponsel dalam genggaman Joana terlepas.
“Ah! Ngagetin!” gerutunya kesal sambil menggeser tombol hijau di layar ponselnya. Ia bahkan tak sempat melihat nama yang tertera.
“Halo?”
“Halo, Joana.”
Perempuan itu lantas menjauhkan layar ponsel dari daun telinga untuk memastikan nama kontak si pemanggil.
Joana gelagapan saat mendengar suara serak itu memanggil namanya. “Eh? Iya, halo.”
“Kamu lagi di mana?”
“Di rumah.”
“Ngapain?”
Senyum Joana kian melebar. Pipinya bisa saja robek. Itu karena dia hafal arti dari pertanyaan basa-basi tersebut. Ringkasnya Miko ingin memastikan bahwa Joana sedang sibuk atau tidak? Kalau Joana sedang luang, Miko ingin bertemu. Entah itu dengan sekadar mampir sebentar ke rumah Joana, atau mengajaknya keluar, atau minta ditemani ke suatu tempat.
“Aku baru kelar nugas, terus langsung nonton. Nggak sibuk,” kata Joana to the point.
“Kenapa nggak sibuk?” Basa-basi ala Miko untuk memastikan kegiatan Joana.
“Karena emang semua kerjaan udah kelar.” Joana tergelak saat menjawab basa-basi Miko. “Emangnya kayak kamu? Sibuk terus … Dua puluh empat per tujuh, nonstop.”
Miko tergelak mendengar sindiran kekasihnya itu. “Hari ini aku emang ada acara di kampus, tapi bentar lagi kelar, sih. Abis itu aku free.”
Joana tertawa mendengkus. Mana mungkin Miko tidak sibuk. “Masa?”
“Iya, beneran. Ini mau pergi ngopi.”
“Sama siapa?”
“Sama kamu.”
Seketika Joana merasa seakan ada sekawanan hewan yang berlarian di dalam perutnya. Joana senang. Kelewat senang, sampai ingin menjerit. Satu tangannya membekap mulut, mencegah terjadinya jeritan yang berpotensi memecahkan gendang telinga.
Dia harus berlagak cool. “Kapan?”
“Sekarang.”
“Hah?” Mata Joana refleks membola seusai dia mendengar apa yang pacarnya itu katakan. “Sekarang?”
“Iya, sekarang.”
“Beneran nggak nih? Awas aja kalau aku udah terlanjur siap-siap, tapi kamu malah sibuk sama kegiatan lain,” kata Joana berusaha memastikan, takut kalau dirinya terkena harapan palsu lagi.
“Beneran. Suer.”
“Aku belum mandi! Op, bentar. Kasih aku lima menit. Aku siap-siap dulu!” Joana segera berdiri dari posisinya dan meraih handuk yang tergantung tak jauh dari tempatnya.
Gadis itu bisa mendengar suara Miko terkekeh geli, sebelum pemuda itu membalas ucapannya, “Ya udah, kamu siap-siap aja dulu. Nanti kalau udah siap, kabarin aku, ya?”
“Iya, siap. Dah. Sampai nanti.”
“Dah …”
Panggilan pun terputus. Penuh semangat, Joana melempar ponselnya ke atas kasur dan bergegas ke kamar mandi. Tak butuh waktu lama, Joana benar-benar selesai dengan mandinya. Dia kemudian memakai skincare seadanya dan memoleskan lip cream ke bibirnya. Sebagai sentuhan terakhir, Joana menyemprot parfum ke beberapa titik tubuhnya sambil tersenyum lebar.
Diraihnya ponsel yang tadi ia lemparkan ke atas kasur. Jempolnya menari cepat di atas layar, mengetikkan pesan pemberitahuan untuk Miko bahwa ia sudah siap untuk dijemput.
Joana mengambil tempat di meja belajar, memilih untuk memutar musik sambil scrolling media sosial. Karena suasana hatinya sedang bagus, perempuan itu sesekali ikut menyenandungkan lagu yang sedang berputar.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, dan kepala kakak perempuannya muncul dari balik daun pintu. “Wih, rapi bener! Mau kemana lo?”
“Jalan dong …” Joana menjawab dengan ekspresi tengilnya.
“Sama Miko?”
Joana merotasikan kedua bola matanya. “Ya iya lah … Ya kali sama Bang Ardi.”
“Heh!” Jihan membelalakkan matanya. “Gue pindahin jantung lo ke ginjal baru tahu rasa.”
Joana cekikikan mendengar ancaman sang kakak. “Lagian …”
“Nggak makan dulu?”
“Ntar aja.”
“Gue udah masak. Kalau lapar, makan.”
***
Perempuan dengan rambut hitam legam itu melirik layar ponselnya dengan perasaan gelisah yang membabi buta. Dua jam sudah berlalu, tetapi batang hidung Miko belum juga terlihat mata. Pun tidak ada kabar, sehingga membuat Joana mulai bertanya-tanya. Apakah acara kampusnya belum selesai? Gadis itu sudah mencoba menghubunginya berkali-kali, tetapi tidak mendapat jawaban. Atau jangan-jangan terjadi sesuatu yang buruk di perjalanan? Joana ingin mencoba berpikiran positif, sampai akhirnya matanya tanpa sengaja menangkap nama kekasihnya itu berada di urutan pertama recent updates WhatsApp.
Lelaki itu tak membalas pesannya, tak juga menjawab teleponnya, tetapi bisa update status. Menakjubkan.
Tanpa disadari, satu dengkusan kasar lolos dari bibir Joana. Mood Joana yang sebelumnya berada di angka sepuluh, langsung jatuh ke angka delapan.
Nggak apa-apa. Mungkin habis ini dia langsung on the way …
Joana menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan guna menetralisir amarah yang sempat terkumpul di dalam hatinya. Belum sepenuhnya reda kedongkolannya, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk.
Joana urung memasang raut semringah saat dia melihat lagi-lagi Jihan yang muncul dari balik pintu.
“Dih, ngamok…” Jihan mengerucutkan bibir, berlagak memasang ekspresi sedih. “Ya udah, kalau gitu gue duluan. Ardi udah di depan. Ntar kunci di tempat biasa aja, ya?”
Joana hanya berdehem singkat. Sepeninggal Jihan, perempuan itu kembali menghela napas panjang. Rasa kesalnya yang sempat menyurut kembali mencapai ubun-ubun.
Dia lantas membuka ruang obrolan mereka. Joana memutuskan untuk kembali mengirimkan pesan pada Miko, yang untungnya kali ini segera mendapat jawaban.
Balasan Miko berhasil membuat Joana tertawa mendengkus. Joana keluar dari ruang obrolan, dibiarkannya pesan Miko terbaca begitu saja tanpa dibalas. Ini bukanlah yang pertama kalinya seorang Miko Prasetya super terlambat. Sebentarnya Miko adalah sekian jam orang lain. Bisa dibilang kalau jam dimensi Miko dengan manusia lain di muka bumi ini jauh berbeda.
Rasanya Joana ingin melempar Miko ke kolam berisi segerombolan ikan piranha, saking geramnya. Selain geram, ada pula rasa muak yang terus berkembang dalam hati Joana sebab ini bukan yang kali pertama.
Kendati demikian, Joana tetap sesekali mengintip lewat jendela kamar saat dia mendengar ada suara motor lewat. Kalau saja itu Miko. Namun, sepertinya Joana terlalu banyak berharap.
Joana harap-harap cemas menunggu Miko | ilustrasi: Hipwee via www.hipwee.com
***
Miko baru tiba di rumah Joana dua jam setelah dia mengirim pesan, ‘Aku jalan ke sana sekarang’. Kini, lelaki itu menatap Joana takut-takut.
“Kamu marah?” tanya Miko yang kala itu duduk di hadapan Joana.
“Nggak.” Singkat dan ketus jawaban yang keluar dari bibir Joana.
“Tapi aku bikin kita nggak jadi keluar hari ini …”
“Nggak apa-apa.”
“Kenapa nggak marah?”
“Kamu mau aku marah?” Joana menaikkan sebelah alisnya. “Lagian juga udah biasa. Ini bukan yang pertama kalinya kamu lupa.”
Miko sontak cengengesan. “Ya jangan marah … Abis tadi tuh anak-anak BEM tiba-tiba datang.”
“Tapi kan setidaknya bisa ngabarin gitu loh… Kamu sendiri loh yang bilang kalau acaranya udah mau selesai, dan kamu bakal free. Apanya yang free?”
“Aku nggak sempat megang hp. Aku lupa kalau hp aku di-silent.Ya, kamu tahu sendiri gimana kegiatan aku setiap hari. Mereka percayai semuanya sama aku, otomatis aku harus selalu siap kapan pun,” jelas Miko lembut dengan harapan agar gadisnya itu bisa mengerti dan memaklumi seperti biasanya.
Alih-alih meredakan kesal, penjelasan Miko justru membuat rasa kesal Joana semakin menggelegak.
“Iya, tahu deh yang sibuk terus.” Gadis itu lantas merotasikan kedua bola matanya malas.
Sebelum Miko sempat membalas perkataan Joana, gadis itu sudah lebih dulu mengangkat tangan sebagai isyarat untuk Miko diam sebentar. Maka, lelaki itu pun mengurungkan niatnya dan mengatupkan bibir rapat-rapat.
Joana meninggalkannya sendirian di ruang tamu. Tak lama, Joana kembali dengan nampan berisi secangkir kopi yang masih mengepul.
Miko menatap Joana lama, kemudian bertanya, “Ini kopinya buat aku?”
“Nggak. Buat orang yang janji sama aku empat jam yang lalu.”
“Nyindir terus …” Miko mencebikkan bibir. “Tapi tadi aku udah ngopi sebelum ke sini.”
“Terus tadi dan sekarang itu sama? Tadi ya tadi, sekarang ya sekarang.” Gadis itu balas menatap Miko sengit. Gurat kesal kian tercetak dengan sangat jelas di wajahnya.
Miko memanyunkan bibir. “Galak banget … Iya, aku minum kok.” Pemuda itu lantas mengangkat cangkir tersebut sambil melirik Joana. “Bikinnya ikhlas nggak?”
“Ikhlas.”
“Tapi nadanya kayak nggak ikhlas.”
Melihat bagaimana ekspresi Miko saat mengucapkan kalimat tersebut, Joana pun mengulas senyum, berusaha sebisanya untuk terlihat baik-baik saja.
“Nadaku harus gimana biar kamu percaya kalau aku ikhlas?” Pertanyaan itu berhasil membuat Miko menyengir.
“Gitu dong… Senyum. Masa disamperin pacarnya malah cemberut.”
Joana terkekeh perlahan. Getir. Bukankah seharusnya pemuda itu meminta maaf? Apakah pemuda itu tidak merasa bersalah sama sekali? Apakah terlambat dan membuat seseorang menunggu lama adalah sesuatu yang wajar? Apakah ini adalah dampak dari permakluman Joana terhadap semua perlakuan Miko?
“Kok diam?” Miko menatap Joana dengan riak khawatir.
Suara Miko berhasil menarik Joana kembali dari alam pikirannya dan membuatnya mengerjap. Tawa hambar pun lolos dari bibirnya, “Nggak apa-apa, kok. Gimana tadi?”
Miko menyandarkan punggungnya seraya menghela napas panjang. Tidak dimungkiri, Joana bisa melihat ada gurat lelah yang membayang di wajah lelaki itu. Apalagi setelah itu Miko memijit pangkal hidungnya.
“Masih ada dua kubu. Yang setuju buat aksi, sama yang nggak setuju buat aksi.”
“Kamu ada di kubu yang mana?” tanya Joana retoris.
“Kamu tahu pasti aku ada di kubu yang mana, Joana.” Miko terkekeh di penghujung kalimat.
Ya, Joana tahu dengan sangat jelas kalau Miko akan selalu berada di kubu setuju untuk aksi. Fakta itu berhasil membuat Joana terbelenggu khawatir yang luar biasa hebat.
“Kamu nggak berniat untuk berubah pikiran? Ini bahaya, Miko.”
Miko menggeleng. Bibirnya masih tersenyum saat dia dengan lugas berkata, “Ini bukan buat aku, tapi ini untuk kepentingan bersama, Joana. Kalau bukan kami yang ngelakuin ini, siapa lagi?”
“Miko, bulan lalu kamu sampai harus ngumpet di kampus semalaman cuma buat ngehindarin dikejar polisi, lho!” Nada bicara Joana naik satu oktaf.
Jujur saja Joana frustrasi. Belum selesai amarahnya tentang keterlambatan Miko, kini fakta tentang keras kepalanya seorang Miko malah menambah bara amarahnya.
Pemuda itu bangun dari duduknya, pindah ke samping Joana. Satu tangannya terulur untuk merangkul pundak Joana untuk dibawa ke dalam dekapan, sedangkan satu tangannya lagi bergerak perlahan mengusap kepala Joana.
“Aku nggak apa-apa, Joana. Nggak akan terjadi apa-apa. Kamu tahu aku ngelakuin ini untuk apa, dan aku nggak akan berhenti sampai kami benar-benar dapat keadilan. Tolong ngertiin aku,” bisik Miko lembut di daun telinga Joana.
Bagai disiram bensin, amarah Joana kian membara. Gadis itu lantas mendorong tubuh Miko menjauh. Ditatapnya lelaki itu dengan tatapan nanar.
“Aku gimana?”
“Jo—” Ucapan Miko terinterupsi dengan dering ponselnya sendiri. Begitu tombol hijau tergeser, Miko pun menempelkan layar ponsel di telinga. “Halo, Bang?”
Entah apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya, tetapi itu berhasil membuat Miko membelalakkan matanya. Tak hanya itu, wajahnya pun tampak tegang.
Miko justru sibuk menelepon | ilustrasi: hipwee via www.hipwee.com
“Tunggu. Gue on the way,” ujarnya yang kemudian mengakhiri panggilan dan cepat-cepat berdiri.
Lagi?
Pertanyaan tersebut muncul begitu saja dalam benak Joana. Ini bahkan belum lewat dari satu jam sejak lelaki itu sampai, tetapi Miko sudah akan meninggalkannya lagi? Lagi-lagi dia akan pergi begitu saja?
Pandangan Miko beralih pada Joana, membuat mau tak mau gadis itu ikut berdiri. Joana menatap Miko dengan tatapan yang sulit untuk diartikan.
Miko mengusap lembut puncak kepala Joana. “Aku harus pergi. Maaf nggak bisa ketemu lebih lama. Nanti aku kabarin lagi ya,” katanya sebelum dia benar-benar beranjak meninggalkan Joana yang masih membeku di tempat.
Mantap.
Joana sudah mantap dengan pilihannya.
Dia akan mengakhiri semuanya.
Tepatnya Joana harus mengakhiri semuanya agar tidak terus terbelenggu dengan perasaan yang melelahkan ini.